Implikasi
Putusan Pemilu Serentak
Andi Rahmat ; Alumnus Jurusan Politik dan
Pemerintahan UGM,
Komisioner
KPU Kabupaten Jepara
|
SUARA
MERDEKA, 04 Februari 2014
"Memperberat syarat peserta Pemilu 2019 bisa menjadi pintu
masuk memperkuat presidensialisme"
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah
memutus pemilu serentak diselenggarakan tahun 2019. Implikasi dari putusan
konsitusi itu adalah pertama; gugurnya presidential threshold. Kedua;
penguatan sekaligus pelemahan agenda pelembagaan parpol. Ketiga; efisiensi
biaya penyelenggaraan pemilu.
Publik memang menginginkan
pelaksanaan pileg dan pilpres berbarengan demi efisiensi. Total anggaran
Pileg dan Pilpres 2014 Rp 16,2 triliun. Jika pileg digabungkan dengan
pilpres, ada penghematan struktur anggaran pembiayaan honor PPK, PPS, dan
KPPS untuk tahapan pilpres. Honor ini memakan sekitar 65% anggaran. Selain
itu, bisa mengeliminasi praktik oligarki elite parpol. Paling tidak, elite
parpol akan mengajukan capres yang akseptabel dengan kehendak publik.
Namun paling tidak ada tiga
ekses negatif dari pelaksanaan serentak Pileg-Pilpres 2019. Pertama;
kemenguatan perilaku office seeking dan vote seeking ketimbang policy seeking oleh partai-partai politik.
Menurut Wolinetz (2002), perilaku parpol dapat dilihat dari tiga dimensi,
yakni pencari suara (vote seeking), pencari jabatan (office seeking), dan pencari kebijakan (policy seeking).
Dari tiga dimensi itu, perilaku
parpol kita setelah era Orba lebih didorong oleh vote seeking dan office
seeking ketimbang policy seeking.
Vote seeking membuat partai hanya
hadir pada momen-momen pemilu, baik pemilu nasional maupun lokal. Perilaku
partai lebih berorientasi catch all
party dibanding ideologis-kebijakan. Orientasi office seeking membuat perilaku partai lebih pragmatis jangka
pendek terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis pada pemerintahan
karena driving goal-nya adalah
pilpres.
Kedua; penguatan sekaligus
pelemahan agenda penyederhanaan parpol. Diskursus politik tentang
penyederhanaan parpol mengemuka pada saat DPR menyusun UU Pileg 2014. Saat
itu publik meyakini bahwa salah satu kelemahan sistem presidensialisme kita
terletak pada sistem multipartai yang sangat cair.
Publik mendorong penyederhanaan
parpol kepada pembuat undang-undang. Maka lahirlah ketentuan syarat parpol
untuk bisa menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana diatur Pasal 8 UU Nomor 8
Tahun 2012. Parpol peserta pemilu yang diikutkan dalam penghitungan perolehan
kursi DPR adalah yang bisa melewati parliamentary threshold 3,5%. Dua hal
penting ini menjadi pijakan awal penyederhanaan parpol di tingkat hulu dan
hilir.
Pijakan berikutnya adalah
presidential threshold. Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 mengatur pasangan
calon diajukan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu yang memenuhi
perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%
dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Itu syarat minimal dukungan
politik parpol kepada presiden dan wakil presiden terpilih saat mengambil
kebijakan politik yang butuh dukungan parlemen.
Apa konsekuensi dari pileg dan
pilpres bersamaan tahun 2019? Jika Pilpres 2019 menggunakan presidential threshold, pengajuan
capres dan cawapres mendasarkan hasil Pileg 2014. Jika pilpres tidak
menggunakan presidential threshold, pengajuan capres-cawapres cukup dengan
klausul diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan
dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2019.
Banyak Capres
Pasal 6A UUD 1945, khususnya
Ayat 2 hanya menyatakan capres-cawapres diusulkan oleh partai atau
gabungan partai peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Andai memakai
logika yang kedua berarti bisa muncul banyak capres. Parpol yang lolos jadi
peserta pemilu bisa mencalonkan kadernya atau berkoalisi dengan parpol lain
mendukung capres-cawapres. Jauh-jauh hari partai-partai sudah berkoalisi
tanpa menunggu hasil pileg.
Ada komunikasi mendalam dan
kesepahaman di antara partai-partai untuk mencalonkan capres-cawapres, dan
berarti tak memerlukan setgab partai koalisi. Namun, kondisi itu tidak
berbanding lurus dengan penguatan presidensialisme apabila kejadian 2004 dan
2009 kembali terulang, di mana presiden dan wakil presiden terpilih tak
didukung partai yang memperoleh suara mayoritas.
Berangkat dari situasi itu,
memperberat persyaratan menjadi peserta Pemilu 2019 bisa menjadi pintu masuk
memperkuat presidensialisme tanpa mengurangi efisiensi pileg-pilpres
bersamaan. Selanjutnya menetapkan parliamentary
threshold (PT) 5%. Ke depan partai-partai politik yang memperoleh PT 5%
ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024. Dengan demikian, terjadi evolusi
penyederhanaan partai.
Tak ada desain sistem politik
yang langsung ”nyetel” dengan kultur suatu negara bangsa. Sistem politik
berubah mencari bentuk mengikuti dinamika perkembangan zaman. Kita harus
bersabar mendapatkan sistem politik yang cocok dengan kebutuhan zaman.
Mahkamah Konstitusi sudah membuat sebuah lompatan, berarti pemerintah dan DPR
harus menyusun UU sesuai amanat putusan tersebut. Terlepas dari sisi negatif
pileg dan pilpres bersamaan, dari sekarang partai-partai politik serius
melakukan kaderisasi guna memajukan kader sebagai capres/cawapres.
Akseptabilitas capres-cawapres yang baik berdampak positif bagi
akseptabilitas partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar