Penguatan
(Kebijakan) Kemandirian Pangan
Prakoso Bhairawa Putera ; Peneliti pada Pusat Penelitian
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Februari 2014
PEMERINTAH tidak belajar dari masa
lalu dalam mengatasi persoalan pangan di negeri ini. Terbukti kebijakan impor
kedelai bersamaan dengan panen raya, akibatnya kedelai lokal merana medio
November 2013. Kini berulang, dengan gonjang ganjing masuknya beras impor
Vietnam. Berdasarkan uji laboratorium oleh PT Sucofindo dan para ahli
Institut Pertanian Bogor (IPB), beras tersebut memiliki kadar kepecahan di
bawah 5% (tergolong premium). Kondisi ini dapat mengganggu pasar beras
produksi lokal, yakni harga beras impor tersebut lebih murah dengan kualitas
premium daripada beras medium lokal (Bulog).
Terlepas dari polemik impor beras,
kebijakan impor ternyata menjadi pilihan bagi pemerintah untuk menciptakan
kondisi aman pangan. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
dalam penyediaan pangan menunjukkan `kepanikan' (Fizzanty dan Aminullah, 2010). Yakni, ketika konsumsi semakin
meningkat dan laju produksi dipandang tidak mampu memenuhi kebutuhan,
mendorong pemerintah untuk melakukan impor. Bahkan memberi bebas bea masuk
untuk pangan kedelai, misalnya. Kepanikan dalam merespons telah memperburuk
kondisi penyediaan pangan nasional. Puncaknya ketika stok kedelai impor masih
banyak di gudang seperti saat ini, dan adanya peningkatan produksi dalam
negeri, importir melepas stok dengan harga murah. Konsumen dalam hal ini
jelas diuntungkan, tetapi bagi petani lokal menjerit. Belum lagi persoalan
beras impor yang dapat mematikan pasar beras produksi lokal.
Pilihan
policy action
Pada konteks kekinian, pembangunan
dapat berjalan dengan baik apabila negara kuat. Negara kuat ialah negara yang
mampu meningkatkan kapasitasnya untuk membangun kebijakan publik yang unggul.
Kondisi ini mensyaratkan negara untuk membentuk `lingkungan' atau `iklim'
yang membangun daya saing setiap aktor di dalamnya. Iklim itu diciptakan
melalui kebijakan publik yang memberdayakan setiap elemen dalam negara.
Merujuk pada paradigma ketahanan
pangan nasional, selalu diarahkan pada kebijakan swasembada dan stabilitas
harga. Ini diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar yang
ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar. Di sisi lain ambisi
swasembada, sulit untuk tercapai. Coba tengoklah Laporan Bulanan Data Sosial
Ekonomi BPS edisi Februari 2014 yang diterbitkan di laman, bahwa rata-rata
secara nasional harga beras pada Januari 2014 sebesar Rp11.224 per kg, naik
1,36% dibanding kan Desember 2013.
Jika dibandingkan Januari 2013,
harga beras naik 3,72%, lebih rendah jika di bandingkan dengan inflasi tahun
ke tahun periode yang sama sebesar 8,22%.
Artinya, pemilik beras peda gang, petani, konsumen, Bulog, dan industri berbahan baku beras mengalami penurunan nilai riil sebesar 4,50%. Kenaikan tertinggi terjadi di Padang (7%) dan Lhokseumawe (5%).
Di sisi lain upaya menuju
swasembada beras belum signifikan. Kenaikan produksi baru sebesar 2,62% dari
2012. Kebijakan swasembada dan stabilitas harga yang diprioritaskan selama
ini tidaklah salah, namun penguatan akses masyarakat untuk memperoleh pangan
dan kemandirian pasok dalam jangka panjang menjadi penting. Kebijakan jangka
pendek acap dipilih, tetapi di sisi lain upaya jangka menengah dan panjang
diabaikan.
Kebijakan penguatan kemandirian
pasokan dapat ditempuh dan diarahkan pada pengembangan sistem berbasis
keberagaman sumber daya, inovasi teknologi, kelembagaan, dan budaya lokal.
Kesemuanya dibutuhkan dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi
dalam jumlah yang dibutuhkan.
Pada kasus beras, kestabilan penyediaannya dapat dicapai dengan mengurangi
impor beras yang ke depannya melalui peningkatkan produksi untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan nonkonsumsi. Pe ningkatan produksi dapat dicapai
melalui inovasi teknologi khususnya bioteknologi yang aman bagi kesehatan.
Pemerintah di 2013 memang telah menurunkan impor beras sebesar 73,89%.
Walau demikian, di 2013 pemerintah
melakukan ekspor dalam jumlah besar yaitu 2.585.718 kg, meningkat dari tahun
sebelumnya 897.179 kg. Atau naik 188% (BPS, 2014). Dua kondisi yang saling
bertolak belakang. Logikanya, kebijakan ekspor ditempuh apabila produksi
dalam negeri telah mencukupi kebutuhan internal dan masih berlebih. Dengan
melihat data tersebut, dapat diasumsikan seharusnya impor beras bisa semakin
diminimalkan.
Hasil
riset unggulan
Upaya dan kontribusi telah
dilakukan sejumlah peneliti di Indonesia. Masalah yang ditengarai menjadi
pemicu tersendatnya produksi, seperti pola tanam yang acap kali
dikesampingkan dan tanpa metode yang tepat untuk menyesuaikan dengan iklim
dan jenis tanah yang ada. Kondisi ini kemudian dijawab dengan sejumlah
inovasi di bidang pangan, seperti hadirnya benih unggul padi berbasis biologi
molekuler dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Padi ini memiliki kemampuan
adaptasi yang baik, daya hasil tinggi dan kaya nutrisi. Benih unggul ini
untuk menjawab tantangan penyediaan pangan di masa datang akibat pertumbuhan
penduduk yang tinggi, konversi lahan dan perubahan iklim ekstrim akibat
pemanasan global. Belum lagi hasil riset dari sejum lah lembaga lain seperti
BATAN dengan 20 varietas padi unggulnya, Badan Litbang Pertanian, dan
lain-lain. Namun, hasil unggulan ini sering terkendala adanya batasan
birokrasi di mana hasil riset sulit untuk diim plementasi kan.
Inovasi yang dihasilkan dalam
bidang pangan bukanlah sekali dua kali. Setidaknya sudah sejak 2000 sejumlah
panen raya hasil inovasi dilakukan di sejumlah tempat dengan mendatangkan
pejabat di negeri ini. Namun, semuanya terhenti seusai pemberitaan. Alasan
klasik kemudian bermunculan bahwa hasil inovasi tersebut sulit
diimplementasikan petani, petani sulit mendapatkan suplai bibit unggul, dan
pihak industri tidak terlalu berminat terhadap produk hasil penelitian.
Kesemua alasan seolah-olah tidak bisa dicarikan solusi. Padahal belajar dari
pengalaman sejumlah negara yang sukses mengimplementasikan hasil riset untuk
pertaniannya, tidaklah sulit rasanya. Jawabnya sederhana, yaitu komitmen.
Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari
keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai kitchen of the world.
Ada persoalan yang harus
dipecahkan bersama, yakni kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, melainkan
berdiri sebagai bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang
memang merupakan wilayah politik terutama bagi negara seperti Indonesia.
Riset acap kali dipojokkan ketika
bicara kemandirian pangan atau sejenisnya, peneliti dipandang kurang
berkontribusi. Padahal, seringkali penyakit lupa datang bahwa ketika arah
kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset
juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan
prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga
melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.
Keberanian mengeluarkan kebijakan mesti
diikuti dengan pelaksanaan pembaruan agraria dengan pengalokasian wilayah
penanaman kedelai.
Begitu juga dengan keberanian menegakkan identitas bangsa dengan menempatkan hasil invensi peneliti sebagai solusi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar