Sepotong
Impian
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL”Kompas Minggu
|
KOMPAS,
10 Januari 2016
Pada 1902, Theodor Herzl, bapak Zionisme politik, menerbitkan
novel utopiannya yang diberi judul Altneuland
atau ”Tanah Lama-Baru”. Demikian Martin Kramer mengawali tulisannya, The Middle East, Old and New. Martin
Kramer adalah Direktur Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African
Studies di Universitas Tel Aviv.
Theodor Herzl, lahir 2 Mei 1860 di Budapest, Hongaria, yang
waktu itu masuk wilayah Kekaisaran Austria dan meninggal pada 3 Juli 1904 di
Edlach, Austria. Dialah pendiri Zionisme, sebuah gerakan untuk mendirikan
homeland Yahudi. Pamfletnya yang diberi judul The Jewish State (1896) sangat
terkenal. Herzl mengorganisasi kongres dunia Zionis di Basel, Swiss, pada
Agustus 1897.
Novel Herzl berlatar belakang Palestina pada 1923. Pada masa itu
disebutnya sudah muncul ”Masyarakat Baru” yang terbentuk dengan kembalinya
orang-orang Yahudi ke Palestina. ”Masyarakat Baru” adalah sebuah
persemakmuran kosmopolitan yang jauh melampaui nasionalisme. Tidak ada bahasa
resmi atau agama resmi. Warga negaranya bebas untuk beribadah ”di sinagoga,
gereja, masjid, di museum-museum seni atau konser philharmonic.” Jerusalem
didominasi oleh ”Istana Perdamaian”.
Dalam ”Masyarakat Baru” itu, yang membentang hingga melintasi
Sungai Yordan, bahkan Beirut dan Damaskus, tidak ada konflik antara Yahudi
dan Arab dan tidak perlu tentara.
Pada 1993, Shimon Peres yang kemudian menjadi menteri luar
negeri dan Aryeh Naor menerbitkan buku berjudul The New Middle East. Dalam
bukunya itu, Peres mengungkapkan obsesinya tentang Timur Tengah—nationhood,
perbatasan wilayah, persenjataan—berhenti di era globalisasi. Zaman baru
telah datang. Negara-bangsa akan meredefinisi identitas mereka. Perbatasan
akan dibuka. Air dan sumber alam akan dibagi-bagi. Gudang-gundang senjata
akan dimusnahkan. Timur Tengah akan menjadi zona ekonomi tunggal yang
ditujukan untuk menciptakan kemakmuran dan keamanan warganya.
Sungguh aneh, Herzl yang mendorong orang-orang Yahudi kembali ke
Palestina dan mendirikan negara, homeland Yahudi, yang menjadi benih pecahnya
perang, sejak abad ke-20 dan hingga kini belum berakhir, bahkan tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, memiliki mimpi seperti itu. Bagaimana
mungkin mimpi seperti yang digambarkan Herzl akan mewujud kalau Israel tidak
pernah mau berdamai dan terus membangun permukiman baru dengan menyerobot
tanah-tanah milik orang-orang Palestina? Sebenarnyalah, yang membuyarkan
impian itu, Herzl sendiri dengan keinginannya mendirikan negara Yahudi.
Memang, sah-sah saja Herzl bermimpi seperti itu. Tetapi, tidak
hanya Theodor Herzl, Shimon Peres, dan Aryeh Naor saja yang memiliki mimpi
seperti itu: ingin melihat Timur Tengah yang aman dan damai, tidak ada lagi
permusuhan dan peperangan karena alasan apa pun, bisa berbagi sumber alam,
terutama air, warganya yang berbeda agama saling menghormati serta menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak menggunakan agama untuk kepentingan
politik dan kepentingan-kepentingan lain. Semua orang bermimpi seperti itu.
Para pengungsi Palestina, yang sekarang tinggal di kamp-kamp
pengungsian di negara-negara di Timur Tengah, memimpikan hal yang sama. Para
pengungsi Suriah yang tersebar di negara-negara Eropa juga menginginkan hal
yang sama. Rakyat Irak pun demikian; Rakyat Lebanon juga ingin hidup aman dan
tenteram.
Akhir tahun lalu, Paus Fransiskus mengajak para uskup yang
sedang bersidang di Vatikan untuk terus berdoa bagi terciptanya rekonsiliasi
dan perdamaian di Timur Tengah. ”Kita benar-benar dipukul dan mengikuti
dengan penuh kepedihan melihat apa yang terjadi di Suriah, Irak, Jerusalem,
dan Tepi Barat. Di tempat-tempat itu, kekerasan merajalela dan yang menjadi
korban adalah orang-orang sipil yang tidak berdosa, yang tidak tahu apa-apa.
Di tempat-tempat itu, krisis kemanusiaan semakin menjadi-jadi. Perang membawa
kehancuran dan bertumpuk-tumpuk penderitaan orang. Harapan dan kemajuan hanya
muncul dari pilihan perdamaian. Karena itu, marilah bersatu, demi tercapainya
perdamaian,” kata Paus Fransiskus.
Sebagian besar warga Timur Tengah dan juga dunia menginginkan
perdamaian. Wajar kalau kemudian ada yang bertanya, siapa sebenarnya yang
menjatuhkan kutuk kepada Timur Tengah sehingga menjadi kawasan yang tidak
pernah sepi dari peperangan, dari kebencian, dari balas dendam, dari usaha
untuk saling menghancurkan, dan dari tindak kebrutalan yang tak jarang
mengatasnamakan agama. Apa yang kita saksikan sekarang ini di Irak, Suriah,
Palestina (juga di negara-negara luar Timur Tengah, seperti Nigeria, Somalia,
Yaman, Ukraina, Afganistan, dan negara-negara lain)—tempat kehidupan dan
kemanusiaan tidak dihormati, tidak dijunjung tinggi—adalah contoh praktik
budaya kematian. Budaya kematian begitu kuat tertanam dalam kehidupan kita
sekarang ini.
Kerinduan untuk hidup damai dankeprihatinan terhadap berbagai
peristiwa kekerasan, konflik, dan perang yang mengancam perdamaian bisa
menjadi tali pengikat persaudaraan yang mendorong berkembangnya gerakan hidup
damai. Karena, menurut Maulana Jalaluddin Balkhi Rumi (Jalaluddin Rumi), sufi
kelahiran Balkh, Afganistan, pada 30 September 1207, perdamaian itu ada di
hati kita masing-masing, bukan dalam simbol-simbol keagamaan yang selama ini
kita anggap suci. Hati yang suci, tercerahkan, tidak mengusung dendam dan
permusuhan, dapat menjadi cermin akan adanya nilai-nilai, norma, dan
prinsip-prinsip kesempurnaan yang berasal dari yang Abadi.
Tanpa semua itu, impian ”Timur Tengah Baru” tinggallah impian.
Yang akan selalu hidup adalah ”Timur Tengah Lama” yang kelam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar