Senin, 11 Januari 2016

Aliansi Militer Islam

Aliansi Militer Islam

Siti Mutiah Setiawati  ;  Dosen Fisipol dan Kajian Timur Tengah,
Sekolah Pascasarjana UGM
                                                       KOMPAS, 09 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 15 Desember 2015, Mohammad Bin Salman-Putra Mahkota sekaligus Menteri Pertahanan Arab Saudi-mengumumkan pembentukan Aliansi Militer Islam yang terdiri atas 34 negara, di antaranya Qatar, Uni Emirat Arab, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.

Menlu Arab Saudi Adel al Jubeir menjelaskan tujuan utama dibentuknya Aliansi Militer Islam ini, yaitu pembentukan koalisi negara-negara Islam untuk saling berbagi informasi, pelatihan, dan menyediakan angkatan bersenjata dalam mengatasi militansi yang menjurus terorisme, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda. Apakah aliansi ini sebuah solusi dalam mengatasi terorisme dunia yang datang dari dunia Islam atau justru menambah masalah baru?

Aliansi ini akan berpusat di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, negara tempat lahirnya Islam dan sekaligus menjadi pemangku dua kota suci umat Islam (Mekkah dan Madinah), sehingga sebagian besar umat Islam akan terikat dengan negara ini. Aliansi ini membuat dunia Islam semakin terpecah dan terkotak kotak ke dalam kelompok-kelompok yang semakin tidak jelas kriterianya.

Sebelumnya, dunia Islam terbagi jadi Sunni dan Syiah (aliran agama), moderat dan radikal (sikap terhadap konflik internasional), pro Barat, pro Timur, dan nonblok (ideologi), kaya, menengah, dan miskin (ekonomi). Negara dengan identitas berpenduduk mayoritas Islam dan cenderung moderat seperti Indonesia akan menghadapi dilema antara menerima dan menolak. Jika menerima, berarti melanggar prinsip politik luar negeri bebas aktif dan nonblok yang melarang turut dalam aliansi militer. Kalau menolak, kemungkinan akan dikucilkan dari dunia Islam.

Ada keraguan apakah pengeboman KBRI di Yaman beberapa waktu lalu kesalahan target atau kesengajaan. Sebab, sebelumnya Indonesia memang menolak bergabung dengan Arab Saudi memerangi Houthi di Yaman. Ini mengingat di zaman teknologi serba presisi tinggi kesalahan target kurang bisa diterima.

Aliansi dalam hubungan internasional diartikan sebagai perjanjian militer antara dua negara atau lebih yang mempersiapkan rencana penyerangan bersama atau membantu menyerang secara bersama jika salah satu negara terancam diserang negara lain. Jika tujuan utama aliansi ini untuk memerangi kelompok NIIS yang telah membuat aksi teror di mana-mana, termasuk terakhir di Paris (Perancis) dan California (AS), maka yang akan diserang adalah basis gerakan NIIS, yaitu di Irak dan Suriah.

Irak, negara Islam yang hampir 10 tahun diduduki AS, telah jatuh jadi negara yang terpecah belah secara sektarian. Ketakmampuan Pemerintah Irak beri keamanan dan kesejahteraan bagi rakyat membuat negara ini dikategorikan sebagai negara gagal. Penyerangan terhadap negara ini dengan maksud menghancurkan kekuatan NIIS akan membuat penderitaan rakyat semakin parah, mengingat rakyat sipil dapat jadi korban dengan alasan salah target, seperti pernah dilakuan AS di Afganistan.

Kurang solid

Keadaan di Suriah tidak lebih baik. Imigran Suriah ke negara Arab tetangganya, Eropa, Kanada, AS, dan Australia telah mencapai sekitar 3 juta orang-sebagian besar wanita dan anak-anak. Ini telah menarik perhatian dunia. Peristiwa itu adalah peristiwa kemanusiaan terbesar dan terhebat abad ini; ketika orang terpaksa keluar dari bumi tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, lalu menjadi pengungsi. Nasib mereka, terbuang atau diterima sebagai warga, sangat bergantung pada negara penerima. Hal ini menunjukkan keadaan dalam negeri Suriah telah porak-poranda.

Negeri Sham ini telah terbelah menjadi antara yang mendukung Bashar al-Assad yang baru saja memenangi 88,7 persen suara dalam pemilu presiden pada Juni 2014 dan yang menginginkan Bashar turun atau sering disebut sebagai kelompok oposisi. Kelompok oposisi terbagi menjadi kelompok-kelompok Al Nusra yang baru saja dikategorilkan AS sebagai kelompok teroris, NIIS, Tentara Suriah Merdeka (Free Syrian Army), dan Dewan Militer Tertinggi (Supreme Military Council).

Negara pendukung juga terpecah. AS sangat menginginkan Bashar al-Assad turun, tetapi Rusia mendukung Bashar al-Assad. Meski demikian, baik AS maupun Rusia sama-sama akan memerangi NIIS. Sungguh merupakan situasi yang tidak mudah kalau akan memerangi NIIS dengan membangun aliansi militer yang juga mengatasnamakan Islam.

Sepertinya, mendorong koalisi Amerika-Rusia untuk mengatasi meluasnya terorisme yang dilakukan oleh NIIS di Suriah akan lebih mudah daripada membangun Aliansi Militer Islam yang menyulitkan posisi negara Islam lain yang tidak mendukung.

Sementara itu, tiga hari setelah diumumkannya Aliansi Militer Islam, AS menyelenggarakan konferensi di New York yang mengundang 20 negara yang berkepentingan di Suriah, seperti Iran, Rusia, dan Tiongkok, untuk menyelesaikan konflik di Suriah. Syarat utama keberhasilan perundingan adalah jika hasil perundingan dapat diterapkan secara mudah dan realistik.

Dalam pertemuan ini, sebelum berunding, Presiden Rusia Vladimir Putin meyakinkan Bashar al-Assad bahwa Rusia tetap akan mendukung kekuasaannya, sementara AS melalui Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan bahwa Rusia telah melukai AS karena mendukung Bashar al-Assad. Dalam waktu bersamaan, keduanya mengatakan siap bekerja sama menghentikan konflik di Suriah. Pada akhirnya, konferensi ini tak menghasilkan penyelesaian apa pun seperti janji mereka untuk mengakhiri konflik Suriah. Di samping itu, AS ataupun Rusia-dua negara yang saat ini berkepentingan atas penyelesaian konflik di Suriah-belum terbaca sikapnya atas aliansi militer ini.

Dari beberapa aliansi militer yang pernah didirikan guna mengatasi ancaman, tinggal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan pada 1949 dan ANZUS (Australia, Selandia Baru, AS) yang didirikan pada tahun 1951. Aliansi militer yang lain, seperti Pakta Warsawa, Pakta Baghdad, SEATO, dan CENTO sudah bubar karena tidak adanya musuh yang harus diatasi bersama dan kurang solidnya anggota. Nasib sama kemungkinan dialami Aliansi Militer Islam karena yang dianggap musuh berada di organ tubuh mereka, menghancurkan mereka tidak mungkin tanpa melukai diri sendiri, yaitu komunitas Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar