Senin, 17 Februari 2014

Stabilitas Perubahan Geopolitik Regional

          Stabilitas Perubahan Geopolitik Regional

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  16 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
”Rapproachement” antara penguasa di daratan Tiongkok dan Taiwan melalui rangkaian pertemuan di kota Nanjing, RRT, pekan ini, harus dipahami sebagai bagian dari perubahan geopolitik yang sedang terjadi di kawasan Asia.

Secara perlahan, situasi politik dan strategi kawasan Asia bergeser mengakhiri peninggalan Perang Dingin yang melahirkan banyak perang saudara, membentuk politik negara dalam kutukan bipolar bangsa menjadi Tiongkok-Taiwan, Korsel-Korut, maupun bekas Vietnam Utara-Selatan.

Pertemuan Ketua Dewan Urusan Daratan (Tiongkok) Taiwan, Wang Yu-chi, dengan mitranya, Direktur Kantor Urusan Taiwan RRT, Zhang Zhijun, di bekas ibu kota Kuomintang (Partai Nasionalis China) Nanjing, merupakan catatan penting bagaimana dialog politik yang terputus akibat pertikaian ideologi dan Perang Dingin memperoleh momentum baru. Dan ini diselesaikan sendiri di antara mereka.

Kita pun melihat pertemuan ini menjadi penting dan bisa menjadi preseden penyelesaian persoalan dua Korea di Semenanjung Korea, mengikuti semangat dialog politik pertikaian Seoul-Pyongyang, tanpa campur tangan asing. Dan konsekuensi logis antitesa ”rapproachment” ini adalah berubahnya struktur geopolitik Asia, hilangnya hegemoni kekuatan negara besar yang memberikan payung keamanan selama lebih dari 60 tahun, serta menekankan pentingnya dialog politik bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan kerja sama perdagangan.

Kita sendiri mencoba memahami pertemuan Wang-Zhang dari sisi Taiwan maupun dari sisi Tiongkok dalam konteks perubahan geopolitik. Perubahan ini akibat memanas dan meluasnya isu keamanan klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan dan Timur dengan beberapa negara ASEAN (termasuk Indonesia karena tumpang tindihnya zona ekonomi eksklusif yang disebabkan ketidakjelasan koordinat sembilan garis putus-putus klaim Tiongkok dan Taiwan) maupun dengan Jepang.

Dasar stabilitas

Dari sisi Taiwan, pertemuan Wang Yu-chi di Nanjing dengan mitranya, Zhang Zhijun, yang juga berada pada posisi setingkat menteri adalah peristiwa bersejarah. Dua pejabat tersebut bertemu secara resmi dalam kapasitas mereka sebagai petinggi pemerintahan setelah kekalahan Kuomintang dalam perang saudara yang menyebabkan mereka melarikan diri ke Pulau Taiwan tahun 1949.

Walaupun pertemuan ini lebih bersifat simbolis ketimbang persoalan substansi, posisi mereka dalam pertemuan ini memberikan perubahan yang berarti.

Pertama, berbagai persoalan diajukan dalam pembicaraan Wang-Zhang. Bahkan untuk pertama kalinya Taiwan mengajukan permintaan paling tinggi, yakni meminta agar Presiden Taiwan Ma Ying-jeou bisa bertemu dengan Presiden Xi Jinping dalam pertemuan APEC akhir tahun ini di Tiongkok.

Kedua, pertemuan simbolis ini mampu membangun dasar stabilitas mengarah ke kesetimbangan baru di tengah-tengah ketegangan klaim kedaulatan.

Dari sisi Tiongkok, pertemuan Wang-Zhang memberikan pesan yang kuat dan jelas kalau Beijing-Taiwan saling membutuhkan. Selain di bidang ekonomi dan perdagangan yang tumbuh 50 persen selama lima tahun terakhir menjadi 197 miliar dollar AS, sekaligus memperkuat fondasi komunikasi politik dan keamanan mengantisipasi perubahan geopolitik regional di lingkungan daratan Tiongkok dengan menjadikan Taiwan sebagai sumbu utama kekuatan bersama.

Ini yang menjelaskan jawaban Zhang Zhijun yang mengatakan, bukan waktu yang memadai untuk mempertemukan ”pemimpin mereka” berdua dalam KTT APEC. Jawabannya adalah bahwa waktunya tak memadai, tidak ada nada negasi sama sekali. Artinya, pertemuan Ma-Xi mungkin tidak terjadi saat KTT APEC, tetapi pada momentum lain yang sesuai dengan nuansa yang berkembang setelah pertemuan Nanjing.

Baik Beijing maupun Taipei mengerti peribahasa ”mozhe shitou guo he,” menyeberangi sungai dengan merasakan batu-batunya. Dan batu-batu ini selain masalah ketergantungan dan kesinambungan kerja sama ekonomi dan perdagangan, masih ada masalah politik domestik maupun masalah keamanan. Taiwan dan AS hingga saat ini terikat pada undang-undang Taiwan Relations Act 1979 yang berisi komitmen AS melindungi Taiwan apabila diserang.

Antisipasi perubahan

Pertemuan Wang-Zhang merupakan penataan logis konsep pengembangan mekanisme keamanan untuk melindungi ekonomi Tiongkok melalui pendekatan, yang disebut Profesor Zhang Wenmu dari Pusat Penelitian Strategis Universitas Beijing, memiliki sisi rangkap bianjie anquan (keamanan perbatasan) dan  anquan bianjie (perimeter keamanan).

Keamanan perbatasan adalah persoalan kedaulatan, sedangkan perimeter keamanan menyangkut kepentingan nasional laut maritim guna mengamankan pembangunan ekonomi dan lalu lintas perdagangan-investasi Tiongkok.

Prof Zhang dalam tulisannya di Zhongguo Guofang Bao (harian pertahanan Tiongkok), Agustus 2013, mengatakan, dalam dua sisi pendekatan strategis ini, Taiwan tak hanya menjadi inti dalam kepentingan nasional Tiongkok, tetapi juga bagian penting yang tak bisa dihindari dalam proyeksi obyektif strategi maritim RRT.

Dalam konteks Taiwan, Kuomintang, maupun pertemuan Wang-Zhang, pemikiran strategis ini memerlukan sinkronisasi penuh seperti pernah disampaikan mantan Presiden Tiongkok Hu Jintao dalam 18 karakter kanji Tionghoa. Rumusan Hu Jintao adalah jianli huxin (membangun saling percaya), gezhi zhengyi (menyampingkan perselisihan), qiutong cunyi (mencari kesamaan), dan gongchuang shuangying (menciptakan situasi saling menguntungkan/win-win).

Perkembangan yang mengarah pada perubahan geopolitik Asia ini menghadirkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan ASEAN menghadapi perubahan ini? Bagaimana posisi Indonesia untuk tetap menjadi dinamisator di Asia Tenggara? Pertanyaan ini penting diajukan, khususnya terkait kesepakatan kode tata berperilaku di Laut Tiongkok Selatan, sebagai wilayah ketegangan baru melibatkan tidak hanya negara kawasan, tetapi juga luar kawasan.

Bagi Indonesia, ”rapproachment” Tiongkok-Taiwan harus diantisipasi guna menata ulang kebijakan dasar kita tentang ”satu Tiongkok.” Penataan kebijakan ini penting karena sudah 25 tahun kita tak memiliki pemahaman diplomasi dengan dan tentang Taiwan. Gabungan Tiongkok-Taiwan dalam kawasan perdagangan bebas ASEAN tahun depan menjadi terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar