Mengatasi
Konflik Relasi Segitiga
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis Kolom “PSIKOLOGI’ Kompas Minggu
|
KOMPAS,
10 Januari 2016
Dinamika yang berkembang dalam relasi segitiga yang terbentuk di
antara anggota keluarga tertentu berpengaruh terhadap ketidaknyamanan
perasaan setiap individu yang terlibat, karena kadar konflik yang tercipta
akan mengalami peningkatan yang tidak terkendali.
Danti (58) datang mengeluhkan tentang anak lelakinya bernama T
(34) yang berpacaran dengan gadis N (29) dari suku lain dengan keyakinan yang
juga berbeda. Mereka berpacaran sudah lebih dari tiga tahun. Danti dan suami
berpendapat bahwa T tidak akan berbahagia jika menikah dengan N. Adapun T
tidak peduli dengan pendapat ibunya dan terus melanjutkan hubungan dengan N.
Tentu saja Danti ternyata tidak sekadar mencemaskan masa depan T apabila
menikah dengan N, tetapi di antara kecemasannya tersebut juga tersirat
kemarahan yang tertahan.
Ternyata, T sebagai anak kedua dalam keluarga dinilai kurang
berprestasi dan ”agak lemah” dibandingkan dengan kakaknya. Walaupun sudah
memiliki gelar sarjana, T masih bergantung secara finansial pada keluarga dan
beberapa kali pindah kerja dan tidak jelas kariernya. Untuk itu, Danti
benar-benar berupaya agar paling tidak T memutuskan hubungan dengan N.
Kondisi yang ”runyam” tersebut membuat Danti terpuruk dalam pola relasi lama
yang ditandai oleh sering menyalahkan lingkungan, marah-marah tidak keruan,
dan kemudian mengurung diri di dalam kamar beberapa saat.
Terkadang Danti menyalahkan N, terkadang T, untuk kemudian
menjaga jarak dengan anak dan calon menantunya dengan cara tidak menegur sapa
keduanya. Ungkapan terhadap T adalah sebagai berikut: ”Kamu sebenarnya adalah
anak yang berontak pada orangtua, dengan cara menentukan pilihan pasangan
yang salah.” Dan apabila T kemudian memihak kepada N, reaksi Danti adalah
menjaga jarak dengan T dan serta-merta ia akan mendekati suaminya untuk
membicarakan kejelekan-kejelekan perangai calon menantu. Padahal, sebenarnya
ayah T tidak terlalu peduli dengan siapa pun T mau menikah. Terciptalah
relasi segitiga, ”Danti, T, dan N”.
”Outsider”
Dalam situasi relasi segitiga tertentu, Danti mengatakan bahwa
dia menjadi outsider. Sebaliknya, apabila Danti menjelekkan diri N, maka
Danti akan bergabung dengan T, yang membuat N menempati posisi sebagai
outsider. Namun, sering terjadi justru T memihak kepada N. Apabila T memihak
kepada N, konflik ibu dan anak pun merebak dan memanas. Dalam situasi ini,
selain Danti menjadi outsider, ia juga berada dalam kemarahan luar biasa yang
menyesakkan dadanya dan membuat dirinya semakin tidak nyaman.
Jika kita simak kasus ini, kita menyimpulkan bahwa Danti tidak
menyatakan dengan terus terang kepada T tentang dasar ketidaksetujuannya
dengan pilihan T. Namun, Danti terus-menerus mengkritik perilaku N,
menasihati T, menyalahkan N. Kondisi ini justru membuat Danti berada dalam
iklim relasi ”tarik ulur”, ”mendekat menjauh” yang tidak menyelesaikan
masalah. Pola relasi tersebut membuat Danti dan T masuk dalam kedekatan
emosional yang negatif yang justru membuat keduanya tidak nyaman.
Sementara itu, relasi segitiga ibu-anak lelaki-pacar tersebut
ternyata pada dasarnya memiliki makna khusus bagi pihak Danti. Sebab, dengan
relasi segitiga yang tidak sehat tersebut, Danti mendapat kesempatan untuk
melarikan diri dari persoalannya sendiri yang kurang harmonis hubungannya
dengan sang suami. Padahal, relasi segitiga yang tidak sehat ini pun membuat
hubungan T dan N tidak mendapat kesempatan untuk menjalin kasih yang bersih
dari intrik-intrik negatif dari Danti sebagai ibu T dan calon mertua N.
Solusi
Terdapat dua langkah spesifik dan penting untuk dapat melepaskan
diri dari relasi segitiga yang tidak sehat tersebut.
1. Danti hendaknya mengajak T berdiskusi dengan suasana akrab
dan menempatkan T sebagai anak yang sudah dewasa, untuk menyampaikan
alasan-alasan Danti sekaligus mengungkap isi pikiran dan perasaan yang kurang
nyaman melihat hubungan T dan N. Katakan dengan jelas bahwa selain memiliki
ketidaksukaan apriori terhadap asal suku N, Danti juga tidak menginginkan T
menikah dengan perempuan yang tidak sama keyakinannya, karena Danti
mengkhawatirkan anaknya yang dinilai agak ”lemah” dipengaruhi N untuk beralih
keyakinan menyesuaikan diri dengan keyakinan N apabila pernikahan terjadi. Kesempatan
mengungkap isi pikiran dan perasaan secara terbuka dan jelas ternyata membuat
Danti lebih nyaman dengan dirinya, di samping merasakan kondisi ”plong”
secara emosional.
2. Keluar dari ikatan relasi segitiga ”Danti-T-N” yang tidak
sehat dengan:
a. Buat diri tenang (calm), dengan cara tidak terlalu reaktif
dan merasa mendapat tusukan tajam perasaannya, karena kecemasan dan
intensitas rasa tertusuk berada di balik relasi segitiga yang tidak sehat
tersebut di atas.
b. Tarik diri, keluar dari relasi T dan N. Biarkan T dan N
mengelola relasi mereka berdua.
c. Santai berelasi secara nyaman, baik dengan T maupun N. Jika
sesekali terjadi pertengkaran T dan N, sesegera mungkin Danti hendaknya
sedikit menjaga jarak tanpa berpikiran untuk memutuskan tali silaturahim
dengan keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar