Ironi
Saksi (Berbayar) Partai Politik
Karel Susetyo ; Analis
politik POINT Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2014
MEMASUKI 2014, yang suka tidak
suka menjadi tahun politik, hawa panas menjelang pemilu mulai terasa
menyeruak. Semua kekuatan politik berusaha memainkan beragam situasi dan isu
terkini guna memperoleh keuntungan politik. Di tengah-tengah kompetisi yang
ketat, secara mengejutkan pemerintah bersama dengan DPR dan penyelenggara
pemilu menyetujui akan mengeluarkan biaya saksi partai politik (parpol) dari
APBN 2014. Jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp658 miliar atau setara
dengan Rp54 miliar per parpolnya. Pendapat parpol terpecah mengenai hal itu.
Ada yang menolak, tapi di sisi lain juga ada yang mendukung.
Keputusan pembiayaan saksi parpol
di TPS oleh pemerintah kali ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah
penyelenggaraan pemilu di Indonesia, bahkan mungkin juga pertama kalinya di
dunia. Setidaknya terdapat berbagai kelemahan atas rencana kebijakan
tersebut. Pertama, dasar hukum yang lemah. UU No 2/2011 tentang Partai
Politik (Pasal 34 ayat 3 a) melarang adanya bantuan APBN bagi parpol, kecuali
untuk pendidikan politik anggotanya dan masyarakat. Jelas pendanaan saksi
meru pakan wilayah operasional parpol dan tidak memiliki aspek pendidikan
politik sedikit pun. Kedua, pemilu merupakan kegiatan rutin bagi parpol
sehingga setiap parpol sudah merencanakan dan mempersiapkan sumber daya
manusia serta sumber pendanaan untuk kegiatan tersebut. Pun tidak ada alasan
bagi parpol untuk tidak mampu mengadakan dan membiayai saksi-saksinya selama
ini.
Bukankah selama ini, sejak Pemilu 1999, bahkan dalam ratusan pemilu
kada, semua parpol mampu melakukannya? Lalu kenapa baru pada Pemilu 2014
keputusan itu ditelurkan?
Ketiga, mencederai rasa keadilan. Peserta pemilu tidak hanya parpol, tetapi
juga termasuk perseorangan yang mencalonkan diri sebagai calon senator DPD
RI. Mereka juga memiliki saksi di TPS layaknya parpol. Maka seha rusnya
mereka berhak mendapatkan dana saksi TPS. Keempat, mekanisme penyaluran dana.
Pada ranah tersebut, pemerintah akan mengalami kerancuan apabila dana saksi
diserahkan kepada Bawaslu. Jelas Bawaslu adalah lembaga independen.
Sesuai UU No 15/2011, tidak ada tugas, fungsi, dan tanggung jawab mereka
sebagai penyalur dana bagi parpol.
Dampak
negatif
Tampaknya rencana kebijakan
pemberian dana saksi parpol lewat APBN akan jalan terus. Meski sejumlah
parpol seperti PDIP dan NasDem je las menolaknya, bagian besar parpol
sebagian besar parpol justru berada pada posisi yang berseberangan.
Bagi
parpol, kebijakan itu tidak disadari akan membawa dampak negatif di masa
mendatang. Setidaknya akan terjadi pergeseran nilai dari saksi yang selama
ini bersifat sukarela dan partisan, menjadi upahan dan pragmatis mengingat
kehadiran saksi dibutuhkan tidak hanya pada pemilu legislatif saja, tetapi
juga pada pemilu presiden dan pemilu kada (yang jumlahnya mencapai ratusan).
Lalu siapkah parpol menanggung biaya saksi pada momen politik di luar pemilu
legislatif apabila saksinya sudah terbiasa menerima upah?
Pada sisi lain, rencana kebijakan
penggelontoran dana saksi mendegradasi citra parpol di mata publik. Nilai
Rp658 miliar bukanlah angka yang sedikit di tengah situasi saat ini. Bencana
alam tengah melanda berbagai wilayah, hidup rakyat makin sulit, dan praktik
korupsi di negeri kita kian buruk. Dengan menerima dana saksi, parpol sedang
mengambil peran antagonisnya, yang ti dak henti-hentinya meng ambil
keuntungan dari rakyat. Jelas itu bukan sesuatu yang positif bagi parpol.
Upaya kemandirian yang dilakukan parpol selama ini, sebagai susu sebelanga,
pada akhirnya rusak karena nila setitik bernama dana saksi.
Tanpa
rencana
Kebijakan dana saksi parpol
tampaknya tanpa perencanaan matang. Dari sumber pembiayaan, kebijakan itu
berpotensi melanggar prinsip dasar pengelolaan keuangan negara sebagaimana
diamanatkan UU No 17/2013 (Pasal 3 ayat 1a). Keuangan negara harus dikelola
secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dalam memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Adapun sisi pengeluaran pembiayaan juga tidak luput dari kelemahan
mengingat gelaran pemilu tidak hanya di pemilu legislatif saja, tetapi juga
pemilu presiden. Bahkan masih ada setidaknya gelaran pemilu kada yang
kesemuanya mensyaratkan adanya saksi di TPS. Apakah penilaian pemilu presiden
dan pemilu kada kalah pentingnya dalam sistem demokrasi kita bila
dibandingkan dengan pemilu legislatif sehingga hanya penyelenggaraan pemilu
legislatif saja yang saksi parpolnya bisa dibiayai APBN?
Bagaimanapun, sebuah kebijakan
harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral, politis, dan keuangan negara.
Namun, terlebih lagi kebijakan dana saksi parpol harus membawa dampak positif
bagi pembangunan demokrasi bangsa. Jelas kebijakan dana saksi akan membawa
kemudaratan politik. Parpol, meski terkesan terbantu oleh dana saksi tersebut,
sebenarnya sedang menuju defisit investasi sosial yang selama ini sudah
dibangun. Hal itu seba gai konsekuensi logis menurunnya citra positif mereka
di mata publik.
Bagi penyelenggara pemilu,
kebijakan itu justru mendelegitimasi peran mereka pada pemilu nanti karena
kepercayaan pemerintah terhadap KPU dan Bawaslu berada pada titik terendah.
Dengan itu, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada parpol melalui
saksi-saksi di TPS-nya serta mengalokasikan dana khusus.
Seharusnya dana
tersebut bisa dialokasikan guna mendukung penguatan fungsi serta peran KPU
dan Bawaslu. Tidak ada kata terlambat untuk membatalkan rencana pemberian
dana saksi parpol tersebut. Sebaiknya pemerintah dan DPR berpikir ulang;
maukah mereka menanggung beban pertanggungjawaban di masa mendatang, dengan
potensi legitimasi hukum yang rendah terhadap produk Pemilu 2014 nanti? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar