Rabu, 05 Februari 2014

Implikasi Putusan Pemilu Serentak

Implikasi Putusan Pemilu Serentak

Andi Rahmat   ;   Alumnus Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM,
Komisioner KPU Kabupaten Jepara
SUARA MERDEKA,  04 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Memperberat syarat peserta Pemilu 2019 bisa menjadi pintu masuk memperkuat presidensialisme"

MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah memutus pemilu serentak diselenggarakan tahun 2019. Implikasi dari putusan konsitusi itu adalah pertama; gugurnya presidential threshold. Kedua; penguatan sekaligus pelemahan agenda pelembagaan parpol. Ketiga; efisiensi biaya penyelenggaraan pemilu.

Publik memang menginginkan pelaksanaan pileg dan pilpres berbarengan demi efisiensi. Total anggaran Pileg dan Pilpres 2014 Rp 16,2 triliun. Jika pileg digabungkan dengan pilpres, ada penghematan struktur anggaran pembiayaan honor PPK, PPS, dan KPPS untuk tahapan pilpres. Honor ini memakan sekitar 65% anggaran. Selain itu, bisa mengeliminasi praktik oligarki elite parpol. Paling tidak, elite parpol akan mengajukan capres yang akseptabel dengan kehendak publik.

Namun paling tidak ada tiga ekses negatif dari pelaksanaan serentak Pileg-Pilpres 2019. Pertama; kemenguatan perilaku office seeking dan vote seeking ketimbang policy seeking oleh partai-partai politik. Menurut Wolinetz (2002), perilaku parpol dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pencari suara (vote seeking), pencari jabatan (office seeking), dan pencari kebijakan (policy seeking).

Dari tiga dimensi itu, perilaku parpol kita setelah era Orba lebih didorong oleh vote seeking dan office seeking ketimbang policy seeking. Vote seeking membuat partai hanya hadir pada momen-momen pemilu, baik pemilu nasional maupun lokal. Perilaku partai lebih berorientasi catch all party dibanding ideologis-kebijakan. Orientasi office seeking membuat perilaku partai lebih pragmatis jangka pendek terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis pada pemerintahan karena driving goal-nya adalah pilpres.

Kedua; penguatan sekaligus pelemahan agenda penyederhanaan parpol. Diskursus politik tentang penyederhanaan parpol mengemuka pada saat DPR menyusun UU Pileg 2014. Saat itu publik meyakini bahwa salah satu kelemahan sistem presidensialisme kita terletak pada sistem multipartai yang sangat cair.

Publik mendorong penyederhanaan parpol kepada pembuat undang-undang. Maka lahirlah ketentuan syarat parpol untuk bisa menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana diatur Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2012. Parpol peserta pemilu yang diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR adalah yang bisa melewati parliamentary threshold 3,5%. Dua hal penting ini menjadi pijakan awal penyederhanaan parpol di tingkat hulu dan hilir.

Pijakan berikutnya adalah presidential threshold. Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 mengatur pasangan calon diajukan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Itu syarat minimal dukungan politik parpol kepada presiden dan wakil presiden terpilih saat mengambil kebijakan politik yang butuh dukungan parlemen.

Apa konsekuensi dari pileg dan pilpres bersamaan tahun 2019? Jika Pilpres 2019 menggunakan presidential threshold, pengajuan capres dan cawapres mendasarkan hasil Pileg 2014. Jika pilpres tidak menggunakan presidential threshold, pengajuan capres-cawapres cukup dengan klausul diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2019.

Banyak Capres

Pasal 6A UUD 1945, khususnya Ayat 2 hanya menyatakan capres-cawapres  diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Andai memakai logika yang kedua berarti bisa muncul banyak capres. Parpol yang lolos jadi peserta pemilu bisa mencalonkan kadernya atau berkoalisi dengan parpol lain mendukung capres-cawapres. Jauh-jauh hari partai-partai sudah berkoalisi tanpa menunggu hasil pileg.

Ada komunikasi mendalam dan kesepahaman di antara partai-partai untuk mencalonkan capres-cawapres, dan berarti tak memerlukan setgab partai koalisi. Namun, kondisi itu tidak berbanding lurus dengan penguatan presidensialisme apabila kejadian 2004 dan 2009 kembali terulang, di mana presiden dan wakil presiden terpilih tak didukung partai yang memperoleh suara mayoritas.

Berangkat dari situasi itu, memperberat persyaratan menjadi peserta Pemilu 2019 bisa menjadi pintu masuk memperkuat presidensialisme tanpa mengurangi efisiensi pileg-pilpres bersamaan. Selanjutnya menetapkan parliamentary threshold (PT) 5%. Ke depan partai-partai politik yang memperoleh PT 5% ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024. Dengan demikian, terjadi evolusi penyederhanaan partai.

Tak ada desain sistem politik yang langsung ”nyetel” dengan kultur suatu negara bangsa. Sistem politik berubah mencari bentuk mengikuti dinamika perkembangan zaman. Kita harus bersabar mendapatkan sistem politik yang cocok dengan kebutuhan zaman. Mahkamah Konstitusi sudah membuat sebuah lompatan, berarti pemerintah dan DPR harus menyusun UU sesuai amanat putusan tersebut. Terlepas dari sisi negatif pileg dan pilpres bersamaan, dari sekarang partai-partai politik serius melakukan kaderisasi guna memajukan kader sebagai capres/cawapres. Akseptabilitas capres-cawapres yang baik berdampak positif bagi akseptabilitas partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar