Jumat, 14 Februari 2014

Medikalisasi Masyarakat dalam Ekspansi Rezim Medis

  Medikalisasi Masyarakat dalam Ekspansi Rezim Medis

 Mohammad Afifuddin  ;   Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM Jogjakarta
JAWA POS,  14 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEHARUSNYA, pemberian resep obat bagi orang sakit dilakukan secara efektif dan efisien. Namun, dari penelitian Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) justru menunjukkan fakta yang berbeda. Pada praktiknya, banyak dokter malah mendorong penggunaan obat secara tidak rasional (irrational use of drugs/IRUD), bukannya mempraktikkan penggunaan obat secara rasional (rational use of medicine/RUM). 

Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di salah satu laporannya pada 2013. Lembaga pembela hak konsumen itu menilai, banyak konsumen di sektor jasa kesehatan dirugikan beberapa pelaku industri medis yang masih melakukan IRUD. Dalam praktik medis, masih banyak ditemukan kasus ketika obat yang diberikan tidak berfungsi menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai ''topeng''. Pasien terlihat sehat, padahal sebenarnya obat tersebut hanya ''menutupi'' kondisi sebenarnya.

Penggunaan antibiotik misalnya. Mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, ditemukan rata-rata 50 resep obat di puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik, 86,4 persen anak penderita infeksi virus yang ditandai dengan demam, dan 74,1 persen anak penderita diare diresepkan dengan antibiotik. Padahal, antibiotik hanya menyembuhkan penyakit yang disebabkan bakteri, bukan virus. Obat tersebut tidak untuk segala penyakit. 

Contoh lain dari pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat sekaligus saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu (polifarmasi). Polifarmasi berisiko memicu interaksi obat. Sebuah analisis tentang resep untuk pasien anak-anak yang masuk di beberapa apotek di Jakarta Selatan menunjukkan bahwa 53 persen di antara semua resep itu merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12 persen di antaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan (Media Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, 2008). 

Itulah mengapa WHO dalam konferensi ahli kesehatan WHO di Nairobi, Kenya, pada 1985 mengampanyekan rational use medicine (RUM) yang mencakup unsur-unsur: pasien harus menerima pengobatan yang sesuai dengan kondisi klinis mereka, diberikan dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu tersebut dalam jangka waktu yang cukup, disampaikan dengan informasi akurat, serta dijual dalam biaya yang serendah mungkin bagi pasien. 

Sosiologi Rezim Medis 

Pertanyaannya, meski penggunaan obat secara irasional itu membahayakan, mengapa praktik dunia kedokteran di Indonesia masih sering diwarnai kasus penggunaan obat secara tidak rasional? 

Karena dunia medis kita masih belum terlepas dari cengkeraman korporasi industri farmasi yang menciptakan relasi tidak seimbang antara dokter sebagai pemegang kuasa tafsir medis dan pasien selaku pihak yang terdisiplinkan oleh kuasa dokter. Artinya, dunia farmasi sebagai industri selalu membutuhkan terciptanya ketergantungan pasien akan obat-obatan sebagai pangsa pasar atas produk obat-obatannya. Sedangkan dokter -yang telah takluk kepada kepentingan ekonomi politik industri farmasi- menjadi perantara antara pasien dan produsen obat tersebut. 

Secara sosiologis itulah, fenomena yang disebut medikalisasi kehidupan sosial (medicalization of life) sebagai dampak ambisi ekonomi-politik industri medis dan industri farmasi yang berkolaborasi untuk terus melakukan ekspansi rezim medis. Layaknya rezim politik yang tiranik, rezim medis pun bersifat represif. Lewat kuasa tafsirnya atas kesehatan, mereka berupaya membuat masyarakat kian bergantung kepada obat-obatan meskipun itu tidak rasional. 

Profesor Sosiologi UGM Heru Nugroho dalam buku Menumbuhkan Ide-Ide Kritis (2004) mengatakan, terciptanya medikalisasi kehidupan sosial dan kian otoriternya rezim medis merupakan ekses dari paradigma positivisme-teknokratis dalam dunia medis. Moto teknokratis dalam dunia medis adalah, percayakan saja kepada ahlinya tanpa banyak bertanya, maka penyakit Anda akan segera sembuh. Akibatnya, para pasien menjadi tidak berdaya di hadapan lembaga medis dan lembaga tersebut cenderung dominatif. Komunikasi di antara kedua pihak cenderung distortif sehingga yang berhak bertindak secara instrumental adalah orang-orang yang bekerja pada lembaga medis. Dalam kasus ini, pasien dan masyarakat menjadi tidak berdaya dan seperti kehilangan hak bila menderita sakit.

Hak pasien yang dimaksud adalah hak untuk memperoleh informasi akurat dan dosis yang benar dari obat yang akan dikonsumsinya, serta hak memperoleh (peng)obat(an) dengan harga murah. Hak itu menguap ketika si pasien tergilas oleh kekuasaan otoriter para tenaga medis yang lebih berpihak kepada kepentingan industri farmasi daripada pasien. 

Mungkin akan muncul kritik. Perspektif sosiologi kritis dalam melihat relasi antara institusi kesehatan-farmasi dan masyarakat dipandang terlalu su'udzhon, mengingat hakikat berdirinya institusi kesehatan dan farmasi adalah menolong orang sakit. Namun, seperti diungkapkan Heru Nugroho (2004), maksud baik yang dilaksanakan dengan kebijakan ekonomi-politik tertentu dapat mendatangkan dampak keadaan yang tidak baik karena sistem sosial yang berlaku justru mengeksploitasi maksud baik tersebut. Maksud baik para dokter yang dilaksanakan dalam sistem kapitalistik yang berorientasi maksimalisasi keuntungan ekonomi cenderung mengalami distorsi dan menghasilkan berbagai bentuk eksploitasi atas hak-hak pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar