Senin, 11 Januari 2016

Berpikir Melalui Islamfobia

Berpikir Melalui Islamfobia

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar  ;  Mahasiswa Pascasarjana
di University of Sheffield, UK
                                                       KOMPAS, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa imbas dari tragedi pengeboman di Paris belum lama ini? Bagi mahasiswa Indonesia di Inggris, satu hal bisa dirasakan: menguatnya gejala Islamfobia. Beberapa saat setelah tragedi Paris, mulai muncul gelombang ketidaksukaan terhadap Islam di beberapa kota di Inggris, seperti Bristol, London, atau Aberdeen.

Suka atau tidak, tragedi Paris memang menempatkan umat Islam sebagai tersangka. Pesan dan bingkainya dikirimkan dengan sangat jelas oleh para pelaku serangan. Tentu saja, hal ini sudah disangkal oleh para pendakwah yang menyatakan terorisme bukan agama. Namun, konsekuensinya tetap tak bisa ditolak: mereka yang melekatkan identitas 'Islam' pada dirinya, tak peduli seberapa pun tolerannya, akan menjadi korban.

Kesalahpahaman

Dalam karya kolektifnya, Bobby S Sayyid dan Abdoolkarim Vakil (2010) mengajak kita untuk berpikir lebih mendalam mengenai Islamfobia. Keduanya mengajukan satu pertanyaan: mengapa orang membenci Muslim atau cenderung melekatkan kebencian tanpa sebab pada satu identitas tertentu atas sesuatu yang tidak dilakukan oleh mereka?

Dalam pembacaaannya terhadap Islamfobia tersebut, Sayyid dan Vakil menyimpulkan bahwa problem Islamfobia muncul bukan sekadar "potret kebencian" orang-orang Barat yang dipupuk sejak dulu. Prosesnya kompleks. Ia lahir di antara persimpangan konstruksi berpikir atas "Muslim" setelah Peristiwa 9/11, serangan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak, hingga kesalahpahaman yang meluas di antara masyarakat Eropa.

Namun, ada satu poin menarik yang dicatat oleh Sayyid dan Vakil: Islamfobia sebetulnya juga muncul sebagai sebuah penegasan bagi orang-orang yang enggan berpikir. Dengan memahami secara simplistis Islam itu identik dengan kekerasan, teror, atau pengekangan, Islam jadi "Yang-Lain" bagi mereka, menjadi sesuatu yang bisa dipersalahkan ketika terjadi sesuatu yang bisa jadi dilakukan oleh orang lain.

Proses semacam ini mengajak kita untuk berpikir lebih rumit: mengapa Islam bisa diliyankan seperti itu? Seperti dengan baik dicatat oleh Naeem Inayatullah, proses meliyankan sesuatu merupakan warisan yang, disadari atau tidak, merupakan warisan kolonialisme yang entah kenapa bertahan dengan baik dalam imaji masyarakat dunia saat ini.

Kolonialisme menciptakan sebuah imaji "superioritas" kolonial atas negara koloninya. Dalam spektrum yang lebih luas, imaji itu berkembang menjadi superioritas Barat atas Timur dan direproduksi dalam berbagai bentuk hingga saat ini. Naeem Inayatullah memotret hal ini dengan istilah the problem of difference. Problem yang saya sebut di atas bisa jadi potret kegagalan dalam menerima perbedaan yang, ironisnya, diekspresikan melalui kesalahpahaman.

Hal ini tidak hanya terjadi dalam konteks Islamfobia. Hal ini terjadi ketika orang dengan identitas tertentu (yang dalam banyak hal dibentuk untuk "superior") kemudian gagal menerima Islam sebagai sesuatu yang berbeda. Posisi ekstremnya (sebagaimana kemudian mewujud dalam Islamfobia) mulai membenci Islam akibat perilaku seseorang yang mengatasnamakan Islam.

Tentu saja Islam tidak pernah mengajarkan hal yang demikian. Padahal, semua hanyalah label dan sampul. Siapa tahu seorang Muslim bernama Ahmed justru menjadi rebutan Facebook dan Google ketika ia diadukan gurunya ke polisi lantaran membuat jam sendiri?

Meski demikian, akibat bingkai dan identitas yang dibawa oleh pelaku teror, publik menangkap sesuatu yang keliru. Hal ini juga diperparah oleh satu hal: kegagalan dalam menerima Islam sebagai sesuatu yang "berbeda" dan melekatkan kesalahan pada identitas alih-alih perilaku orangnya.

Hal-hal semacam ini, jika kita telaah, berakar pada satu hal: gagal dalam menerima perbedaan dan justru menertawakan (dalam titik yang ekstrem menghina) mereka yang "berbeda" dengan kita. Ironisnya, hal ini justru terjadi di masyarakat yang multikultural. Kegagalan kita memahami perbedaan menghalangi kita mengapresiasi sesuatu yang sebetulnya baik bagi kita.

Apa yang terjadi di beberapa negara Eropa, dengan munculnya ketidaksukaan terhadap identitas Islam yang mengarah pada pelabelan, justru lebih parah. Islamfobia dan nalar yang ia reproduksi di sana membuat orang menggunakan kuasa untuk menstigma atau melabeli mereka yang kemudian berbeda.

Reproduksi nalar

Lantas, apa yang dapat kita pelajari dari hal ini? Dengan berpikir melalui Islamfobia, sebetulnya Sayyid dan Vakil mengajak kita untuk mawas diri: jangan-jangan kita juga mereproduksi Islamfobia tanpa sadar. Dengan identitas yang ajeg yang ada pada diri kita, kita merasa enggan untuk menerima perbedaan.

Mungkin, dengan alasan keamanan, sebagian kita justru membenci orang lain dan menganggap apa yang mereka lakukan tidak baik. Padahal, bukankah mereka yang mengaku terdidik tahu bahwa hal-hal semacam itu adalah terlalu menggeneralisasi dan bentuk sesat pikir? Bisa jadi, kegagalan untuk memahami perbedaan inilah yang kemudian menghasilkan fasisme: ketika orang-orang yang merasa rasnya paling baik kemudian memarjinalisasi etnis/kelompok lain dengan menggunakan senjata.

Reproduksi atas nalar Islamfobia ini kemudian mewujud dalam banyak bentuk: takfiri di kalangan Muslim, rasialisme di kalangan kaum nasionalis, bullying di kalangan anak sekolah, atau justru pelayanan yang buruk di kalangan pejabat pelayan publik. Bentuknya bisa banyak, tetapi muaranya satu: the problem of difference. Hal yang terjadi bahkan di tengah jantung modernitas.

Hal yang berbahaya dari hal ini adalah: lama-lama, jika logika semacam ini dipertahankan, kita belajar jadi penindas. Kita belajar menjadi kaum mayoritas yang dengan angkuh menyuruh kaum minoritas untuk patuh kepada kita, kalau perlu dengan menggunakan senjata. Kita belajar untuk menjadi orang-orang sok kuasa yang gagal memahami kekuasaan sebagai amanah untuk memberdayakan yang lemah.

Jika logika semacam ini dipertahankan pada birokrasi dan kehidupan sehari-hari di kalangan anak muda, jangan pernah berpikir menjadi pemimpin masa depan. Sebab, bisa jadi kita justru sedang belajar jadi tiran dan berpotensi mengulang sejarah kelam masa silam.

Hal ini penting, terutama bagi mereka yang banyak dibekali jargon-jargon semacam menjadi pemimpin masa depan. Sebelum belajar menjadi pemimpin (atau ikut pelatihan kepemimpinan), mungkin sebagai kaum muda perlu berefleksi secara sederhana: apakah kita belajar untuk menindas dengan pengetahuan yang kita miliki atau tidak?

Pengetahuan bak pedang bermata ganda: ia bisa menjadi media pembebasan bagi orang yang lemah, tetapi di saat bersamaan bisa menjadi instrumen penindasan. Ken Setiawan merefleksikan hal ini dalam satu tulisannya. Insinyur yang mendesain Tugu Savanajaya di Pulau Buru ini bukan sekadar mendesain bangunan: di saat yang bersamaan, ia juga mendesain simbol penindasan bagi para tahanan politik di pulau Buru.

Oleh sebab itulah, penting bagi mereka yang mendaku diri intelektual masa depan untuk mawas diri melalui Islamfobia: mari belajar untuk tidak menjadi seorang penindas. Belajar itu bisa dimulai dari hal-hal yang simpel, seperti mengakui bahwa manusia tidak mesti diseragamkan dan bahwa perbedaan bukan sesuatu yang seharusnya ditolak.

Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Mungkin kita bisa memulainya dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer: bahwa seorang yang terpelajar mestilah mampu bersikap adil sejak dalam pikiran. Setidaknya, belajar untuk adil terhadap kaum lemah dan tidak menindas mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar