Kamis, 07 Januari 2016

Menilai Buku Agus Widjojo

Menilai Buku Agus Widjojo

  Roch Basoeki Mangoenpoerojo  ;  Purnawirawan TNI
                                                       KOMPAS, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejarah menempatkan Bung Karno dan Jenderal Soedirman sebagai pelaku awal 'hubungan sipil-militer' di Indonesia". Begitulah Agus Widjojo (AW) dalam buku Transformasi TNI setebal 738 halaman yang diluncurkan pada awal Oktober 2015.

AW adalah seorang pemikir, seperti saya kenal, sampai ia menjadi komandan kompi di desa saya bertugas. Temuan mendasar AW di atas merupakan asumsi awal pola pikir sekaligus kesimpulannya.

Alur pikir demikian diperkuat oleh sekolahnya di Amerika Serikat, kemudian dihadapkan pada tugas yang dihadapi (1980-2002) yang membuat ia berketetapan bahwa betapa penting arti kelembagaan bagi TNI untuk memosisikan diri. Persoalannya adalah hubungan sipil-militer yang belum tertata. Demokrasi akan mempermudah penataan hubungan itu melalui kelembagaan politik masa depan.

Penukikan materi bahasan akan memilah pembaca menjadi beberapa kelompok kepentingan, antara lain kelompok terpuaskan, yaitu para politisi sipil yang merasa TNI sebagai kebutuhan bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional. Ia harus patuh pada akademisi lewat UU TNI. Buku ini akan dijadikan buku daras. Ia sudah dapat pengikut (media sosial: presiden merak).

Kelompok pelaku masa lalu adalah yang merasa pemilik TNI. Merekalah para pejuang bidang apa pun (1928-1950) dan akademisi militer (1948-1968) yang merasakan jasa dan peran rakyat dengan implementasi konsep teritorial. Dalam buku ini, AW tak mencantumkan kata rakyat sama sekali. AW kurang menganggap penting peran rakyat dalam kehidupan ber-Indonesia Raya.

Konsep teritorial pun hendak dicabutnya saat menjabat Kaster. Padahal, operasi teritorial merupakan kekuatan dan kebanggaan TNI. Karya AH Nasution ini diterjemahkan dalam tujuh bahasa dan membantu memerdekakan bangsa Vietnam dalam 30 tahun bergerilya.

AW mendekati kelompok ini dengan pendekatan ilmiah, tetapi kurang berhasil. Itu diperlihatkan dalam konteks Operasi Timtim (halaman 65-101 khususnya dan bagian pertama pada umumnya). Akademisi militer memang belum terbiasa dengan pendekatan analisis yang sarat disiplin (bukan disiplin militer).

Kelompok ketiga adalah pelaku masa depan, yaitu anggota TNI yang kini aktif dan akan aktif. Mereka bingung membaca buku ini, ragu-ragu memilih petunjuk praktis di tengah ketimpangan budaya, politik, dan ekonomi, sedangkan mereka tak boleh ikut dalam berbagai persaingan yang terjadi.

Sementara itu, aparat dan sistem hukum tak bisa dipercaya sebagai penegak keadilan. Setiap Senin, semua anggota TNI teriak-teriak mengucapkan Sapta Marga dengan gegap gempita, padahal tak didukung UU. Sapta  Marga dalam UU No 34/2004 hanya disebut sebagai sumpah perwira, diucapkan satu kali ketika dilantik jadi perwira.

Itukah ujian kesabaran generasi muda TNI? Seberapa tinggi harga kedaulatan NKRI di mata mereka? Di atas atau di bawah dollar AS? Peristiwa Save Paris bisa menjadi hipotesis. Saat dunia menyebut terorisme, Indonesia latah menampilkan Kapolri seolah-olah dia yang bertanggung jawab kalau itu terjadi di Indonesia. Betulkah Indonesia tak punya sistem pertahanan yang juga akan diuji di Natuna dan Papua?

Sangat mendasar

Bung Karno dan Jenderal Soedirman adalah peletak nilai-nilai dasar hubungan sipil-militer lewat sudut pandang dalam memaknai arti penjajahan di antara istilah yang menjadi jargon (di luar tata negara universal): kemanusiaan dan kebangsaan yang sungguh mendasar bagi kelangsungan ber-Indonesia Raya.

Letakkan pikiran kita ke alinea pertama Pembukaan UUD. Siapa pun mengaku bangsa Indonesia harus mengakui bahwa ada jiwa terjajah dalam dirinya. Sekalipun demikian, mereka punya tekad kuat buat melepaskan diri dari keadaan terjajah.

Persoalannya, sudah adakah literatur tentang keterjajahan, terjajah, dan penjajahan di dunia ini? Bukankah kita yang semestinya memulai mengilmiahkan istilah itu dengan seluruh jabaran dan modusnya yang tak mungkin dilakukan neolib mana pun. (Di naskah lain AW berkata bahwa AS tak percaya ada strong leader di sini, tetapi lebih suka membina calon presiden dari sana).

Selama literatur itu belum hadir, budaya saling menjajah di antara sesama akan tetap dimanfaatkan pihak luar yang berkepentingan (Freeport salah satu contoh). Ikut globalisasi berarti menyatukan diri ke dalam tujuan negara-negara adidaya. Pantaslah tujuan negara yang berada di alinea kedua tak terusik, orang Indonesia lebih suka belajar tentang arah global daripada mengenal diri.

Bagaimanapun, AW telah memberi pilihan bertindak untuk didiskusikan secara luas dan terbuka. Sumbangan untuk dunia ilmu dari TNI, dia sedang beranjak menuju negarawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar