Stabilitas Perubahan Geopolitik
Regional
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Februari 2014
”Rapproachement” antara penguasa di daratan
Tiongkok dan Taiwan melalui rangkaian pertemuan di kota Nanjing, RRT, pekan
ini, harus dipahami sebagai bagian dari perubahan geopolitik yang sedang
terjadi di kawasan Asia.
Secara perlahan,
situasi politik dan strategi kawasan Asia bergeser mengakhiri peninggalan
Perang Dingin yang melahirkan banyak perang saudara, membentuk politik negara
dalam kutukan bipolar bangsa menjadi Tiongkok-Taiwan, Korsel-Korut, maupun
bekas Vietnam Utara-Selatan.
Pertemuan Ketua Dewan
Urusan Daratan (Tiongkok) Taiwan, Wang Yu-chi, dengan mitranya, Direktur
Kantor Urusan Taiwan RRT, Zhang Zhijun, di bekas ibu kota Kuomintang (Partai
Nasionalis China) Nanjing, merupakan catatan penting bagaimana dialog politik
yang terputus akibat pertikaian ideologi dan Perang Dingin memperoleh
momentum baru. Dan ini diselesaikan sendiri di antara mereka.
Kita pun melihat
pertemuan ini menjadi penting dan bisa menjadi preseden penyelesaian
persoalan dua Korea di Semenanjung Korea, mengikuti semangat dialog politik
pertikaian Seoul-Pyongyang, tanpa campur tangan asing. Dan konsekuensi logis
antitesa ”rapproachment” ini
adalah berubahnya struktur geopolitik Asia, hilangnya hegemoni kekuatan
negara besar yang memberikan payung keamanan selama lebih dari 60 tahun,
serta menekankan pentingnya dialog politik bagi kelangsungan pertumbuhan
ekonomi dan kerja sama perdagangan.
Kita sendiri mencoba
memahami pertemuan Wang-Zhang dari sisi Taiwan maupun dari sisi Tiongkok
dalam konteks perubahan geopolitik. Perubahan ini akibat memanas dan
meluasnya isu keamanan klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok
Selatan dan Timur dengan beberapa negara ASEAN (termasuk Indonesia karena
tumpang tindihnya zona ekonomi eksklusif yang disebabkan ketidakjelasan
koordinat sembilan garis putus-putus klaim Tiongkok dan Taiwan) maupun dengan
Jepang.
Dasar stabilitas
Dari sisi Taiwan,
pertemuan Wang Yu-chi di Nanjing dengan mitranya, Zhang Zhijun, yang juga
berada pada posisi setingkat menteri adalah peristiwa bersejarah. Dua pejabat
tersebut bertemu secara resmi dalam kapasitas mereka sebagai petinggi
pemerintahan setelah kekalahan Kuomintang dalam perang saudara yang
menyebabkan mereka melarikan diri ke Pulau Taiwan tahun 1949.
Walaupun pertemuan ini
lebih bersifat simbolis ketimbang persoalan substansi, posisi mereka dalam
pertemuan ini memberikan perubahan yang berarti.
Pertama, berbagai
persoalan diajukan dalam pembicaraan Wang-Zhang. Bahkan untuk pertama kalinya
Taiwan mengajukan permintaan paling tinggi, yakni meminta agar Presiden
Taiwan Ma Ying-jeou bisa bertemu dengan Presiden Xi Jinping dalam pertemuan
APEC akhir tahun ini di Tiongkok.
Kedua, pertemuan
simbolis ini mampu membangun dasar stabilitas mengarah ke kesetimbangan baru
di tengah-tengah ketegangan klaim kedaulatan.
Dari sisi Tiongkok,
pertemuan Wang-Zhang memberikan pesan yang kuat dan jelas kalau
Beijing-Taiwan saling membutuhkan. Selain di bidang ekonomi dan perdagangan
yang tumbuh 50 persen selama lima tahun terakhir menjadi 197 miliar dollar
AS, sekaligus memperkuat fondasi komunikasi politik dan keamanan
mengantisipasi perubahan geopolitik regional di lingkungan daratan Tiongkok
dengan menjadikan Taiwan sebagai sumbu utama kekuatan bersama.
Ini yang menjelaskan
jawaban Zhang Zhijun yang mengatakan, bukan waktu yang memadai untuk
mempertemukan ”pemimpin mereka” berdua dalam KTT APEC. Jawabannya adalah
bahwa waktunya tak memadai, tidak ada nada negasi sama sekali. Artinya,
pertemuan Ma-Xi mungkin tidak terjadi saat KTT APEC, tetapi pada momentum
lain yang sesuai dengan nuansa yang berkembang setelah pertemuan Nanjing.
Baik Beijing maupun
Taipei mengerti peribahasa ”mozhe
shitou guo he,” menyeberangi sungai dengan merasakan batu-batunya. Dan
batu-batu ini selain masalah ketergantungan dan kesinambungan kerja sama
ekonomi dan perdagangan, masih ada masalah politik domestik maupun masalah
keamanan. Taiwan dan AS hingga saat ini terikat pada undang-undang Taiwan
Relations Act 1979 yang berisi komitmen AS melindungi Taiwan apabila
diserang.
Antisipasi perubahan
Pertemuan Wang-Zhang
merupakan penataan logis konsep pengembangan mekanisme keamanan untuk
melindungi ekonomi Tiongkok melalui pendekatan, yang disebut Profesor Zhang
Wenmu dari Pusat Penelitian Strategis Universitas Beijing, memiliki sisi
rangkap bianjie anquan (keamanan perbatasan) dan anquan bianjie (perimeter
keamanan).
Keamanan perbatasan
adalah persoalan kedaulatan, sedangkan perimeter keamanan menyangkut
kepentingan nasional laut maritim guna mengamankan pembangunan ekonomi dan
lalu lintas perdagangan-investasi Tiongkok.
Prof Zhang dalam
tulisannya di Zhongguo Guofang Bao (harian pertahanan Tiongkok),
Agustus 2013, mengatakan, dalam dua sisi pendekatan strategis ini, Taiwan tak
hanya menjadi inti dalam kepentingan nasional Tiongkok, tetapi juga bagian
penting yang tak bisa dihindari dalam proyeksi obyektif strategi maritim RRT.
Dalam konteks Taiwan,
Kuomintang, maupun pertemuan Wang-Zhang, pemikiran strategis ini memerlukan
sinkronisasi penuh seperti pernah disampaikan mantan Presiden Tiongkok Hu
Jintao dalam 18 karakter kanji Tionghoa. Rumusan Hu Jintao adalah jianli huxin (membangun saling
percaya), gezhi zhengyi (menyampingkan
perselisihan), qiutong cunyi (mencari
kesamaan), dan gongchuang
shuangying (menciptakan situasi saling menguntungkan/win-win).
Perkembangan yang mengarah
pada perubahan geopolitik Asia ini menghadirkan pertanyaan, apa yang akan
dilakukan ASEAN menghadapi perubahan ini? Bagaimana posisi Indonesia untuk
tetap menjadi dinamisator di Asia Tenggara? Pertanyaan ini penting diajukan,
khususnya terkait kesepakatan kode tata berperilaku di Laut Tiongkok Selatan,
sebagai wilayah ketegangan baru melibatkan tidak hanya negara kawasan, tetapi
juga luar kawasan.
Bagi Indonesia, ”rapproachment” Tiongkok-Taiwan
harus diantisipasi guna menata ulang kebijakan dasar kita tentang ”satu
Tiongkok.” Penataan kebijakan ini penting karena sudah 25 tahun kita tak
memiliki pemahaman diplomasi dengan dan tentang Taiwan. Gabungan Tiongkok-Taiwan dalam kawasan perdagangan bebas ASEAN tahun
depan menjadi terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar