Rabu, 13 Januari 2016

GBK

GBK

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 10 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gelora Bung Karno (GBK) adalah sebuah tempat di mana saya memelihara kesehatan. Maaf, salah. Bukan memelihara kesehatan, tepatnya sebuah tempat untuk membuang rasa bersalah setelah mengonsumsi makanan yang super tidak sehat tetapi lezatnya setengah mati. Buat saya, GBK semacam obat penetralisir. Ia segalanya buat saya.

”Anti aging”

GBK juga tempat saya cuci mata. Kalau melihat anak-anak muda saya bergairah, melihat yang lanjut usia saya diingatkan untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan yang saya miliki, terutama kesehatan.

Mereka yang termasuk muda berlari kencang tak kenal lelah. Banyak di antaranya memiliki tubuh yang indah. Beberapa kaum pria muda bertelanjang dada, memperlihatkan usaha mereka selama ini yang saya yakini cukup berat untuk mendapatkan perut rata dan tubuh berotot yang indah. Jadi, GBK buat saya semacam show case.

Saya tak hanya geleng kepala melihat yang muda belia, tetapi juga yang sudah lanjut usia. Mereka berjalan mengelilingi lapangan bulat itu. Beberapa ada yang membawa temannya yang jauh lebih muda untuk menemani, beberapa melakukan jalan kaki dengan pasangan yang sama sepuhnya, dan yang menakjubkan ada yang tetap berolahraga sambil duduk di kursi karena tubuh yang sudah tak kuat lagi menopang.

Kalau melihat yang lanjut usia itu, saya hanya berkata dalam hati, usia boleh saja bertambah karena memang tak bisa dihentikan, tetapi tua itu hanya sebuah istilah dalam pengertian usia dan tenaga, tetapi yang tak bisa mengganyang pikiran dan hati.

Mereka adalah manusia yang berkata secara tidak langsung kepada saya bahwa semangat itu harus tetap dikobarkan sampai akhir menutup mata. Semangat itu satu-satunya senjata melawan kendala hidup dan sebuah ’krim’ anti aging termanjur yang pernah ada.

Tak ada toko yang menjual semangat. Ia hanya datang dari toko abadi bernama diri kita sendiri. Dan mereka yang lanjut usia yang saya lihat setiap pagi itu seperti pengingat untuk saya yang mudah sekali frustrasi, sangat pesimistis, dan tidak percaya diri.
Dua dunia

Tentu di antara begitu banyak manusia yang ingin sehat, ada yang masih ingin tidak sehat atau baru berkeinginan memiliki cita-cita menjadi sehat. Tanpa bermaksud untuk menghakimi, beberapa di antara mereka hanya duduk-duduk di kursi taman yang disediakan, atau melakukan gerakan sekadarnya dalam balutan pakaian olahraga yang saya yakini tetap kering tak tersentuh keringat.

Kemudian setelah gerakan sekadarnya itu, mereka mengobrol lagi dan berkonsentrasi penuh pada gadget dalam genggaman sambil merokok. Di GBK saya belajar dan menyaksikan bahwa nurani itu bisa dibungkam. Dan kebiasaan membungkam nurani menjadikan seseorang mampu memamerkan keinginan untuk tidak sehat, di tempat yang seyogianya disediakan untuk menjadi sehat.

Di GBK saya dicelikkan kalau dalam hidup sehari-hari, saya sering berbajukan kebaikan, tetapi sesungguhnya niat saya sama sekali jauh dari baik. Saya bahkan tak ingin berkeringat. Saya hanya ingin mengenakan baju olahraga. Karena tanpa berkeringat dan hanya dari apa yang saya kenakan, orang bisa jadi berasumsi saya sangat bijak memelihara kesehatan. Saya butuh asumsi positif itu, saya tak butuh keringat.

Selain semua di atas, GBK juga menyediakan sebuah godaan terbesar. Godaan itu bernama empal gentong, bubur ayam, ketoprak, soto mi, dan segala jenis gorengan. Coba Anda perhatikan apa yang saya tulis. Saya menulis godaan.

Maka di GBK saya diingatkan bahwa saya sering sekali menudingkan jari telunjuk kepada seseorang atau sesuatu sebagai godaan. Padahal, ketoprak dan soto mi tak bisa disebut godaan. Saya saja yang tak kuat melihat apa yang ditawarkan.

Nah, ketika saya tidak kuat melihat apa yang ditawarkan itu, saya tak berani mengakui bahwa saya tidak kuat, tetapi sebaliknya malah memberi predikat kepada yang membuat saya tidak kuat itu sebagai godaan.

Pedagang makanan itu hanya berjualan. Mereka berhak menjual dan menawarkan apa saja, yang punya problema tidak kuat itu bukan mereka, tetapi saya. Memilih untuk menyalahkan orang ketimbang mau mengakui saya tidak kuat itu, pelajaran yang saya dapatkan di GBK.

Tiba-tiba nurani saya bersuara lirih tetapi nyelekit. ”Bukankah dalam hidup ini untuk setiap perbuatan baik itu, tak pernah absen ditemani niat yang tidak baik? Kamu datang ke tempat ini untuk berusaha menjadi sehat, tetapi jauh di lubuk hatimu, gorengan yang kamu tahu tidak sehat itu pun kamu inginkan, bukan? Terus, apakah kamu bisa menghilangkan yang tidak baik agar kamu bisa disebut baik? Bukankah dua dunia yang berlawanan itu selalu ada di dalam dirimu? Kamu ke tempat ini mau jadi manusia atau malaikat?” Gara-gara suara lirih itu, di GBK-lah saya mencucurkan keringat dan menjadi bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar