Kamis, 07 Januari 2016

Buaya Bu(w)as

Buaya Bu(w)as

  Imam Anshori Saleh  ;  Komisioner Komisi Yudisial 2010-2015
                                                       KOMPAS, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Melaju dan bersemangat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Budi Waseso ternyata juga melaju dan bersemangat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional. Gagasan dan langkah-langkahnya dalam memimpin Bareskrim dan BNN patut diapresiasi.

Bersama aparat di Bareskrim, Komisaris Jenderal Budi Waseso  yang biasa dipanggil Buwas sukses mengungkap berbagai tindak pidana, termasuk yang melibatkan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino. Setelah mutasi sebagai Kepala BNN, Buwas dan anak buahnya mengungkap berbagai kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Kasus terakhir, terkuaknya sejumlah awak maskapai penerbangan swasta yang terlibat "pesta" narkoba.

Saking semangatnya dalam bekerja dan ingin segera mencapai prestasi terbaik, Buwas pun menggagas sejumlah kebijakan yang mengejutkan di BNN. Kebijakan itu, antara lain, adalah pemakai narkoba harus dihukum. Padahal, para petinggi penegak hukum (Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan BNN) sudah sepakat pemakai narkoba tertentu tidak perlu menjalani hukuman. Mereka adalah korban yang perlu direhabilitasi. Yang harus dipidana adalah pengedarnya. Kebijakan lain yang mengejutkan, juga kontroversial, adalah pengamanan lembaga pemasyarakatan yang menampung terpidana mati narkoba menggunakan pengamanan nonmanusia, yakni menggunakan buaya buas.  Bahkan Buwas melontarkan pengamanan selain buaya, yakni bisa piranha dan harimau.

Buwas agaknya geram menyaksikan banyaknya terpidana mati narkoba yang melarikan diri atau bermanuver tetap berbisnis narkoba dari dalam penjara. Buwas tidak percaya lagi  kepada  para sipir penjaga lembaga pemasyarakat (lapas) narkoba yang gampang disuap dan berkompromi dengan narapidana.  Buaya tak dapat disuap dan diatur-atur, kata Buwas. Dia pun rajin menyurvei tempat-tempat buaya ganas yang akan dimanfaatkan untuk pengamanan sejumlah lapas.

Awalnya penulis menganggap gagasan Buwas itu hanya bersifat sesaat, setelah menerima tugas baru. Namun, setelah mengikuti pemberitaan di media massa, ternyata Buwas tetap kencang dengan gagasan kontroversial itu.  Jenderal polisi berbintang tiga itu agaknya tidak peduli dengan berbagai keberatan dan kritik dari para pengamat.

Dia akan jalan terus dengan gagasannya walaupun tentu untuk mewujudkannya bukan pekerjaan mudah. Pasalnya, BNN tidak memiliki kewenangan dalam membangun dan mengelola lapas. Lapas sepenuhnya berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. BNN hanya dapat mengusulkan.

Tujuan pemidanaan

Semangat dan tujuan yang baik harus didukung. Tujuan dan semangat Buwas untuk menjadikan terpidana mati narkoba tak berkutik juga harus didukung. Namun, tujuan dan semangat yang baik tidak dapat menghalalkan segala cara. Penempatan buaya buas di lapas tetap perlu dikaji, apakah tidak mengurangi hak asasi manusia para narapidana? Apakah penjagaan memakai buaya ganas di lapas sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan? Apakah mengandalkan buaya ganas dengan tidak memercayai lagi manusia penjaga lapas itu bukan suatu kemunduran cara berpikir? Semua itu perlu kajian rasional.

Yang pertama mesti diperhatikan adalah hak warga negara yang dilindungi konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal  28 G (1) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya." Demikian pula bagi warga negara asing yang dijatuhi pidana mati juga memperoleh perlindungan hak asasi manusia serupa yang bersifat universal. Penjagaan dengan buaya ganas jelas membuat narapidana merasa tak aman dan tak memiliki perlindungan dari ancaman ketakutan.

Dari tujuan pemidanaan, ada dua teori yang dikembangkan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, yakni teori absolut (teori retributif) dan teori relatif. Teori absolut  memandang pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi, berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Sebagai imbalannya, si pelaku harus diberi penderitaan.

Sementara teori relatif memandang pemidanaan bukan pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat guna melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan adalah untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Dalam konteks penjagaan lapas oleh buaya, hal itu sama sekali tak sesuai dengan tujuan pemidanaan.

Tidak efektif

Buwas tidak memercayai petugas (manusia). Dia lebih memercayai buaya (binatang) karena memperbandingkan manusia dan dengan binatang terlalu sederhana. Manusia bisa disuap, sementara binatang tidak. Cara berpikir ini dari sisi tata nilai adalah suatu kemunduran. Manusia harus lebih diandalkan dalam urusan apa pun. Jika manusia tidak dapat dipercaya, tidak harus ditiadakan eksistensinya, tetapi harus diperbaiki mentalitasnya. Itu dilakukan antara lain dengan melakukan perekrutan secara benar serta memberikan gaji dan kesejahteraan yang layak. Untuk pengamanan di lapas, jumlah mereka pun harus memadai, berbanding secara proporsional dengan narapidana yang harus diawasi. Menurut data Ditjen Pemasyarakatan yang mereka himpun hingga 16 April 2015, tingkat kelebihan daya tampung rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mencapai 145 persen.

Jangan dikira dengan buaya narapidana narkoba jadi tak berkutik. Manusia memiliki kelebihan akal. Apa susahnya narapidana "menjinakkan" buaya, misalnya  dengan zat kimia atau melalui pengendalinya, semacam pawang atau petugas biasa. Dengan demikian, menjadikan buaya ganas sebagai penjaga lapas tidaklah efektif. Apalagi, untuk menempatkan buaya sebagai penjaga lapas, diperlukan pengaturan konstruksi bangunan yang tidak murah. Lebih baik anggaran itu digunakan membangun lapas baru yang sangat diperlukan.

Kendati  gagasan "buaya penjaga lapas" ala Buwas tak realistis, toh, kegundahan Buwas bisa dianggap sebagai pengingat kepada pemerintah dan kita semua bahwa kondisi lapas kita sudah sangat tak memadai. Proporsi jumlah narapidana dengan bangunan lapas ataupun aparat penjaganya sudah sangat timpang. Demikian pula sistem pengelolaan dan pengamanan. Sering terdengar narapidana kabur, bunuh diri, atau berbisnis narkoba dari dalam penjara adalah kondisi yang sangat memprihatinkan dan perlu segera mendapatkan penanganan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar