Rabu, 13 Januari 2016

Sepotong Impian

Sepotong Impian

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “KREDENSIAL”Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 10 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 1902, Theodor Herzl, bapak Zionisme politik, menerbitkan novel utopiannya yang diberi judul Altneuland atau ”Tanah Lama-Baru”. Demikian Martin Kramer mengawali tulisannya, The Middle East, Old and New. Martin Kramer adalah Direktur Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies di Universitas Tel Aviv.

Theodor Herzl, lahir 2 Mei 1860 di Budapest, Hongaria, yang waktu itu masuk wilayah Kekaisaran Austria dan meninggal pada 3 Juli 1904 di Edlach, Austria. Dialah pendiri Zionisme, sebuah gerakan untuk mendirikan homeland Yahudi. Pamfletnya yang diberi judul The Jewish State (1896) sangat terkenal. Herzl mengorganisasi kongres dunia Zionis di Basel, Swiss, pada Agustus 1897.

Novel Herzl berlatar belakang Palestina pada 1923. Pada masa itu disebutnya sudah muncul ”Masyarakat Baru” yang terbentuk dengan kembalinya orang-orang Yahudi ke Palestina. ”Masyarakat Baru” adalah sebuah persemakmuran kosmopolitan yang jauh melampaui nasionalisme. Tidak ada bahasa resmi atau agama resmi. Warga negaranya bebas untuk beribadah ”di sinagoga, gereja, masjid, di museum-museum seni atau konser philharmonic.” Jerusalem didominasi oleh ”Istana Perdamaian”.

Dalam ”Masyarakat Baru” itu, yang membentang hingga melintasi Sungai Yordan, bahkan Beirut dan Damaskus, tidak ada konflik antara Yahudi dan Arab dan tidak perlu tentara.

Pada 1993, Shimon Peres yang kemudian menjadi menteri luar negeri dan Aryeh Naor menerbitkan buku berjudul The New Middle East. Dalam bukunya itu, Peres mengungkapkan obsesinya tentang Timur Tengah—nationhood, perbatasan wilayah, persenjataan—berhenti di era globalisasi. Zaman baru telah datang. Negara-bangsa akan meredefinisi identitas mereka. Perbatasan akan dibuka. Air dan sumber alam akan dibagi-bagi. Gudang-gundang senjata akan dimusnahkan. Timur Tengah akan menjadi zona ekonomi tunggal yang ditujukan untuk menciptakan kemakmuran dan keamanan warganya.

Sungguh aneh, Herzl yang mendorong orang-orang Yahudi kembali ke Palestina dan mendirikan negara, homeland Yahudi, yang menjadi benih pecahnya perang, sejak abad ke-20 dan hingga kini belum berakhir, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, memiliki mimpi seperti itu. Bagaimana mungkin mimpi seperti yang digambarkan Herzl akan mewujud kalau Israel tidak pernah mau berdamai dan terus membangun permukiman baru dengan menyerobot tanah-tanah milik orang-orang Palestina? Sebenarnyalah, yang membuyarkan impian itu, Herzl sendiri dengan keinginannya mendirikan negara Yahudi.

Memang, sah-sah saja Herzl bermimpi seperti itu. Tetapi, tidak hanya Theodor Herzl, Shimon Peres, dan Aryeh Naor saja yang memiliki mimpi seperti itu: ingin melihat Timur Tengah yang aman dan damai, tidak ada lagi permusuhan dan peperangan karena alasan apa pun, bisa berbagi sumber alam, terutama air, warganya yang berbeda agama saling menghormati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak menggunakan agama untuk kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain. Semua orang bermimpi seperti itu.

Para pengungsi Palestina, yang sekarang tinggal di kamp-kamp pengungsian di negara-negara di Timur Tengah, memimpikan hal yang sama. Para pengungsi Suriah yang tersebar di negara-negara Eropa juga menginginkan hal yang sama. Rakyat Irak pun demikian; Rakyat Lebanon juga ingin hidup aman dan tenteram.

Akhir tahun lalu, Paus Fransiskus mengajak para uskup yang sedang bersidang di Vatikan untuk terus berdoa bagi terciptanya rekonsiliasi dan perdamaian di Timur Tengah. ”Kita benar-benar dipukul dan mengikuti dengan penuh kepedihan melihat apa yang terjadi di Suriah, Irak, Jerusalem, dan Tepi Barat. Di tempat-tempat itu, kekerasan merajalela dan yang menjadi korban adalah orang-orang sipil yang tidak berdosa, yang tidak tahu apa-apa. Di tempat-tempat itu, krisis kemanusiaan semakin menjadi-jadi. Perang membawa kehancuran dan bertumpuk-tumpuk penderitaan orang. Harapan dan kemajuan hanya muncul dari pilihan perdamaian. Karena itu, marilah bersatu, demi tercapainya perdamaian,” kata Paus Fransiskus.

Sebagian besar warga Timur Tengah dan juga dunia menginginkan perdamaian. Wajar kalau kemudian ada yang bertanya, siapa sebenarnya yang menjatuhkan kutuk kepada Timur Tengah sehingga menjadi kawasan yang tidak pernah sepi dari peperangan, dari kebencian, dari balas dendam, dari usaha untuk saling menghancurkan, dan dari tindak kebrutalan yang tak jarang mengatasnamakan agama. Apa yang kita saksikan sekarang ini di Irak, Suriah, Palestina (juga di negara-negara luar Timur Tengah, seperti Nigeria, Somalia, Yaman, Ukraina, Afganistan, dan negara-negara lain)—tempat kehidupan dan kemanusiaan tidak dihormati, tidak dijunjung tinggi—adalah contoh praktik budaya kematian. Budaya kematian begitu kuat tertanam dalam kehidupan kita sekarang ini.

Kerinduan untuk hidup damai dankeprihatinan terhadap berbagai peristiwa kekerasan, konflik, dan perang yang mengancam perdamaian bisa menjadi tali pengikat persaudaraan yang mendorong berkembangnya gerakan hidup damai. Karena, menurut Maulana Jalaluddin Balkhi Rumi (Jalaluddin Rumi), sufi kelahiran Balkh, Afganistan, pada 30 September 1207, perdamaian itu ada di hati kita masing-masing, bukan dalam simbol-simbol keagamaan yang selama ini kita anggap suci. Hati yang suci, tercerahkan, tidak mengusung dendam dan permusuhan, dapat menjadi cermin akan adanya nilai-nilai, norma, dan prinsip-prinsip kesempurnaan yang berasal dari yang Abadi.

Tanpa semua itu, impian ”Timur Tengah Baru” tinggallah impian. Yang akan selalu hidup adalah ”Timur Tengah Lama” yang kelam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar