Wajah
Bre
Redana ; Kolumnis “UDAR RASA’ di Kompas Minggu
|
KOMPAS,
16 Februari 2014
Entah keberapa
ribu kali, seperti dalam diskusi mengenai pers beberapa waktu lalu, orang bertanya
kepada saya, apa beda antara opini dan berita. Mereka umumnya melanjutkan
dengan kritik ataupun keluhan, betapa pers sering tidak bisa membedakan mana
fakta mana opini. Pertanyaan tak kalah sering, berhubungan dengan novel
ataupun cerpen-cerpen yang pernah saya tulis. Apakah yang Anda ceritakan di
situ adalah diri Anda?
Kalau saya
jawab singkat, berita itu opini, opini itu berita, orang kesal. Maka, meski
bosan mengemukakan pendapat sama berulang-ulang, saya katakan dengan sopan
bahwa dari segi etimologi mudah membedakan arti opini dan berita. Tidak
demikian ketika berita menjadi produk industri, cetak ataupun elektronik.
Sejak
pemilihan mana yang harus diberitakan mana yang tidak, di situ sudah terdapat
interferensi opini. Mengapa artis cantik setengah tua yang menggugat cerai
suaminya kami beritakan, sementara peneliti padi yang menemukan varietas
unggul kami abaikan, nah di situlah persoalannya, saudara-saudara. Atau
tepatnya, itulah problematik kebudayaan kita.
Kini, dengan
revolusi teknologi informasi, kita dibanjiri berita tak putus-putus selama 24
jam. Sementara kalau kita tengok kerja otak, dia tidak bereaksi sama terhadap
semua jenis informasi. Informasi yang sifatnya abstrak, kompleks, tidak
terproses oleh kantor berita alias news room, kurang kita minati. Bikin
capek, ngantuk.
Sebaliknya,
informasi berbau skandal, mengagetkan, berhubungan dengan orang (baca tokoh),
menstimulasi otak kita. Maka, di dunia pers pun dikenal istilah: people
makes news. Orang (terutama orang terkenal) melahirkan berita. Dengan
kata lain, berita atau informasi sebaiknya punya wajah, terutama wajah
terkenal, bagus lagi kalau cantik dan makmur. Koruptor juga tak apa.
Pers
mengindustrikan itu. Berita yang memiliki wajah diminati orang. Sebaliknya,
informasi tanpa wajah, yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, betapa
pun problematiknya, kurang diminati, dianggap sukar mendatangkan pengiklan
dan sponsor. Sedikit tips: kalau
terpaksa harus memaparkan masalah kompleks, carilah satu dua artis untuk ikut
berbicara. Biar menarik. Itulah sebabnya, kita sering menemukan di
sejumlah media, wajah-wajah terkenal, termasuk artis, disuruh bicara apa
saja. Kita semua menikmati, bahkan terstimulasi oleh kebloonan mereka.
Kurang lebih,
begitulah menu informasi yang kita santap sehari-hari sekarang. Ia seperti
gula atau vetsin penyedap masakan: menimbulkan selera, mudah dicerna,
mengandung unsur merugikan dalam jangka jauh.
Maka jawaban
saya untuk pertanyaan pertama di atas: sebaiknya Anda tidak mengonsumsi
berita. Tidak perlu baca koran, nonton televisi, mengikuti pergunjingan di
Facebook, dan lain-lain. Berdasar informasi tak berkejuntrungan dari proses
industrialisasi berita semacam itu, Anda tidak akan kemana-mana. Truth atau kasunyatan akan Anda temukan kalau Anda sanggup
menarik diri, tak terhanyut banjir bandang informasi yang menggelontorkan apa
saja, termasuk tentu saja sampah.
Ada yang
mencoba bijak, katanya persoalan masa kini adalah bagaimana menyaring atau
membikin filter terhadap informasi. Baik. Paling mudah menyaring informasi
sebenarnya tidak dengan jaringan virtual, tetapi dengan jaringan bebrayatan, sesrawungan, pergaulan antara
manusia berdarah daging. Jangan percaya kepada manusia yang memoles citra
dirinya lewat media, entah apa pun medianya, termasuk baliho-baliho di
pinggir jalan. Hoek. Satu-satunya bencana yang saya harapkan adalah badai,
itu pun terbatas hendaknya cuma merobohkan baliho-baliho para caleg dan
politisi.
Sekarang
tentang pertanyaan, apakah yang saya tulis dalam novel atau cerpen adalah
diri saya? Bukan. Itu adalah urusan teks, bahasa, dan kredibilitas cerita.
Kalau ada yang
menulis buku dan mendaku bahwa itu adalah cerita hidup pribadi, kisah sukses
dan perjuangannya, diniatkan untuk memberi inspirasi, lebih baik Anda
berhenti membaca. Dipastikan dia banyak bohong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar