Jumat, 07 Februari 2014

Ironi Saksi (Berbayar) Partai Politik

Ironi Saksi (Berbayar) Partai Politik

Karel Susetyo   ;  Analis politik POINT Indonesia
MEDIA INDONESIA,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
MEMASUKI 2014, yang suka tidak suka menjadi tahun politik, hawa panas menjelang pemilu mulai terasa menyeruak. Semua kekuatan politik berusaha memainkan beragam situasi dan isu terkini guna memperoleh keuntungan politik. Di tengah-tengah kompetisi yang ketat, secara mengejutkan pemerintah bersama dengan DPR dan penyelenggara pemilu menyetujui akan mengeluarkan biaya saksi partai politik (parpol) dari APBN 2014. Jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp658 miliar atau setara dengan Rp54 miliar per parpolnya. Pendapat parpol terpecah mengenai hal itu. Ada yang menolak, tapi di sisi lain juga ada yang mendukung.

Keputusan pembiayaan saksi parpol di TPS oleh pemerintah kali ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, bahkan mungkin juga pertama kalinya di dunia. Setidaknya terdapat berbagai kelemahan atas rencana kebijakan tersebut. Pertama, dasar hukum yang lemah. UU No 2/2011 tentang Partai Politik (Pasal 34 ayat 3 a) melarang adanya bantuan APBN bagi parpol, kecuali untuk pendidikan politik anggotanya dan masyarakat. Jelas pendanaan saksi meru pakan wilayah operasional parpol dan tidak memiliki aspek pendidikan politik sedikit pun. Kedua, pemilu merupakan kegiatan rutin bagi parpol sehingga setiap parpol sudah merencanakan dan mempersiapkan sumber daya manusia serta sumber pendanaan untuk kegiatan tersebut. Pun tidak ada alasan bagi parpol untuk tidak mampu mengadakan dan membiayai saksi-saksinya selama ini. 
Bukankah selama ini, sejak Pemilu 1999, bahkan dalam ratusan pemilu kada, semua parpol mampu melakukannya? Lalu kenapa baru pada Pemilu 2014 keputusan itu ditelurkan?

Ketiga, mencederai rasa keadilan. Peserta pemilu tidak hanya parpol, tetapi juga termasuk perseorangan yang mencalonkan diri sebagai calon senator DPD RI. Mereka juga memiliki saksi di TPS layaknya parpol. Maka seha rusnya mereka berhak mendapatkan dana saksi TPS. Keempat, mekanisme penyaluran dana. Pada ranah tersebut, pemerintah akan mengalami kerancuan apabila dana saksi diserahkan kepada Bawaslu. Jelas Bawaslu adalah lembaga independen.

Sesuai UU No 15/2011, tidak ada tugas, fungsi, dan tanggung jawab mereka sebagai penyalur dana bagi parpol.

Dampak negatif

Tampaknya rencana kebijakan pemberian dana saksi parpol lewat APBN akan jalan terus. Meski sejumlah parpol seperti PDIP dan NasDem je las menolaknya, bagian besar parpol sebagian besar parpol justru berada pada posisi yang berseberangan. 

Bagi parpol, kebijakan itu tidak disadari akan membawa dampak negatif di masa mendatang. Setidaknya akan terjadi pergeseran nilai dari saksi yang selama ini bersifat sukarela dan partisan, menjadi upahan dan pragmatis mengingat kehadiran saksi dibutuhkan tidak hanya pada pemilu legislatif saja, tetapi juga pada pemilu presiden dan pemilu kada (yang jumlahnya mencapai ratusan). Lalu siapkah parpol menanggung biaya saksi pada momen politik di luar pemilu legislatif apabila saksinya sudah terbiasa menerima upah?

Pada sisi lain, rencana kebijakan penggelontoran dana saksi mendegradasi citra parpol di mata publik. Nilai Rp658 miliar bukanlah angka yang sedikit di tengah situasi saat ini. Bencana alam tengah melanda berbagai wilayah, hidup rakyat makin sulit, dan praktik korupsi di negeri kita kian buruk. Dengan menerima dana saksi, parpol sedang mengambil peran antagonisnya, yang ti dak henti-hentinya meng ambil keuntungan dari rakyat. Jelas itu bukan sesuatu yang positif bagi parpol. Upaya kemandirian yang dilakukan parpol selama ini, sebagai susu sebelanga, pada akhirnya rusak karena nila setitik bernama dana saksi.

Tanpa rencana

Kebijakan dana saksi parpol tampaknya tanpa perencanaan matang. Dari sumber pembiayaan, kebijakan itu berpotensi melanggar prinsip dasar pengelolaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan UU No 17/2013 (Pasal 3 ayat 1a). Keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dalam memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Adapun sisi pengeluaran pembiayaan juga tidak luput dari kelemahan mengingat gelaran pemilu tidak hanya di pemilu legislatif saja, tetapi juga pemilu presiden. Bahkan masih ada setidaknya gelaran pemilu kada yang kesemuanya mensyaratkan adanya saksi di TPS. Apakah penilaian pemilu presiden dan pemilu kada kalah pentingnya dalam sistem demokrasi kita bila dibandingkan dengan pemilu legislatif sehingga hanya penyelenggaraan pemilu legislatif saja yang saksi parpolnya bisa dibiayai APBN?

Bagaimanapun, sebuah kebijakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral, politis, dan keuangan negara. Namun, terlebih lagi kebijakan dana saksi parpol harus membawa dampak positif bagi pembangunan demokrasi bangsa. Jelas kebijakan dana saksi akan membawa kemudaratan politik. Parpol, meski terkesan terbantu oleh dana saksi tersebut, sebenarnya sedang menuju defisit investasi sosial yang selama ini sudah dibangun. Hal itu seba gai konsekuensi logis menurunnya citra positif mereka di mata publik.

Bagi penyelenggara pemilu, kebijakan itu justru mendelegitimasi peran mereka pada pemilu nanti karena kepercayaan pemerintah terhadap KPU dan Bawaslu berada pada titik terendah. Dengan itu, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada parpol melalui saksi-saksi di TPS-nya serta mengalokasikan dana khusus. 

Seharusnya dana tersebut bisa dialokasikan guna mendukung penguatan fungsi serta peran KPU dan Bawaslu. Tidak ada kata terlambat untuk membatalkan rencana pemberian dana saksi parpol tersebut. Sebaiknya pemerintah dan DPR berpikir ulang; maukah mereka menanggung beban pertanggungjawaban di masa mendatang, dengan potensi legitimasi hukum yang rendah terhadap produk Pemilu 2014 nanti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar