Buaya
Bu(w)as
Imam Anshori Saleh ; Komisioner Komisi Yudisial 2010-2015
|
KOMPAS,
06 Januari 2016
Melaju dan bersemangat
sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Budi Waseso ternyata juga melaju
dan bersemangat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional. Gagasan dan
langkah-langkahnya dalam memimpin Bareskrim dan BNN patut diapresiasi.
Bersama aparat di
Bareskrim, Komisaris Jenderal Budi Waseso
yang biasa dipanggil Buwas sukses mengungkap berbagai tindak pidana,
termasuk yang melibatkan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino. Setelah mutasi
sebagai Kepala BNN, Buwas dan anak buahnya mengungkap berbagai kasus
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Kasus terakhir,
terkuaknya sejumlah awak maskapai penerbangan swasta yang terlibat
"pesta" narkoba.
Saking semangatnya
dalam bekerja dan ingin segera mencapai prestasi terbaik, Buwas pun menggagas
sejumlah kebijakan yang mengejutkan di BNN. Kebijakan itu, antara lain,
adalah pemakai narkoba harus dihukum. Padahal, para petinggi penegak hukum
(Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan BNN) sudah sepakat pemakai
narkoba tertentu tidak perlu menjalani hukuman. Mereka adalah korban yang
perlu direhabilitasi. Yang harus dipidana adalah pengedarnya. Kebijakan lain
yang mengejutkan, juga kontroversial, adalah pengamanan lembaga
pemasyarakatan yang menampung terpidana mati narkoba menggunakan pengamanan
nonmanusia, yakni menggunakan buaya buas.
Bahkan Buwas melontarkan pengamanan selain buaya, yakni bisa piranha
dan harimau.
Buwas agaknya geram
menyaksikan banyaknya terpidana mati narkoba yang melarikan diri atau
bermanuver tetap berbisnis narkoba dari dalam penjara. Buwas tidak percaya
lagi kepada para sipir penjaga lembaga pemasyarakat
(lapas) narkoba yang gampang disuap dan berkompromi dengan narapidana. Buaya tak dapat disuap dan diatur-atur,
kata Buwas. Dia pun rajin menyurvei tempat-tempat buaya ganas yang akan
dimanfaatkan untuk pengamanan sejumlah lapas.
Awalnya penulis
menganggap gagasan Buwas itu hanya bersifat sesaat, setelah menerima tugas
baru. Namun, setelah mengikuti pemberitaan di media massa, ternyata Buwas
tetap kencang dengan gagasan kontroversial itu. Jenderal polisi berbintang tiga itu agaknya
tidak peduli dengan berbagai keberatan dan kritik dari para pengamat.
Dia akan jalan terus
dengan gagasannya walaupun tentu untuk mewujudkannya bukan pekerjaan mudah.
Pasalnya, BNN tidak memiliki kewenangan dalam membangun dan mengelola lapas.
Lapas sepenuhnya berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. BNN
hanya dapat mengusulkan.
Tujuan pemidanaan
Semangat dan tujuan
yang baik harus didukung. Tujuan dan semangat Buwas untuk menjadikan
terpidana mati narkoba tak berkutik juga harus didukung. Namun, tujuan dan
semangat yang baik tidak dapat menghalalkan segala cara. Penempatan buaya
buas di lapas tetap perlu dikaji, apakah tidak mengurangi hak asasi manusia
para narapidana? Apakah penjagaan memakai buaya ganas di lapas sudah sesuai
dengan tujuan pemidanaan? Apakah mengandalkan buaya ganas dengan tidak memercayai
lagi manusia penjaga lapas itu bukan suatu kemunduran cara berpikir? Semua
itu perlu kajian rasional.
Yang pertama mesti
diperhatikan adalah hak warga negara yang dilindungi konstitusi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 G (1) UUD 1945:
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya." Demikian pula
bagi warga negara asing yang dijatuhi pidana mati juga memperoleh
perlindungan hak asasi manusia serupa yang bersifat universal. Penjagaan
dengan buaya ganas jelas membuat narapidana merasa tak aman dan tak memiliki
perlindungan dari ancaman ketakutan.
Dari tujuan
pemidanaan, ada dua teori yang dikembangkan di sejumlah negara, termasuk di
Indonesia, yakni teori absolut (teori retributif) dan teori relatif. Teori
absolut memandang pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi, berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan
karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori
ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan
itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Sebagai imbalannya, si
pelaku harus diberi penderitaan.
Sementara teori
relatif memandang pemidanaan bukan pembalasan atas kesalahan si pelaku,
tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat guna melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat.
Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan adalah untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan
masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Dalam konteks penjagaan lapas oleh
buaya, hal itu sama sekali tak sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Tidak efektif
Buwas tidak memercayai
petugas (manusia). Dia lebih memercayai buaya (binatang) karena
memperbandingkan manusia dan dengan binatang terlalu sederhana. Manusia bisa
disuap, sementara binatang tidak. Cara berpikir ini dari sisi tata nilai
adalah suatu kemunduran. Manusia harus lebih diandalkan dalam urusan apa pun.
Jika manusia tidak dapat dipercaya, tidak harus ditiadakan eksistensinya,
tetapi harus diperbaiki mentalitasnya. Itu dilakukan antara lain dengan
melakukan perekrutan secara benar serta memberikan gaji dan kesejahteraan
yang layak. Untuk pengamanan di lapas, jumlah mereka pun harus memadai,
berbanding secara proporsional dengan narapidana yang harus diawasi. Menurut
data Ditjen Pemasyarakatan yang mereka himpun hingga 16 April 2015, tingkat
kelebihan daya tampung rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia
telah mencapai 145 persen.
Jangan dikira dengan
buaya narapidana narkoba jadi tak berkutik. Manusia memiliki kelebihan akal.
Apa susahnya narapidana "menjinakkan" buaya, misalnya dengan zat kimia atau melalui
pengendalinya, semacam pawang atau petugas biasa. Dengan demikian, menjadikan
buaya ganas sebagai penjaga lapas tidaklah efektif. Apalagi, untuk
menempatkan buaya sebagai penjaga lapas, diperlukan pengaturan konstruksi
bangunan yang tidak murah. Lebih baik anggaran itu digunakan membangun lapas
baru yang sangat diperlukan.
Kendati gagasan "buaya penjaga lapas" ala
Buwas tak realistis, toh, kegundahan Buwas bisa dianggap sebagai pengingat
kepada pemerintah dan kita semua bahwa kondisi lapas kita sudah sangat tak
memadai. Proporsi jumlah narapidana dengan bangunan lapas ataupun aparat
penjaganya sudah sangat timpang. Demikian pula sistem pengelolaan dan
pengamanan. Sering terdengar narapidana kabur, bunuh diri, atau berbisnis
narkoba dari dalam penjara adalah kondisi yang sangat memprihatinkan dan
perlu segera mendapatkan penanganan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar