Anomali
Iklim dan Ancaman Kelaparan
Lestari Agusalim ; Dosen
Universitas Trilogi,
Direktur Pusat Kajian Pengembangan Ekonomi Alternatif
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2014
“Pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia
pertanian melalui program `pendidikan pertanian' di perguruan tinggi, bukan
fakultas pertanian.”
BENCANA alam tampaknya saling
bersahutan di negeri ini, mulai dari banjir, tanah longsor, gunung meletus,
tornado, hingga lindu. Frekuensi bencana mencapai 173,2% banjir dan tanah
longsor yang berlangsung 1.392 kali, meroket hingga 293% dari tahun
sebelumnya (Walhi, 2013). Imbasnya,
produksi dan distribusi pangan terganggu. Pengusaha angkutan merugi dan
menghambat distribusi pangan.
Mungkinkah ini akibat anoma li
iklim? Semenjak revolusi industri, orientasi pembangunan dunia menguras
kekayaan alam. Negara berlomba dalam memuncaki tingkat pendapatan karena
menjadi indikator kemajuan. Indonesia pun mengikuti ritual ini. BPS (2013)
mencatat Indonesia bertengger di urutan ke-16 tertinggi dalam pendapatan
nasional. Apakah angka ini mencerminkan kesejahteraan?
Kritik
pertumbuhan
Penulis menyangsikan postulat ini.
Ideologi pertumbuhan menghasilkan dua hal, kemakmuran dan kemiskinan. Selain
ekonomi tumbuh, kemiskinan pun menanjak. BPS mencatat akhir 2013 kemiskinan
naik 480 ribu jiwa, kendati pertumbuhan ekonomi mencapai 5,9%. Siapa yang
menikmati pertumbuhan itu? Bukankah janggal ketika pendapatan naik,
kemiskinan pun menanjak? Celakanya lagi, eksploitasi sumber daya alam
berlebih malah mendorong pertumbuhan ekonomi. Bukankah hal tersebut merusak
keseimbangan ekosistem hingga menimbulkan anomali cuaca dan bencana ekologi?
Kemiskinan dan bencana ekologi
amat erat dengan kelaparan. Semakin dahsyat bencana, ancaman kelaparan kian
menghantui. Makanya, ancaman kelaparan dan gizi buruk bukanlah isapan jempol
belaka. Satu dari delapan orang di dunia menderita kelaparan akut. Badan
Pangan Dunia (FAO) mencatat 12% penduduk dunia masuk kategori kelaparan
kronis. Bagaimana dengan Indonesia? Nilai indeks kelaparan Indonesia 10,1,
masuk kategori kelaparan serius (IFPRI, 2013). Pemerintah mestinya
mengantisipasi, bukan hanya mengobati. Sejauh mana Indonesia menyikapi
situasi ini?
Masalahnya, ciri pertanian
Indonesia subsistem. Kementerian Pertanian menyebut tenaga kerja petani
berjumlah 30 juta jiwa. Padahal, mereka mesti berbagi 8,9 juta hektare lahan.
Satu tenaga kerja hanya menguasai 0,29 hektare. Dapatkah mereka menyediakan
pasokan pangan bagi 250 juta jiwa rakyat Indonesia? Pasalnya, pemerintah
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menarget kan swasembada
pangan 2014. Tampaknya target itu jauh panggang dari api. Bukankah ancaman
krisis pangan dan kelaparan di depan mata? Inilah potret buram pertanian
Indonesia, tapi tidak buat pertumbuhan ekonomi. Aneh bin ajaib. Mengapa
demikian?
Pertama, konversi lahan pertanian
ke nonpertanian kian masif. Kementerian Pertanian mencatat 2013 konversi
lahan sawah menjadi perumahan, mal, dan gedung-gedung raksasa mencapai 110
ribu hektare. Pasalnya, dalam lima dasawarsa terakhir kontribusi sektor
pertanian melebihi 50% terhadap pendapatan nasional, dan kini merosot hingga
15%. Bila konversi lahan terus berlanjut, kelaparan mengancam 4,7 juta jiwa.
Asumsinya, 1 hektare lahan yang dikonversi menghilangkan produksi beras 6
ton. Sayangnya, pemerintah kerap kali menempuh solusi instan impor pangan dan
raskin manakala terjadi ancaman kelaparan. Bukankah hal itu membuat bangsa
ini bergantung pada pangan impor? Apakah slogan swasembada pangan utopis
belaka?
Kedua, keterbatasan memperluas
lahan pertanian. Setidaknya kita butuh 2 juta hektare lahan, sedangkan
kemampuan menambah lahan cuma 40 ribu hektare. Yang terjadi bukan perluasan,
melainkan penyempitan lahan. Ketiga, kian memburuknya infrastruktur
pertanian, baik irigasi primer maupun tersier untuk mengairi lahan pertanian
sawah palawija. Kendati pemerintah setiap tahunnya mengalokasikan dana
alokasi khusus (DAK) buat rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur baru di
perdesaan, hal itu belum memberi andil dalam meningkatkan produksi dan
distribusi pangan.
Keempat, lemahnya industri hilir
pertanian. Selama satu dasawarsa malah terjadi gejala deindustrialisasi
pertanian. BPS mencatat kontribusi menurun dari 28,37% menjadi 25,59%
terhadap pendapatan nasional. Sebabnya, pemerintah mengabaikan sektor hulu,
minimnya insentif, hingga memberi pelindungan industri hilir. Kelima, animo
pemuda dan mahasiswa bergelut di sektor pertanian cenderung menurun dan alergi.
Buktinya, mereka yang masuk perguruan tinggi lebih meminati jurusan
manajemen, akuntansi, informatika dan perbankan, ketimbang pertanian.
Ketujuh, anomali iklim menurunkan
produksi pangan, dan hal itu berimbas pada harga yang pasti akan bergejolak. Celakanya,
pemerintah bisanya hanya mengimpor ketika semua ini terjadi.
Kebijakan
politik
Jika merujuk pada semua problem di
atas, sejatinya tidak ada kata terlambat. Kita harus mengembalikan jati diri
bangsa sebagai negara agraris maritim. Caranya; pertama, pemerintah perlu
membuat kebijakan radikal membatasi eksploitasi sumber daya alam,
mengonkretkan implementasi UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pembatasan bertujuan mengurangi
konsumsi berlebihan dan mempertahankan keseimbangan ekologi. Kedua,
pemerintah mengonkretkan UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani. Pemerintah pusat dan daerah mesti memastikan setiap
petani mendapatkan 2 hektare lahan (Pasal 58 ayat 3a). Bila itu terwujud,
mimpi swasembada pangan jadi ke niscayaan.
Ketiga, pemerintah menghentikan
impor pangan dan memprioritaskan konsumsi pangan lokal melalui model
pertanian agroekologi/agroekosistem. Umpamanya, setiap rumah tangga membuat
taman gizi dan tanaman obat keluarga dengan mendayagunakan lahan pekarangan.
Keempat, pemerintah hendaknya mendorong agroekoteknologi agar meningkatkan
produktivitas petani kecil, juga meningkatkan nilai tambah produknya.
Kelima, pemerintah mengupayakan
kebijakan moneter yang propertanian. Kebijakannya berupa akses modal lewat
jaminan suku bunga rendah oleh negara untuk memperbaiki dan membangun
infrastruktur pertanian yang baru.
Keenam, pemerintah perlu
menyiapkan sumber daya manusia pertanian melalui program `pendidikan
pertanian' di perguruan tinggi. Bukan fakultas pertanian, melainkan
pendidikan yang menyeimbangkan pengetahuan sains dan keterampilan. Inilah
semestinya yang menjadi solusi kebijakan politik pembangunan pertanian di
masa mendatang untuk mengantisipasi anomali iklim dan ancaman kelaparan.
Sudah semestinya presiden pemenang Pemilu 2014 memprioritaskan kebijakan ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar