GBK
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
|
KOMPAS,
10 Januari 2016
Gelora Bung Karno (GBK) adalah sebuah tempat di mana saya
memelihara kesehatan. Maaf, salah. Bukan memelihara kesehatan, tepatnya
sebuah tempat untuk membuang rasa bersalah setelah mengonsumsi makanan yang
super tidak sehat tetapi lezatnya setengah mati. Buat saya, GBK semacam obat
penetralisir. Ia segalanya buat saya.
”Anti aging”
GBK juga tempat saya cuci mata. Kalau melihat anak-anak muda
saya bergairah, melihat yang lanjut usia saya diingatkan untuk bertanggung
jawab terhadap kehidupan yang saya miliki, terutama kesehatan.
Mereka yang termasuk muda berlari kencang tak kenal lelah.
Banyak di antaranya memiliki tubuh yang indah. Beberapa kaum pria muda bertelanjang
dada, memperlihatkan usaha mereka selama ini yang saya yakini cukup berat
untuk mendapatkan perut rata dan tubuh berotot yang indah. Jadi, GBK buat
saya semacam show case.
Saya tak hanya geleng kepala melihat yang muda belia, tetapi
juga yang sudah lanjut usia. Mereka berjalan mengelilingi lapangan bulat itu.
Beberapa ada yang membawa temannya yang jauh lebih muda untuk menemani,
beberapa melakukan jalan kaki dengan pasangan yang sama sepuhnya, dan yang
menakjubkan ada yang tetap berolahraga sambil duduk di kursi karena tubuh
yang sudah tak kuat lagi menopang.
Kalau melihat yang lanjut usia itu, saya hanya berkata dalam
hati, usia boleh saja bertambah karena memang tak bisa dihentikan, tetapi tua
itu hanya sebuah istilah dalam pengertian usia dan tenaga, tetapi yang tak
bisa mengganyang pikiran dan hati.
Mereka adalah manusia yang berkata secara tidak langsung kepada
saya bahwa semangat itu harus tetap dikobarkan sampai akhir menutup mata.
Semangat itu satu-satunya senjata melawan kendala hidup dan sebuah ’krim’
anti aging termanjur yang pernah ada.
Tak ada toko yang menjual semangat. Ia hanya datang dari toko
abadi bernama diri kita sendiri. Dan mereka yang lanjut usia yang saya lihat
setiap pagi itu seperti pengingat untuk saya yang mudah sekali frustrasi,
sangat pesimistis, dan tidak percaya diri.
Dua dunia
Tentu di antara begitu banyak manusia yang ingin sehat, ada yang
masih ingin tidak sehat atau baru berkeinginan memiliki cita-cita menjadi
sehat. Tanpa bermaksud untuk menghakimi, beberapa di antara mereka hanya
duduk-duduk di kursi taman yang disediakan, atau melakukan gerakan sekadarnya
dalam balutan pakaian olahraga yang saya yakini tetap kering tak tersentuh
keringat.
Kemudian setelah gerakan sekadarnya itu, mereka mengobrol lagi
dan berkonsentrasi penuh pada gadget dalam genggaman sambil merokok. Di GBK
saya belajar dan menyaksikan bahwa nurani itu bisa dibungkam. Dan kebiasaan
membungkam nurani menjadikan seseorang mampu memamerkan keinginan untuk tidak
sehat, di tempat yang seyogianya disediakan untuk menjadi sehat.
Di GBK saya dicelikkan kalau dalam hidup sehari-hari, saya
sering berbajukan kebaikan, tetapi sesungguhnya niat saya sama sekali jauh
dari baik. Saya bahkan tak ingin berkeringat. Saya hanya ingin mengenakan
baju olahraga. Karena tanpa berkeringat dan hanya dari apa yang saya kenakan,
orang bisa jadi berasumsi saya sangat bijak memelihara kesehatan. Saya butuh
asumsi positif itu, saya tak butuh keringat.
Selain semua di atas, GBK juga menyediakan sebuah godaan
terbesar. Godaan itu bernama empal gentong, bubur ayam, ketoprak, soto mi,
dan segala jenis gorengan. Coba Anda perhatikan apa yang saya tulis. Saya
menulis godaan.
Maka di GBK saya diingatkan bahwa saya sering sekali menudingkan
jari telunjuk kepada seseorang atau sesuatu sebagai godaan. Padahal, ketoprak
dan soto mi tak bisa disebut godaan. Saya saja yang tak kuat melihat apa yang
ditawarkan.
Nah, ketika saya tidak kuat melihat apa yang ditawarkan itu,
saya tak berani mengakui bahwa saya tidak kuat, tetapi sebaliknya malah
memberi predikat kepada yang membuat saya tidak kuat itu sebagai godaan.
Pedagang makanan itu hanya berjualan. Mereka berhak menjual dan
menawarkan apa saja, yang punya problema tidak kuat itu bukan mereka, tetapi
saya. Memilih untuk menyalahkan orang ketimbang mau mengakui saya tidak kuat
itu, pelajaran yang saya dapatkan di GBK.
Tiba-tiba nurani saya bersuara lirih tetapi nyelekit. ”Bukankah
dalam hidup ini untuk setiap perbuatan baik itu, tak pernah absen ditemani
niat yang tidak baik? Kamu datang ke tempat ini untuk berusaha menjadi sehat,
tetapi jauh di lubuk hatimu, gorengan yang kamu tahu tidak sehat itu pun kamu
inginkan, bukan? Terus, apakah kamu bisa menghilangkan yang tidak baik agar
kamu bisa disebut baik? Bukankah dua dunia yang berlawanan itu selalu ada di
dalam dirimu? Kamu ke tempat ini mau jadi manusia atau malaikat?” Gara-gara
suara lirih itu, di GBK-lah saya mencucurkan keringat dan menjadi bingung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar