Sabtu, 15 Februari 2014

Memaknai ‘Valentine’s Day’ di Tengah Pemiskinan Bangsa

Memaknai ‘Valentine’s Day’

di Tengah Pemiskinan Bangsa

 Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Universitas Katolik Santo Thomas SU, Medan
SINAR HARAPAN,  14 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Hari Kasih Sayang (HKS) yang kerap disebut Valentine’s Day. Meski perayaannya sering menuai pro dan kontra, pesan yang disampaikan menggemakan suara dan makna perwujudan kasih sayang di tengah hiruk pikuk perubahan zaman.

Pada perayaan HKS, orang boleh mengekspresikan cinta dan kasih sayang. Perwujudannya bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta, melainkan memiliki makna lebih luas lagi.

Di antaranya kasih sayang antara sesama manusia, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, dan yang lebih penting lagi sesama anak bangsa, khususnya antara pemerintah dengan rakyatnya.

Esensi HKS telah mewarnai sisi kehidupan secara global. Nilai kasih sayang itu tidak hanya tercipta dan untuk memperingati hari-hari istimewa, tetapi substansinya menjadi suatu dinamika dari kehidupan manusia yang sejak dulu hingga kini terus bergerak sesuai irama zaman.

Bersifat Semu

HKS bagi sebagian orang mungkin bak sebuah impian. Di mata orang yang mengalami proses pemiskinan akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup belakangan ini, boleh jadi kasih sayang hanya bersifat semu. Pasalnya, pemerintah belum mampu menebar karya agung yang dikemas dalam bingkai kasih sayang untuk membebaskan rakyat kecil dari beragam penderitaan.

Wong cilik sudah lama menderita akibat makin buruknya perekonomian yang menetaskan arus deras urbanisasi. Di desa mereka mengalami proses pemiskinan yang bermuara pada penurunan kualitas hidup.

Untuk menghadapi berbagai gempuran kehidupan, masyarakat harus bergulat dengan menggunakan beragam strategi. Salah satunya meninggalkan desa untuk mengais rezeki di kota. Bagi mereka, desa hanya menyediakan kelaparan dan busung lapar. Namun, di kota mereka tak punya keterampilan dan hanya mengandalkan “untung-untungan” untuk memperoleh pekerjaan.

Sejak lepas dari tangan penjajah, pembangunan yang diarsiteki tiga model pemerintahan—rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi—belum memiliki fondasi kuat dibalut kebijakan kasih sayang guna mengedepankan kepentingan kesejahteraan wong cilik.

Sebaliknya, politik pembangunan yang ditebar adalah politik kekerasan yang mengalirkan energi ketakutan dan kemiskinan. Kekerasan di bidang ekonomi, korupsi yang makin masif, pelanggaran HAM serta krisis etika lingkungan hidup bermuara pada tragedi dan proses pemiskinan, yang melilit hidup dan kehidupan lebih dari 100 juta penduduk Indonesia.

Kekerasan kerap dipilih penguasa sebagai jalan mempertahankan kursi singgasananya sekaligus membungkam perlawanan rakyat.

Pada zaman Soeharto, penguasa yang banyak menebar senyum ini memanfaatkan kelonggaran dan fleksibilitas UUD 1945 untuk berkuasa selama 32 tahun. Siapa yang coba-coba melawan pasti digebuk. Konon, ia suka memerintahkan algojo untuk menculik orang lain yang kebetulan tidak ia suka.

Begitu longgarnya UUD 1945 memungkinkan anggota keluarganya menjadi tuhan-tuhan imitasi yang diberhalakan para dayang-dayangnya, untuk menentukan nasib ratusan juta penduduk Indonesia. Keadilan sosial nyaris tidak ada, karena UUD 1945 pasal 33 (1); “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas keluarga”, amat gampang ditafsirkan untuk disahkan sebagai “usaha persengkongkolan berdasar atas nepotisme dan koncoisme”.

Pada era Orla di bawah rezim Soekarno, demokrasi ditenggelamkan dalam badai demokrasi terpimpin hingga ia digantikan Soeharto. Pergantian ini menetaskan kehidupan demokrasi lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya. Setelah rezim otoriter Soeharto tumbang, warga seolah dapat bernapas lega, seperti ketika bangsa ini baru saja lepas dari kerangkeng demokrasi terpimpin gaya Soekarno.

Mengasihi Setiap Orang

Angin segar demokrasi yang ditiupkan energi reformasi mahasiswa 1998 lewat cucuran darah dan air mata, menjadi sebuah babak baru untuk memperbaiki masa depan Indonesia. Namun, dalam perjalanannya hampir enam belas tahun, Reformasi masih berputar-putar dalam orbit euforianya dan hanya melahirkan harapan baru bagi sejumlah orang yang selama ini merasa tertindas dan terpasung kehidupan politiknya.

Mereka berlomba membentuk partai berdasarkan agama, suku, kelompok dan lain-lain supaya kelak bisa menjadi bupati, gubernur, menteri, presiden, dan wakil rakyat yang terhormat.

Segala daya dan tipu, seperti politik uang dan ijazah palsu, menjadi berhala baru guna menggolkan cita-citanya. Saat kampanye pemilu seperti sekarang, mereka mengemis kepada rakyat dengan menebar foto di pohon-pohon dan baliho ukuran dua kali besar meja ping-pong seakan peduli dengan penderitaan.

Pada mulanya kita berharap kesejahteraan rakyat bisa terkatrol sebagai konsekuensi lahirnya reformasi. Rakyat sudah terlalu lama menderita karena efek domino krisis ekonomi bagi kehidupan rakyat kecil yang menetaskan jutaan bayi, balita, dan ibu hamil kekurangan gizi. Ini merupakan fakta kemiskinan yang amat mudah dijumpai.
Tidak sulit mengamati penderitaan warga yang tiba-tiba terguncang PHK karena tidak memiliki sumber pendapatan tetap, tetapi kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Anak-anak butuh makan, uang sekolah, dan biaya hidup lainnya.

Penderitaan rakyat ibarat penumpang kapal Titanic yang akan tenggelam, rakyat hanya bisa berteriak, menangis, dan berharap datangnya pertolongan di tengah banjir penderitaan yang silih berganti.

Ketidaksiapan mental menggulirkan reformasi menjadi bola salju demokratisasi yang memunculkan perilaku bias dari sebagian pejabat yang kebetulan berkuasa. Pertikaian di tingkat elite politik terus berlangsung karena memiliki persepsi berbeda tentang reformasi. Tiap orang merasa paling benar dan tak mau mendengar saran, apalagi jika dikritik orang lain.

Perilaku ini bak penyakit turunan, berjangkit di setiap generasi. Ketika pers memberitakan penderitaan yang amat dalam tentang korban banjir di sejumlah daerah, pemerintah sibuk membela diri sekaligus menyalahkan media massa karena dinilai terlalu membesar-besarkan musibah banjir.

Indikatornya korban banjir masih bisa tertawa. Rupanya kita lupa, tertawa itu bentuk apresiasi subjektif atas suatu peristiwa sehingga ada orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri sekalipun sedang menderita.

Merayakan Valentine’s Day di tengah anak bangsa yang kian terpuruk karena digilas mesin pemiskinan, para elite politik dan ekonomi harus mampu mengubah perilaku dari sikap saling menyalahkan, menjadi sebuah tabiat yang menebar kasih sayang untuk berempati terhadap penderitaan rakyat.

Kita pantas belajar kepada Imam Valentine yang hidup pada abad III. Ia dengan sabar mengasihi setiap orang.

Menurut Imam Katolik yang menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu, menebar kasih sayang tidak berhenti sebatas khotbah yang secara kognitif bisa dimengerti. Namun, harus mengalir ke dalam ruang praktik kehidupan sehingga dapat dialami dan dirasakan setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar