Memaknai
‘Valentine’s Day’
di
Tengah Pemiskinan Bangsa
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Universitas Katolik Santo Thomas SU,
Medan
|
SINAR
HARAPAN, 14 Februari 2014
Tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Hari
Kasih Sayang (HKS) yang kerap disebut Valentine’s Day. Meski perayaannya
sering menuai pro dan kontra, pesan yang disampaikan menggemakan suara dan
makna perwujudan kasih sayang di tengah hiruk pikuk perubahan zaman.
Pada perayaan HKS, orang boleh mengekspresikan
cinta dan kasih sayang. Perwujudannya bukan hanya untuk sepasang muda-mudi
yang sedang jatuh cinta, melainkan memiliki makna lebih luas lagi.
Di antaranya kasih sayang antara sesama
manusia, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, dan yang lebih
penting lagi sesama anak bangsa, khususnya antara pemerintah dengan
rakyatnya.
Esensi HKS telah mewarnai sisi kehidupan
secara global. Nilai kasih sayang itu tidak hanya tercipta dan untuk
memperingati hari-hari istimewa, tetapi substansinya menjadi suatu dinamika
dari kehidupan manusia yang sejak dulu hingga kini terus bergerak sesuai
irama zaman.
Bersifat Semu
HKS bagi sebagian orang mungkin bak sebuah
impian. Di mata orang yang mengalami proses pemiskinan akibat kenaikan harga
berbagai kebutuhan hidup belakangan ini, boleh jadi kasih sayang hanya
bersifat semu. Pasalnya, pemerintah belum mampu menebar karya agung yang
dikemas dalam bingkai kasih sayang untuk membebaskan rakyat kecil dari
beragam penderitaan.
Wong cilik sudah lama menderita akibat makin
buruknya perekonomian yang menetaskan arus deras urbanisasi. Di desa mereka
mengalami proses pemiskinan yang bermuara pada penurunan kualitas hidup.
Untuk menghadapi berbagai gempuran kehidupan,
masyarakat harus bergulat dengan menggunakan beragam strategi. Salah satunya
meninggalkan desa untuk mengais rezeki di kota. Bagi mereka, desa hanya
menyediakan kelaparan dan busung lapar. Namun, di kota mereka tak punya
keterampilan dan hanya mengandalkan “untung-untungan” untuk memperoleh
pekerjaan.
Sejak lepas dari tangan penjajah, pembangunan
yang diarsiteki tiga model pemerintahan—rezim Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi—belum memiliki fondasi kuat dibalut kebijakan kasih sayang guna
mengedepankan kepentingan kesejahteraan wong cilik.
Sebaliknya, politik pembangunan yang ditebar
adalah politik kekerasan yang mengalirkan energi ketakutan dan kemiskinan.
Kekerasan di bidang ekonomi, korupsi yang makin masif, pelanggaran HAM serta
krisis etika lingkungan hidup bermuara pada tragedi dan proses pemiskinan,
yang melilit hidup dan kehidupan lebih dari 100 juta penduduk Indonesia.
Kekerasan kerap dipilih penguasa sebagai jalan
mempertahankan kursi singgasananya sekaligus membungkam perlawanan rakyat.
Pada zaman Soeharto, penguasa yang banyak
menebar senyum ini memanfaatkan kelonggaran dan fleksibilitas UUD 1945 untuk
berkuasa selama 32 tahun. Siapa yang coba-coba melawan pasti digebuk. Konon,
ia suka memerintahkan algojo untuk menculik orang lain yang kebetulan tidak
ia suka.
Begitu longgarnya UUD 1945 memungkinkan
anggota keluarganya menjadi tuhan-tuhan imitasi yang diberhalakan para
dayang-dayangnya, untuk menentukan nasib ratusan juta penduduk Indonesia.
Keadilan sosial nyaris tidak ada, karena UUD 1945 pasal 33 (1); “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas keluarga”, amat gampang
ditafsirkan untuk disahkan sebagai “usaha persengkongkolan berdasar atas
nepotisme dan koncoisme”.
Pada era Orla di bawah rezim Soekarno,
demokrasi ditenggelamkan dalam badai demokrasi terpimpin hingga ia digantikan
Soeharto. Pergantian ini menetaskan kehidupan demokrasi lepas dari mulut
harimau masuk ke dalam mulut buaya. Setelah rezim otoriter Soeharto tumbang,
warga seolah dapat bernapas lega, seperti ketika bangsa ini baru saja lepas
dari kerangkeng demokrasi terpimpin gaya Soekarno.
Mengasihi Setiap Orang
Angin segar demokrasi yang ditiupkan energi
reformasi mahasiswa 1998 lewat cucuran darah dan air mata, menjadi sebuah
babak baru untuk memperbaiki masa depan Indonesia. Namun, dalam perjalanannya
hampir enam belas tahun, Reformasi masih berputar-putar dalam orbit
euforianya dan hanya melahirkan harapan baru bagi sejumlah orang yang selama
ini merasa tertindas dan terpasung kehidupan politiknya.
Mereka berlomba membentuk partai berdasarkan
agama, suku, kelompok dan lain-lain supaya kelak bisa menjadi bupati,
gubernur, menteri, presiden, dan wakil rakyat yang terhormat.
Segala daya dan tipu, seperti politik uang dan
ijazah palsu, menjadi berhala baru guna menggolkan cita-citanya. Saat
kampanye pemilu seperti sekarang, mereka mengemis kepada rakyat dengan
menebar foto di pohon-pohon dan baliho ukuran dua kali besar meja ping-pong
seakan peduli dengan penderitaan.
Pada mulanya kita berharap kesejahteraan
rakyat bisa terkatrol sebagai konsekuensi lahirnya reformasi. Rakyat sudah
terlalu lama menderita karena efek domino krisis ekonomi bagi kehidupan
rakyat kecil yang menetaskan jutaan bayi, balita, dan ibu hamil kekurangan
gizi. Ini merupakan fakta kemiskinan yang amat mudah dijumpai.
Tidak sulit mengamati penderitaan warga yang
tiba-tiba terguncang PHK karena tidak memiliki sumber pendapatan tetap,
tetapi kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Anak-anak butuh makan, uang
sekolah, dan biaya hidup lainnya.
Penderitaan rakyat ibarat penumpang kapal
Titanic yang akan tenggelam, rakyat hanya bisa berteriak, menangis, dan
berharap datangnya pertolongan di tengah banjir penderitaan yang silih
berganti.
Ketidaksiapan mental menggulirkan reformasi
menjadi bola salju demokratisasi yang memunculkan perilaku bias dari sebagian
pejabat yang kebetulan berkuasa. Pertikaian di tingkat elite politik terus
berlangsung karena memiliki persepsi berbeda tentang reformasi. Tiap orang
merasa paling benar dan tak mau mendengar saran, apalagi jika dikritik orang
lain.
Perilaku ini bak penyakit turunan, berjangkit
di setiap generasi. Ketika pers memberitakan penderitaan yang amat dalam
tentang korban banjir di sejumlah daerah, pemerintah sibuk membela diri
sekaligus menyalahkan media massa karena dinilai terlalu membesar-besarkan
musibah banjir.
Indikatornya korban banjir masih bisa tertawa.
Rupanya kita lupa, tertawa itu bentuk apresiasi subjektif atas suatu
peristiwa sehingga ada orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri
sekalipun sedang menderita.
Merayakan Valentine’s Day di tengah anak
bangsa yang kian terpuruk karena digilas mesin pemiskinan, para elite politik
dan ekonomi harus mampu mengubah perilaku dari sikap saling menyalahkan,
menjadi sebuah tabiat yang menebar kasih sayang untuk berempati terhadap
penderitaan rakyat.
Kita pantas belajar kepada Imam Valentine yang
hidup pada abad III. Ia dengan sabar mengasihi setiap orang.
Menurut Imam Katolik yang menentang
pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu, menebar kasih sayang tidak berhenti
sebatas khotbah yang secara kognitif bisa dimengerti. Namun, harus mengalir
ke dalam ruang praktik kehidupan sehingga dapat dialami dan dirasakan setiap
orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar