Rabu, 13 Januari 2016

Mengatasi Konflik Relasi Segitiga

Mengatasi Konflik Relasi Segitiga

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;  Penulis Kolom “PSIKOLOGI’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 10 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dinamika yang berkembang dalam relasi segitiga yang terbentuk di antara anggota keluarga tertentu berpengaruh terhadap ketidaknyamanan perasaan setiap individu yang terlibat, karena kadar konflik yang tercipta akan mengalami peningkatan yang tidak terkendali.

Danti (58) datang mengeluhkan tentang anak lelakinya bernama T (34) yang berpacaran dengan gadis N (29) dari suku lain dengan keyakinan yang juga berbeda. Mereka berpacaran sudah lebih dari tiga tahun. Danti dan suami berpendapat bahwa T tidak akan berbahagia jika menikah dengan N. Adapun T tidak peduli dengan pendapat ibunya dan terus melanjutkan hubungan dengan N. Tentu saja Danti ternyata tidak sekadar mencemaskan masa depan T apabila menikah dengan N, tetapi di antara kecemasannya tersebut juga tersirat kemarahan yang tertahan.

Ternyata, T sebagai anak kedua dalam keluarga dinilai kurang berprestasi dan ”agak lemah” dibandingkan dengan kakaknya. Walaupun sudah memiliki gelar sarjana, T masih bergantung secara finansial pada keluarga dan beberapa kali pindah kerja dan tidak jelas kariernya. Untuk itu, Danti benar-benar berupaya agar paling tidak T memutuskan hubungan dengan N. Kondisi yang ”runyam” tersebut membuat Danti terpuruk dalam pola relasi lama yang ditandai oleh sering menyalahkan lingkungan, marah-marah tidak keruan, dan kemudian mengurung diri di dalam kamar beberapa saat.

Terkadang Danti menyalahkan N, terkadang T, untuk kemudian menjaga jarak dengan anak dan calon menantunya dengan cara tidak menegur sapa keduanya. Ungkapan terhadap T adalah sebagai berikut: ”Kamu sebenarnya adalah anak yang berontak pada orangtua, dengan cara menentukan pilihan pasangan yang salah.” Dan apabila T kemudian memihak kepada N, reaksi Danti adalah menjaga jarak dengan T dan serta-merta ia akan mendekati suaminya untuk membicarakan kejelekan-kejelekan perangai calon menantu. Padahal, sebenarnya ayah T tidak terlalu peduli dengan siapa pun T mau menikah. Terciptalah relasi segitiga, ”Danti, T, dan N”.

”Outsider”

Dalam situasi relasi segitiga tertentu, Danti mengatakan bahwa dia menjadi outsider. Sebaliknya, apabila Danti menjelekkan diri N, maka Danti akan bergabung dengan T, yang membuat N menempati posisi sebagai outsider. Namun, sering terjadi justru T memihak kepada N. Apabila T memihak kepada N, konflik ibu dan anak pun merebak dan memanas. Dalam situasi ini, selain Danti menjadi outsider, ia juga berada dalam kemarahan luar biasa yang menyesakkan dadanya dan membuat dirinya semakin tidak nyaman.

Jika kita simak kasus ini, kita menyimpulkan bahwa Danti tidak menyatakan dengan terus terang kepada T tentang dasar ketidaksetujuannya dengan pilihan T. Namun, Danti terus-menerus mengkritik perilaku N, menasihati T, menyalahkan N. Kondisi ini justru membuat Danti berada dalam iklim relasi ”tarik ulur”, ”mendekat menjauh” yang tidak menyelesaikan masalah. Pola relasi tersebut membuat Danti dan T masuk dalam kedekatan emosional yang negatif yang justru membuat keduanya tidak nyaman.

Sementara itu, relasi segitiga ibu-anak lelaki-pacar tersebut ternyata pada dasarnya memiliki makna khusus bagi pihak Danti. Sebab, dengan relasi segitiga yang tidak sehat tersebut, Danti mendapat kesempatan untuk melarikan diri dari persoalannya sendiri yang kurang harmonis hubungannya dengan sang suami. Padahal, relasi segitiga yang tidak sehat ini pun membuat hubungan T dan N tidak mendapat kesempatan untuk menjalin kasih yang bersih dari intrik-intrik negatif dari Danti sebagai ibu T dan calon mertua N.

Solusi

Terdapat dua langkah spesifik dan penting untuk dapat melepaskan diri dari relasi segitiga yang tidak sehat tersebut.

1. Danti hendaknya mengajak T berdiskusi dengan suasana akrab dan menempatkan T sebagai anak yang sudah dewasa, untuk menyampaikan alasan-alasan Danti sekaligus mengungkap isi pikiran dan perasaan yang kurang nyaman melihat hubungan T dan N. Katakan dengan jelas bahwa selain memiliki ketidaksukaan apriori terhadap asal suku N, Danti juga tidak menginginkan T menikah dengan perempuan yang tidak sama keyakinannya, karena Danti mengkhawatirkan anaknya yang dinilai agak ”lemah” dipengaruhi N untuk beralih keyakinan menyesuaikan diri dengan keyakinan N apabila pernikahan terjadi. Kesempatan mengungkap isi pikiran dan perasaan secara terbuka dan jelas ternyata membuat Danti lebih nyaman dengan dirinya, di samping merasakan kondisi ”plong” secara emosional.

2. Keluar dari ikatan relasi segitiga ”Danti-T-N” yang tidak sehat dengan:

a. Buat diri tenang (calm), dengan cara tidak terlalu reaktif dan merasa mendapat tusukan tajam perasaannya, karena kecemasan dan intensitas rasa tertusuk berada di balik relasi segitiga yang tidak sehat tersebut di atas.

b. Tarik diri, keluar dari relasi T dan N. Biarkan T dan N mengelola relasi mereka berdua.

c. Santai berelasi secara nyaman, baik dengan T maupun N. Jika sesekali terjadi pertengkaran T dan N, sesegera mungkin Danti hendaknya sedikit menjaga jarak tanpa berpikiran untuk memutuskan tali silaturahim dengan keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar