Berpikir
Melalui Islamfobia
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar ; Mahasiswa Pascasarjana
di University of Sheffield, UK
|
KOMPAS,
09 Januari 2016
Apa imbas dari tragedi pengeboman di Paris belum lama ini? Bagi
mahasiswa Indonesia di Inggris, satu hal bisa dirasakan: menguatnya gejala
Islamfobia. Beberapa saat setelah tragedi Paris, mulai muncul gelombang
ketidaksukaan terhadap Islam di beberapa kota di Inggris, seperti Bristol,
London, atau Aberdeen.
Suka atau tidak, tragedi Paris memang menempatkan umat Islam
sebagai tersangka. Pesan dan bingkainya dikirimkan dengan sangat jelas oleh
para pelaku serangan. Tentu saja, hal ini sudah disangkal oleh para pendakwah
yang menyatakan terorisme bukan agama. Namun, konsekuensinya tetap tak bisa
ditolak: mereka yang melekatkan identitas 'Islam' pada dirinya, tak peduli
seberapa pun tolerannya, akan menjadi korban.
Kesalahpahaman
Dalam karya kolektifnya, Bobby S Sayyid dan Abdoolkarim Vakil
(2010) mengajak kita untuk berpikir lebih mendalam mengenai Islamfobia.
Keduanya mengajukan satu pertanyaan: mengapa orang membenci Muslim atau
cenderung melekatkan kebencian tanpa sebab pada satu identitas tertentu atas
sesuatu yang tidak dilakukan oleh mereka?
Dalam pembacaaannya terhadap Islamfobia tersebut, Sayyid dan
Vakil menyimpulkan bahwa problem Islamfobia muncul bukan sekadar "potret
kebencian" orang-orang Barat yang dipupuk sejak dulu. Prosesnya
kompleks. Ia lahir di antara persimpangan konstruksi berpikir atas
"Muslim" setelah Peristiwa 9/11, serangan Amerika Serikat ke
Afganistan dan Irak, hingga kesalahpahaman yang meluas di antara masyarakat
Eropa.
Namun, ada satu poin menarik yang dicatat oleh Sayyid dan Vakil:
Islamfobia sebetulnya juga muncul sebagai sebuah penegasan bagi orang-orang
yang enggan berpikir. Dengan memahami secara simplistis Islam itu identik
dengan kekerasan, teror, atau pengekangan, Islam jadi "Yang-Lain"
bagi mereka, menjadi sesuatu yang bisa dipersalahkan ketika terjadi sesuatu
yang bisa jadi dilakukan oleh orang lain.
Proses semacam ini mengajak kita untuk berpikir lebih rumit:
mengapa Islam bisa diliyankan seperti itu? Seperti dengan baik dicatat oleh
Naeem Inayatullah, proses meliyankan sesuatu merupakan warisan yang, disadari
atau tidak, merupakan warisan kolonialisme yang entah kenapa bertahan dengan
baik dalam imaji masyarakat dunia saat ini.
Kolonialisme menciptakan sebuah imaji "superioritas"
kolonial atas negara koloninya. Dalam spektrum yang lebih luas, imaji itu
berkembang menjadi superioritas Barat atas Timur dan direproduksi dalam
berbagai bentuk hingga saat ini. Naeem Inayatullah memotret hal ini dengan
istilah the problem of difference. Problem yang saya sebut di atas bisa jadi
potret kegagalan dalam menerima perbedaan yang, ironisnya, diekspresikan
melalui kesalahpahaman.
Hal ini tidak hanya terjadi dalam konteks Islamfobia. Hal ini
terjadi ketika orang dengan identitas tertentu (yang dalam banyak hal
dibentuk untuk "superior") kemudian gagal menerima Islam sebagai
sesuatu yang berbeda. Posisi ekstremnya (sebagaimana kemudian mewujud dalam
Islamfobia) mulai membenci Islam akibat perilaku seseorang yang
mengatasnamakan Islam.
Tentu saja Islam tidak pernah mengajarkan hal yang demikian.
Padahal, semua hanyalah label dan sampul. Siapa tahu seorang Muslim bernama
Ahmed justru menjadi rebutan Facebook dan Google ketika ia diadukan gurunya
ke polisi lantaran membuat jam sendiri?
Meski demikian, akibat bingkai dan identitas yang dibawa oleh
pelaku teror, publik menangkap sesuatu yang keliru. Hal ini juga diperparah
oleh satu hal: kegagalan dalam menerima Islam sebagai sesuatu yang
"berbeda" dan melekatkan kesalahan pada identitas alih-alih
perilaku orangnya.
Hal-hal semacam ini, jika kita telaah, berakar pada satu hal:
gagal dalam menerima perbedaan dan justru menertawakan (dalam titik yang
ekstrem menghina) mereka yang "berbeda" dengan kita. Ironisnya, hal
ini justru terjadi di masyarakat yang multikultural. Kegagalan kita memahami
perbedaan menghalangi kita mengapresiasi sesuatu yang sebetulnya baik bagi
kita.
Apa yang terjadi di beberapa negara Eropa, dengan munculnya
ketidaksukaan terhadap identitas Islam yang mengarah pada pelabelan, justru
lebih parah. Islamfobia dan nalar yang ia reproduksi di sana membuat orang
menggunakan kuasa untuk menstigma atau melabeli mereka yang kemudian berbeda.
Reproduksi
nalar
Lantas, apa yang dapat kita pelajari dari hal ini? Dengan
berpikir melalui Islamfobia, sebetulnya Sayyid dan Vakil mengajak kita untuk
mawas diri: jangan-jangan kita juga mereproduksi Islamfobia tanpa sadar.
Dengan identitas yang ajeg yang ada pada diri kita, kita merasa enggan untuk
menerima perbedaan.
Mungkin, dengan alasan keamanan, sebagian kita justru membenci
orang lain dan menganggap apa yang mereka lakukan tidak baik. Padahal,
bukankah mereka yang mengaku terdidik tahu bahwa hal-hal semacam itu adalah
terlalu menggeneralisasi dan bentuk sesat pikir? Bisa jadi, kegagalan untuk
memahami perbedaan inilah yang kemudian menghasilkan fasisme: ketika
orang-orang yang merasa rasnya paling baik kemudian memarjinalisasi etnis/kelompok
lain dengan menggunakan senjata.
Reproduksi atas nalar Islamfobia ini kemudian mewujud dalam
banyak bentuk: takfiri di kalangan Muslim, rasialisme di kalangan kaum
nasionalis, bullying di kalangan anak sekolah, atau justru pelayanan yang
buruk di kalangan pejabat pelayan publik. Bentuknya bisa banyak, tetapi
muaranya satu: the problem of difference. Hal yang terjadi bahkan di tengah
jantung modernitas.
Hal yang berbahaya dari hal ini adalah: lama-lama, jika logika
semacam ini dipertahankan, kita belajar jadi penindas. Kita belajar menjadi
kaum mayoritas yang dengan angkuh menyuruh kaum minoritas untuk patuh kepada
kita, kalau perlu dengan menggunakan senjata. Kita belajar untuk menjadi
orang-orang sok kuasa yang gagal memahami kekuasaan sebagai amanah untuk
memberdayakan yang lemah.
Jika logika semacam ini dipertahankan pada birokrasi dan
kehidupan sehari-hari di kalangan anak muda, jangan pernah berpikir menjadi
pemimpin masa depan. Sebab, bisa jadi kita justru sedang belajar jadi tiran
dan berpotensi mengulang sejarah kelam masa silam.
Hal ini penting, terutama bagi mereka yang banyak dibekali
jargon-jargon semacam menjadi pemimpin masa depan. Sebelum belajar menjadi
pemimpin (atau ikut pelatihan kepemimpinan), mungkin sebagai kaum muda perlu berefleksi
secara sederhana: apakah kita belajar untuk menindas dengan pengetahuan yang
kita miliki atau tidak?
Pengetahuan bak pedang bermata ganda: ia bisa menjadi media
pembebasan bagi orang yang lemah, tetapi di saat bersamaan bisa menjadi
instrumen penindasan. Ken Setiawan merefleksikan hal ini dalam satu
tulisannya. Insinyur yang mendesain Tugu Savanajaya di Pulau Buru ini bukan
sekadar mendesain bangunan: di saat yang bersamaan, ia juga mendesain simbol
penindasan bagi para tahanan politik di pulau Buru.
Oleh sebab itulah, penting bagi mereka yang mendaku diri
intelektual masa depan untuk mawas diri melalui Islamfobia: mari belajar
untuk tidak menjadi seorang penindas. Belajar itu bisa dimulai dari hal-hal
yang simpel, seperti mengakui bahwa manusia tidak mesti diseragamkan dan
bahwa perbedaan bukan sesuatu yang seharusnya ditolak.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Mungkin kita bisa
memulainya dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer: bahwa seorang yang
terpelajar mestilah mampu bersikap adil sejak dalam pikiran. Setidaknya,
belajar untuk adil terhadap kaum lemah dan tidak menindas mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar