Menilai
Buku Agus Widjojo
Roch Basoeki Mangoenpoerojo ; Purnawirawan TNI
|
KOMPAS,
06 Januari 2016
Sejarah menempatkan
Bung Karno dan Jenderal Soedirman sebagai pelaku awal 'hubungan
sipil-militer' di Indonesia". Begitulah Agus Widjojo (AW) dalam buku
Transformasi TNI setebal 738 halaman yang diluncurkan pada awal Oktober 2015.
AW adalah seorang
pemikir, seperti saya kenal, sampai ia menjadi komandan kompi di desa saya
bertugas. Temuan mendasar AW di atas merupakan asumsi awal pola pikir
sekaligus kesimpulannya.
Alur pikir demikian
diperkuat oleh sekolahnya di Amerika Serikat, kemudian dihadapkan pada tugas
yang dihadapi (1980-2002) yang membuat ia berketetapan bahwa betapa penting
arti kelembagaan bagi TNI untuk memosisikan diri. Persoalannya adalah
hubungan sipil-militer yang belum tertata. Demokrasi akan mempermudah
penataan hubungan itu melalui kelembagaan politik masa depan.
Penukikan materi
bahasan akan memilah pembaca menjadi beberapa kelompok kepentingan, antara
lain kelompok terpuaskan, yaitu para politisi sipil yang merasa TNI sebagai
kebutuhan bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional. Ia harus patuh pada
akademisi lewat UU TNI. Buku ini akan dijadikan buku daras. Ia sudah dapat
pengikut (media sosial: presiden merak).
Kelompok pelaku masa
lalu adalah yang merasa pemilik TNI. Merekalah para pejuang bidang apa pun
(1928-1950) dan akademisi militer (1948-1968) yang merasakan jasa dan peran
rakyat dengan implementasi konsep teritorial. Dalam buku ini, AW tak
mencantumkan kata rakyat sama sekali. AW kurang menganggap penting peran
rakyat dalam kehidupan ber-Indonesia Raya.
Konsep teritorial pun
hendak dicabutnya saat menjabat Kaster. Padahal, operasi teritorial merupakan
kekuatan dan kebanggaan TNI. Karya AH Nasution ini diterjemahkan dalam tujuh
bahasa dan membantu memerdekakan bangsa Vietnam dalam 30 tahun bergerilya.
AW mendekati kelompok
ini dengan pendekatan ilmiah, tetapi kurang berhasil. Itu diperlihatkan dalam
konteks Operasi Timtim (halaman 65-101 khususnya dan bagian pertama pada
umumnya). Akademisi militer memang belum terbiasa dengan pendekatan analisis
yang sarat disiplin (bukan disiplin militer).
Kelompok ketiga adalah
pelaku masa depan, yaitu anggota TNI yang kini aktif dan akan aktif. Mereka
bingung membaca buku ini, ragu-ragu memilih petunjuk praktis di tengah
ketimpangan budaya, politik, dan ekonomi, sedangkan mereka tak boleh ikut
dalam berbagai persaingan yang terjadi.
Sementara itu, aparat
dan sistem hukum tak bisa dipercaya sebagai penegak keadilan. Setiap Senin,
semua anggota TNI teriak-teriak mengucapkan Sapta Marga dengan gegap gempita,
padahal tak didukung UU. Sapta Marga
dalam UU No 34/2004 hanya disebut sebagai sumpah perwira, diucapkan satu kali
ketika dilantik jadi perwira.
Itukah ujian kesabaran
generasi muda TNI? Seberapa tinggi harga kedaulatan NKRI di mata mereka? Di
atas atau di bawah dollar AS? Peristiwa Save Paris bisa menjadi hipotesis.
Saat dunia menyebut terorisme, Indonesia latah menampilkan Kapolri
seolah-olah dia yang bertanggung jawab kalau itu terjadi di Indonesia.
Betulkah Indonesia tak punya sistem pertahanan yang juga akan diuji di Natuna
dan Papua?
Sangat mendasar
Bung Karno dan
Jenderal Soedirman adalah peletak nilai-nilai dasar hubungan sipil-militer
lewat sudut pandang dalam memaknai arti penjajahan di antara istilah yang
menjadi jargon (di luar tata negara universal): kemanusiaan dan kebangsaan
yang sungguh mendasar bagi kelangsungan ber-Indonesia Raya.
Letakkan pikiran kita
ke alinea pertama Pembukaan UUD. Siapa pun mengaku bangsa Indonesia harus
mengakui bahwa ada jiwa terjajah dalam dirinya. Sekalipun demikian, mereka
punya tekad kuat buat melepaskan diri dari keadaan terjajah.
Persoalannya, sudah
adakah literatur tentang keterjajahan, terjajah, dan penjajahan di dunia ini?
Bukankah kita yang semestinya memulai mengilmiahkan istilah itu dengan
seluruh jabaran dan modusnya yang tak mungkin dilakukan neolib mana pun. (Di
naskah lain AW berkata bahwa AS tak percaya ada strong leader di sini, tetapi lebih suka membina calon presiden
dari sana).
Selama literatur itu
belum hadir, budaya saling menjajah di antara sesama akan tetap dimanfaatkan
pihak luar yang berkepentingan (Freeport salah satu contoh). Ikut globalisasi
berarti menyatukan diri ke dalam tujuan negara-negara adidaya. Pantaslah
tujuan negara yang berada di alinea kedua tak terusik, orang Indonesia lebih
suka belajar tentang arah global daripada mengenal diri.
Bagaimanapun, AW telah
memberi pilihan bertindak untuk didiskusikan secara luas dan terbuka.
Sumbangan untuk dunia ilmu dari TNI, dia sedang beranjak menuju negarawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar