Senin, 17 Februari 2014

Wajah

                                       Wajah

Bre Redana  ;   Kolumnis “UDAR RASA’ di Kompas Minggu
KOMPAS,  16 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Entah keberapa ribu kali, seperti dalam diskusi mengenai pers beberapa waktu lalu, orang bertanya kepada saya, apa beda antara opini dan berita. Mereka umumnya melanjutkan dengan kritik ataupun keluhan, betapa pers sering tidak bisa membedakan mana fakta mana opini. Pertanyaan tak kalah sering, berhubungan dengan novel ataupun cerpen-cerpen yang pernah saya tulis. Apakah yang Anda ceritakan di situ adalah diri Anda?

Kalau saya jawab singkat, berita itu opini, opini itu berita, orang kesal. Maka, meski bosan mengemukakan pendapat sama berulang-ulang, saya katakan dengan sopan bahwa dari segi etimologi mudah membedakan arti opini dan berita. Tidak demikian ketika berita menjadi produk industri, cetak ataupun elektronik.

Sejak pemilihan mana yang harus diberitakan mana yang tidak, di situ sudah terdapat interferensi opini. Mengapa artis cantik setengah tua yang menggugat cerai suaminya kami beritakan, sementara peneliti padi yang menemukan varietas unggul kami abaikan, nah di situlah persoalannya, saudara-saudara. Atau tepatnya, itulah problematik kebudayaan kita.

Kini, dengan revolusi teknologi informasi, kita dibanjiri berita tak putus-putus selama 24 jam. Sementara kalau kita tengok kerja otak, dia tidak bereaksi sama terhadap semua jenis informasi. Informasi yang sifatnya abstrak, kompleks, tidak terproses oleh kantor berita alias news room, kurang kita minati. Bikin capek, ngantuk. 

Sebaliknya, informasi berbau skandal, mengagetkan, berhubungan dengan orang (baca tokoh), menstimulasi otak kita. Maka, di dunia pers pun dikenal istilah: people makes news. Orang (terutama orang terkenal) melahirkan berita. Dengan kata lain, berita atau informasi sebaiknya punya wajah, terutama wajah terkenal, bagus lagi kalau cantik dan makmur. Koruptor juga tak apa.

Pers mengindustrikan itu. Berita yang memiliki wajah diminati orang. Sebaliknya, informasi tanpa wajah, yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, betapa pun problematiknya, kurang diminati, dianggap sukar mendatangkan pengiklan dan sponsor. Sedikit tips: kalau terpaksa harus memaparkan masalah kompleks, carilah satu dua artis untuk ikut berbicara. Biar menarik. Itulah sebabnya, kita sering menemukan di sejumlah media, wajah-wajah terkenal, termasuk artis, disuruh bicara apa saja. Kita semua menikmati, bahkan terstimulasi oleh  kebloonan mereka.

Kurang lebih, begitulah menu informasi yang kita santap sehari-hari sekarang. Ia seperti gula atau vetsin penyedap masakan: menimbulkan selera, mudah dicerna, mengandung unsur merugikan dalam jangka jauh.

Maka jawaban saya untuk pertanyaan pertama di atas: sebaiknya Anda tidak mengonsumsi berita. Tidak perlu baca koran, nonton televisi, mengikuti pergunjingan di Facebook, dan lain-lain. Berdasar informasi tak berkejuntrungan dari proses industrialisasi berita semacam itu, Anda tidak akan kemana-mana. Truth atau kasunyatan akan Anda temukan kalau Anda sanggup menarik diri, tak terhanyut banjir bandang informasi yang menggelontorkan apa saja, termasuk tentu saja sampah.

Ada yang mencoba bijak, katanya persoalan masa kini adalah bagaimana menyaring atau membikin filter terhadap informasi. Baik. Paling mudah menyaring informasi sebenarnya tidak dengan jaringan virtual, tetapi dengan jaringan bebrayatan, sesrawungan, pergaulan antara manusia berdarah daging. Jangan percaya kepada manusia yang memoles citra dirinya lewat media, entah apa pun medianya, termasuk baliho-baliho di pinggir jalan. Hoek. Satu-satunya bencana yang saya harapkan adalah badai, itu pun terbatas hendaknya cuma merobohkan baliho-baliho para caleg dan politisi.

Sekarang tentang pertanyaan, apakah yang saya tulis dalam novel atau cerpen adalah diri saya? Bukan. Itu adalah urusan teks, bahasa, dan kredibilitas cerita.
Kalau ada yang menulis buku dan mendaku bahwa itu adalah cerita hidup pribadi, kisah sukses dan perjuangannya, diniatkan untuk memberi inspirasi, lebih baik Anda berhenti membaca. Dipastikan dia banyak bohong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar