My Way
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis
Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
16 Februari 2014
Ketika saya membaca
tewasnya aktor layar lebar, Philip Seymour Hoffman, gara-gara narkoba dengan
jarum di lengannya, pertanyaan pertama yang melintas di kepala saya adalah
sebuah pertanyaan yang membuat saya sendiri merasa aneh. Begini. Apakah ia
meninggal dalam puncak bahagianya dan bukan sebaliknya?
Cinta diri
Pertanyaan berikutnya,
apakah kejadian itu membuktikan bahwa ia mencintai diri dengan luar biasa?
Saya jadi berpikir, katakan kalau saya ini tidak bahagia, tindakan apa yang
kira-kira akan saya lakukan untuk mengatasi ketidakbahagiaan itu?
Jawabannya sangat sederhana,
tetapi belum tentu eksekusinya. Kalau tidak bahagia, yaa...mencari jalan
bagaimana menjadi bahagia. Mengapa demikian? Karena saya sungguh mencintai
diri saya, maka saya mencari solusinya.
Dengan kepandaian yang
pas-pasan, saya berpikir bahwa mencintai diri akan melahirkan kebahagiaan
diri. Jadi, karena saya mencintai diri maka saya mencari jalan keluar apa pun
caranya, untuk bisa membahagiakan hidup yang tidak bahagia itu. Bisa jadi
mister Hoffman berpikir seperti saya untuk mencari jalan keluar, dan ia
memilih jalan seperti yang Anda dan saya telah baca di beberapa media.
Karena kalau solusi
yang dipilih seseorang itu tidak membuatnya bahagia, ia tak akan
melakukannya, bukan? Apa pentingnya melakukan sesuatu yang tidak
membahagiakan, la wong sekarang
saja sudah tak bahagia? Masak ketidakbahagiaan dibuat berkali-kali dan
dijadikan sebuah target kebahagiaan?
Beberapa jam setelah
pertanyaan melintas di benak saya akan kematian aktor kondang itu, saya
menyaksikan film berjudul Running
With Scissors. Dan dalam sebuah adegan, seorang ibu menjelaskan
kepada putranya, mengapa ia menyerahkan anaknya untuk diadopsi. ”Aku sangat mencintaimu dan aku ingin
engkau bahagia. Engkau akan mendapat kebahagiaan di tempat itu.”
Kira-kira demikian kalimatnya.
Menyaksikan adegan
dalam film itu, saya jadi berpikir, bukankah seharusnya kalau seorang ibu itu
mencintai anaknya, yaa...sudah menjadi kewajiban, bahwa ia yang menciptakan
kebahagiaan buat yang dicintainya, dan bukan malah mengusulkan anaknya untuk
mencari kebahagiaan di luar sehingga orang lain diberi beban yang seharusnya
menjadi bebannya.
Entah dari mana saya
mulai berpikir, mungkin kalau sebagai ibu, saya tak pernah mencintai diri
sendiri, sudah sewajarnya saya tak bisa menciptakan kebahagiaan diri, apalagi
menciptakan untuk orang lain.
Apa yang saya mau
bagikan kepada orang lain, la wong cinta
yang melahirkan kebahagiaan saja tak ada di dalam diri saya. Dan kalaupun
ada, jumlahnya sedikit sekali sehingga tak mencukupi untuk dibagikan kepada
yang seharusnya mendapatkannya.
Jadi benarlah kata si
ibu, karena ia mencintai anaknya, ia tak berkeinginan anaknya tak bahagia
bersamanya. Solusi yang dipilihnya, menyodorkan anaknya untuk diadopsi.
Sebuah solusi yang tak masuk akal buat saya, tapi apa boleh buat.
Manusia bodoh
Teman wanita saya
memiliki pasangan yang doyannya berselingkuh, saya menyarankan untuk
mengakhiri perkawinannya saja. Ia mengatakan itu tak masalah, selama ia masih
memiliki rumah dan harta. Materi duniawi itu membuat ia bahagia.
Buatnya, itu penting
sekali, karena hidup kekurangan bukanlah cita-citanya sejak remaja dulu. Ia
mencintai dirinya dengan sangat, dikhianati adalah risiko dari begitu
dalamnya mencintai diri sendiri.
Anda pikir dia tak
waras? Saya sebagai temannya saja sudah menganggap dia tidak waras. Mengapa
saya berpikir demikian? Mungkin karena sesungguhnya, saya tak mengerti isi
kepala orang lain, karena saya terbiasa melihat kebahagiaan orang lain hanya
dengan kacamata saya sendiri, dengan standar kebahagiaan saya.
Saya sungguh tahu,
tapi sering tak menyadari bahwa standar mencintai diri dan kebahagiaan diri
itu, berbeda untuk setiap orang. Mungkin itu harus saya camkan, sehingga saya
mengerti mengapa ada manusia seperti mister Hoffman, ada ibu seperti dalam
film yang sangat depresif itu, dan ada manusia bernama teman wanita saya
tadi.
Saya sendiri sedang
jatuh cinta kepada manusia yang menurut teman-teman saya tak pantas untuk
dicintai. Yang juga sejujurnya telah membuka mata dan hati saya, bahwa di
dunia ini ada manusia yang tak dianugerahi hati dan nurani yang sehat. Dan
kalaupun ia dianugerahi, ia tak tahu dan pura-pura tidak tahu bagaimana
memanfaatkannya untuk membahagiakan orang lain.
Tetapi saya sedang
berusaha untuk ’mengajarkannya’ menggunakan dengan melihat bagaimana besarnya
cinta saya kepadanya, dan bukan menasihatinya agar ia menyehatkan hati dan
nuraninya. Dan keputusan saya untuk melakukan itu, membuahkan predikat
sebagai manusia bodoh. Teman saya berkata begini.
”Ternyata ada di dunia ini, manusia yang lebih bodoh dari kebodohan
itu sendiri.”
Buat orang lain, saya
bodoh. Buat saya sendiri, saya sedang mencintai diri dan mencari kebahagiaan,
meski jalannya ajaib buat orang lain. Tapi cinta diri itu harus
diperjuangkan, apa pun cara yang dipilih.
Dan perjuangan itu
bukan untuk disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain, meski berisiko
mendatangkan penghakiman dan predikat terkotor yang pernah ada di dunia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar