Senin, 17 Februari 2014

Orang Biasa dan Kerja Luar Biasa

                Orang Biasa dan Kerja Luar Biasa

Rhenald Kasali  ;   Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS,  16 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
KARYA - karya luar biasa hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang luar biasa. Kalimat seperti itu seakan menjadi ak­sioma dan kerap membuat kita bergidik. Lalu, apa yang bisa dihasilkan oleh orang-orang biasa seperti kita? 

Atau, kalau memakai kalimat yang lain, apakah orang-orang biasa seperti kita tidak akan bisa menghasilkan karya-karya yang luar biasa?

Kalau iya, mungkin celakalah kita semua. Sebab, tidak banyak orang di dunia ini yang dianugerahi kecerdasan seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Issac Newton, atau William James Sidis yang disebut-sebut sebagai manusia paling cerdas di dunia karena memiliki tingkat IQ di atas 140.

Lord of The Rings 

Setiap berbicara tentang orang-orang biasa, saya selalu teringat pada trilogi film The Lord of The Rings. Bagi saya, film itu tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi. Kita bisa saja memaknai film tersebut sebagai pertarungan antara kekuatan jahat melawan kekuatan baik. Tapi, kita juga bisa memberikan makna yang lain: Kekuatan persahabatan dari orang-orang biasa yang melahirkan kerja luar biasa.

Orang-orang biasa dalam film tersebut diwakili Frodo Baggins dan kawan-kawannya dari Desa Shire. Kerja luar biasanya adalah menghancurkan cincin yang punya pengaruh jahat. Cincin itu hanya bisa dimusnahkan di kawah Mount Doom. Perjalanan memusnahkan cincin itulah yang menjadi tema utama trilogi film tersebut.

Saya tentu tidak bermaksud menjelaskan isi film dengan menyajikan resumenya. Saya yakin sebagian besar di antara Anda pernah menonton film yang kaya makna itu dan tahu jalan ceritanya. Inti yang hendak saya sampaikan adalah inspirasi film tersebut. Yakni, orang-orang biasa yang mampu menghasilkan karya yang luar biasa.

Di tempat pembuatan film itu, di sebuah toko buku bekas di Takapuna, saya menemukan buku yang jarang saya dapatkan di sini. Judulnya Garry Kasparov: How Life Imitates Chess. Dalam buku itu, juara catur dunia termuda sepanjang sejarah tersebut menulis begini, ''Instead of wanting to know about games and tournaments, people wanted to know how I had achieved my unprecedented success?''

Uniknya, orang-orang itu selalu bertanya apa yang dia makan, berapakah skor nilai kecerdasan (IQ)-nya, apakah betul itu photographic memory? Kasparov pun menjawab dengan lugu dan tentu saja yang mendengarkan jawabannya tampak kecewa.

''My memory was good but not photographic,'' ujarnya. ''Makanan yang saya makan pun sama dengan yang mereka makan. Saya makan ikan salem, steak, dan tonic water setiap akan mulai pertandingan.'' Mereka menduga Kasparov rajin mengonsumsi vitamin tertentu atau punya menu khusus. Ternyata biasa saja.

Kita di sini memiliki banyak orang seperti Frodo Baggins. Anda bisa menemukannya di mana-mana. Dalam musibah gunung meletus di Sinabung atau Gunung Kelud atau dalam bencana banjir yang melanda Jakarta, Manado, serta kota-kota lainnya di Indonesia beberapa waktu lalu, kita menemukan para sukarelawan yang menolong korban siang-malam. Mereka bekerja begitu saja tanpa mengharapkan imbalan. Mereka juga tidak ingin dikenal satu per satu.

Dalam bencana letusan Gunung Sinabung, fenomena serupa terjadi. Ada yang menampung para pengungsi, ada yang terlibat membantu menyediakan makanan bagi mereka, sampai membantu mengajar anak-anak agar pendidikan mereka tidak telantar.

Jika Anda kebetulan sedang online, cobalah klik website milik sahabat saya, Andy F. Noya di: www.kickandy.com. Di sana Anda juga akan menemukan banyak cerita luar biasa dari orang-orang biasa. Misalnya, ada Pande Putu Setiawan, kelahiran Ubud, Bali, 8 Maret 1977, yang mengabdikan diri membantu anak-anak miskin yang putus sekolah di desanya.

Pande bukan orang yang kekurangan pekerjaan. Dia adalah karyawan perusahaan telekomunikasi, lulusan S-2 jurusan bisnis internasional dari Universitas Gadjah Mada, dan menjadi kandidat penerima beasiswa doktor bidang pariwisata dari World Tourism Organization (WTO). Namun, dia berani meninggalkan itu semua untuk kemudian kembali ke desa tempat tinggal orang tuanya dan mencari anak-anak yang putus sekolah karena miskin.

Impian Pande adalah melihat mereka bisa bersekolah. Maka, dia mendirikan Komunitas Anak Alam yang misinya memberikan kesempatan kepada anak-anak dari desa-desa terpencil di Bali agar mendapat akses pendidikan, kehidupan yang lebih layak, dan pengalaman hidup yang lebih baik.

Kita yang membaca cerita tentang Pande mungkin akan menganggap dia gila. Bayangkan, dia berani meninggalkan kemapanan dan menjalani hidup penuh dengan ketidakpastian. Dia menghadapi masalah finansial. Untuk makan, dia harus dibantu warga desa. Dia juga pernah tertular penyakit paru-paru.

Pande mengaku membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengubah paradigma warga desanya tentang pentingnya pendidikan. Namun, dia berhasil. Kini konsep Komunitas Anak Alam diterapkan untuk 15 desa lain di Bali. Lalu, dua anak didik Pande pernah ikut pameran foto ke luar negeri: Australia dan Belanda. Kemudian, ada dua anak desanya yang disekolahkan sampai lulus SMK di Denpasar dengan dana gotong royong, tanpa melibatkan pemerintah dan bantuan asing.

Di website itu, kita juga bisa menemukan kisah Suparto, sarjana kedokteran hewan dari Universitas Airlangga, Surabaya, yang setelah lulus kembali ke desa untuk menjadi peternak ayam. Langkah Suparto itu berlawanan dengan kebanyakan kawannya yang memilih bekerja sebagai pegawai perusahaan.

Di desanya, Suparto pun dicemooh warga desa dan keluarganya. Jauh-jauh kuliah di Surabaya dengan biaya jutaan rupiah, setelah lulus, dia malah pulang ke desa menjadi peternak ayam. Tapi, Suparto bersikukuh. Dalam tempo setahun, usaha ternak ayamnya menuai keuntungan. Sejak itu, warga desa pun tertarik. Suparto lalu mengajari mereka cara beternak sekaligus menampung dan menjual produksi telur lewat sistem koperasi.

Setelah usaha ternak ayamnya semakin maju, Suparto masuk ke bisnis ternak sapi. Dengan modal awal 34 ekor sapi, dia mengajak para warga desa bergabung. Kini melalui koperasi mereka mengelola 258 ekor sapi. Warga desa itu juga kini piawai memanfaatkan urine sapi untuk pupuk cair serta kotorannya sebagai sumber biogas dan kompos. Ringkasnya, kesejahteraan warga desa tersebut sudah meningkat.

Apa makna yang kita petik dari cerita tentang Pande, Suparto, atau para sukarelawan tersebut? Bagi saya, mereka adalah orang-orang biasa dengan karya yang luar biasa -setidak-tidaknya di mata saya. Sebab, mereka sudah mengorbankan kepentingan pribadinya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

Saya tidak hendak menganjurkan Anda ''segila'' Pande atau Suparto, kecuali Anda memang memiliki passion untuk itu. Kalau Anda menjadi pegawai, silakan tetap menjadi pegawai. Tapi, sambil terus bekerja, lihatlah sekeliling dan pikirkan apa kontribusi yang bisa kita berikan. Ingatlah, pemerintahan kita (maksud saya uang APBN dari pajak kita) tengah terbelenggu oleh politik, masalah hukum, kepentingan orang perorangan, dan rumitnya birokrasi. 

Uang seabrek-abrek berada di banyak lembaga, tetapi cuma dibungakan saja dan disandera kelompok tertentu dengan alasan-alasan yang hanya bisa dimengerti mereka. Katanya mereka takut atau katanya tidak ada program yang jelas, tapi rasanya bukan itu. Namun, lagi-lagi, buat apa mengutuk kegelapan dengan menanti Ratu Adil yang luar biasa itu?

Mulailah dengan hal-hal yang sederhana dan cobalah untuk melakukannya secara bersama-sama. Menurut saya, kita perlu menggairahkan lagi semangat gotong royong seperti yang bisa Anda lihat dalam situs: www.kitabisa.co.id. Dengan cara seperti itu, saya yakin kita -sebagai orang biasa- akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Semoga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar