Menggugat
Kekayaan Rakyat
Zainal Alim Adiwijaya ; Dosen dan Peneliti dari Fakultas
Ekonomi
Unissula
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 Februari 2014
PASAL 33 Ayat 3 UUD 1945 secara tegas
mengamatkan, ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Teks keramat itu menjadi payung semua undang-undang dan segala
bentuk peraturan pengelolaan kekayaan negara. Apa yang terjadi terhadap
pengelolaan kekayaan bangsa Indonesia?
Freeport telah mengeksploitasi kekayaan
rakyat kita di Papua berupa 72,4 juta kilogram emas. Perusahaan Amerika
Serikat itu mendapat bagian 99% dan kita hanya 1%. ExxonMobil, juga dari
Amerika, mengekspoitasi gas rakyat kita di Blok Natuna. Padahal di blok itu
terkandung gas alam terbesar di dunia, dengan cadangan 202 triliun kaki
kubik. ExxonMobil pula yang menambang minyak di Blok Cepu, dan Pertamina
hanya ”membantu”.
Tiap tahun kita kehilangan kekayaan rakyat
di laut senilai Rp 240 triliun, dan berapa kerugian negara kita dari
hilangnya kekayaan hutan tropis terluas di dunia, dengan luas 39,5 juta
hektare? Kekayaan energi dan migas Indonesia mencapai Rp 200 ribu triliun (Qurtubi:2014), yang mestinya dikelola
oleh negara serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Benarkah kita menjadi sejahtera dengan
kekayaan alam sebesar itu? Realitasnya justru sebaliknya mengingat rakyat
justru masih harus menyubsidi BBM Rp 200 triliun per tahun. Bahkan dengan
kenaikan nilai dolar AS menjadi Rp 12.000 maka nilai subsidi BBM kita
tahun ini bakal sekitar Rp 250 triliun. Menyubsidi berarti mengambil uang
rakyat ratusan triliun rupiah untuk membayar BBM. Salah kelola terhadap kekayaan
alam bangsa Indonesia, seharusnya dikoreksi oleh semua anak bangsa.
Bila
tidak maka bangsa Indonesia bisa menjadi sebagaimana diibaratkan tikus mati
di lumbung padi.
Apakah Amerika tak punya kekayaan alam
sehingga harus mengeksploitasi kekayaan alam negara-bangsa lain? Sejatinya
Amerika memiliki kekayaan alam berlimpah, baik minyak, gas, emas, dan
sebagainya. Namun semua anggota senat tak mengizinkan perusahaan apa pun
mengambilnya kendati hanya satu tetes atau butir. Kita tentu ingat ketika
krisis energi melanda Amerika dan Obama menawarkan solusi sekali waktu
mengambil kandungan minyak di Alaska. Para senator menentang gagasannya, dan
itu senapas dengan ajaran Adam Smith, Bapak Ekonomi negara adikuasa
tersebut.
Tahun 1776 Smith menulis buku The Wealth of Nations (artinya
”Kekayaan Bangsa-Bangsa” bukan ”Kekayaan Bangsa Amerika”). Kata nations
mengandung arti jamak, bangsa-bangsa. Artinya, Amerika sebagai negara
adikuasa, adidaya, tak harus mengelola kekayaan bumi Amerika untuk digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Amerika tetapi ”boleh” mengelola dari
kekayaan negara-bangsa lain di dunia. Adapun
kekayaan alam bumi Amerika dijadikan simpanan untuk masa depan. Kalau energi
dan migas di dunia sudah menipis, bahkan habis maka Amerika adalah negara yang
masih memiliki semua kekayaan itu.
Mari kita lihat apa dan bagaimana yang
dilakukan ketua (waktu itu) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kita. Rudi Rubiandini, dosen teladan dari
universitas terbaik negeri ini tampaknya tidak lulus mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn). Dia ”lupa” bagaimana mengelola bumi, air, dan kekayaan
alam bangsanya sendiri. Ia malah melanggengkan budaya perampasan kekayaan
negara, dan Rp 7 miliar tertangkap tangan disita oleh KPK.
Terus
Merugi
Kerugian negara dari permainan sektor migas
ini hanyalah fenomena puncak gunung es dari banyaknya kekayaan negara yang
hilang. SKK Migas juga tidak mampu melakukan efisiensi dalam cost recovery
migas sehingga negara terus merugi ratusan triliun rupiah. SKK Migas juga
tidak memiliki payung hukum sesuai dengan konstitusi dalam mengelola kekayaan
negara. Akibatnya, kekayaan energi dan migas rakyat kita senilai Rp 200
triliun tidak mampu menyumbang APBN. Yang terjadi justru sebaliknya, ratusan
triliun rupiah APBN rakyat kita diambil untuk menyubsidi harga BBM.
Melihat payung hukum SKK Migas yang tak
sesuai dengan konstitusi maka langkah pertama; bubarkan institusi itu. Kedua;
bentuk perusahaan negara yang ”menguasai” kekayaan bumi, air, udara, dan
kekayaan lainnya dan menggunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bila kekayaan kita tidak dikuasai oleh negara dan tidak digunakan
sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat, malah dikuasai perusahaan asing,
berarti terjadi kegagalan pengelolaan kekayaan negara.
Rakyat Indonesia adalah pemilik sah Bumi
Pertiwi. Semua kekayaan kita tak boleh lagi dikuasai investor asing sehingga
negara terus-menerus merugi. Dominasi operasional Freeport, ExxonMobil dan
sebagainya menjadi bukti negara asing menguras kekayaan Indonesia. Kekayaan
besar bangsa ini harus dijaga dan dikelola oleh seluruh anak bangsa. Kekayaan
bangsa Indonesia harus bisa memakmurkan rakyat, bukan justru pengelolaannya
menguras uang rakyat di APBN dalam wujud subsisi-subsidi yang tidak perlu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar