Kamis, 13 Februari 2014

Usman, Harun, Susilo

                           Usman, Harun, Susilo

 Raymond Kaya  ;   Wartawan di SCTV
TEMPO.CO,  13 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Tiga nama, yakni Usman, Harun, dan Susilo, memang tidak berhubungan, tapi paling tidak nama mereka belakangan ini bisa dikaitkan dengan nama sebuah negara, Singapura. Usman dan Harun, nama keduanya diabadikan pada sebuah kapal kelas fregat ringan jenis Nakhoda Ragam buatan Inggris. 

Penamaan KRI Usman Harun ini kemudian menuai protes dari Singapura karena latar belakang sejarah. Pengeboman yang dilakukan keduanya di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, pada 1965 menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Pengeboman ini dianggap pemerintah Singapura sebagai sebuah tindakan teroris. Tapi, bagi Indonesia, tindakan yang dilakukan kedua prajurit KKO (kini Marinir) ini dianggap sebagai bagian dari strategi perang.

Kini Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia berkata di media,
"Kalau Singapura dan Malaysia tidak ekspor BBM, dalam waktu lima hari, kita (Indonesia) bisa meninggal. Sebab, kita punya banyak pesawat tempur. Nah, itu mau diisi apa kalau bukan BBM. Mau diisi air?"

Ucapan Susilo ini bukan tanpa bukti. Pada 2013, Indonesia mengimpor BBM dengan total biaya US$ 28,56 miliar atau sekitar Rp 285 triliun. Dari jumlah itu, nilai impor BBM dari Singapura US$ 15,145 miliar atau sekitar Rp 151 triliun. Selama ini,
Singapura memiliki penyulingan minyak tercanggih di dunia. Ini baru dari sisi energi, belum dari sisi telekomunikasi, investasi, dan lain-lain. Pendek kata, Indonesia bergantung pada Singapura. 

Jadi, di satu sisi, Indonesia boleh melakukan apa saja sebagai sebuah negara yang berdaulat, apalagi untuk sebuah nama kapal perangnya. Bahkan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun tak berniat datang ke Singapore Airshow karena ada 100 perwiranya yang undangannya dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Singapura. Tapi, apakah hanya karena alasan pengeboman pada 1965 itu pemerintah Singapura melontarkan ketidakpuasannya?

Sebuah negara diperhitungkan bukan dari sekadar memiliki wilayah yang besar, tapi memiliki besar-besaran lain, seperti kondisi ekonomi, politik, dan pemimpin bangsanya. Sebuah negara yang besar seperti Indonesia seharusnya menjadi big brother di kawasannya-di Asia Tenggara. 

Kini, Indonesia terlihat unggul dalam konteks perang propaganda politik dengan ungkapan "keluhan Singapura kami catat" atau "penamaan Usman Harun hak kita" dan lain-lain. Tapi sebenarnya Indonesia tidak mampu secara pasti meredam "omelan" Singapura itu. Sebuah ironi, ketika Singapura yang tidak memiliki minyak mentah sanggup mengekspor BBM, karena memiliki kilang minyak yang canggih, dan sebaliknya dengan Indonesia. 

Sebuah ironi, ketika banyak pengusaha Indonesia lebih memilih bertransaksi di Singapura, karena pajak yang lebih murah dan disimpan di bank-bank yang dianggap lebih aman. Belum lagi urusan kesehatan, fashion, hingga wisata. 

Jadi, tuntutan Singapura untuk mengubah nama KRI Usman Harun bukanlah sebuah retorika politik yang hanya didasarkan pada emosi masa lalu, tapi bisa membuat negara lain bergantung kepadanya. Paling tidak, itu yang diungkap oleh Wamen Susilo, "Kita punya banyak pesawat tempur. Nah, itu mau diisi apa kalau bukan BBM. Mau diisi air?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar