Selasa, 13 Februari 2018

Tindakan KPK dan Terus Maraknya Korupsi di Daerah

Tindakan KPK dan Terus Maraknya
Korupsi di Daerah
Laode Ida  ;   Komisioner Ombudsman RI;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
                                           MEDIA INDONESIA, 13 Februari 2018



                                                           
GERAKAN pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan KPK agaknya belum memberi efek jera atau rasa takut bagi para pejabat di negeri ini. Bahkan, sebagian di antaranya semakin ganas saja dalam menjalankan aksinya dengan berbagai modus dan objek jarahan hingga anggaran hak rakyat kecil pun diembat. Dengan begitu, para insan lembaga antirasywah tak alami kesulitan berarti lagi dalam mendeteksi dan menjaring para oknum yang terlibat dalam praktik extraordinary crime itu.

Publik bangsa ini tentu dengan sangat prihatin menyaksikan sejumlah peristiwa penangkapan dan/atau penersangkaan sejumlah kepala daerah, pejabat politik, pejabat birokrasi, dan termasuk pengusaha sebagai pihak pemberi uang kepada para aparatur negara itu. Para petinggi di sejumlah daerah bagaikan barisan panjang dan bergilir menjadi pemakai seragam ‘rompi kuning’.

Sama-sama rakus

Promosi pemimpin berbasis gender yang diharapkan bisa jadi contoh pencipta good governance and clean government haruslah kita lupakan saja. Begitu juga dengan anggapan bahwa figur dengan latar belakang mapan dari segi harta (kaya) tidak akan korupsi lagi saat jadi pemimpin sudah ‘omong kosong’ saja.

Serupa pula dengan kebanggaan terhadap pemimpin muda yang akan merawat masa depannya. Semua teori atau harapan itu tidak bisa dijadikan acuan lagi, sudah gagal di tingkat praktik. Dalam barisan para pemakai rompi kuning itu ternyata sudah membuktikannya sebagai sama-sama rakus melahap uang negara.

Kita lihat saja, misalnya, tertangkap tangannya Bupati Jombang (Nyoto Suharli Wihandoko) bersama Plt Kepala Dinas Kesehatan Inna Sulestyowati (Sabtu, 3/2/2018), Gubernur Zumi Zola (pemimpin muda, ganteng, dan dari keluarga harta berlimpah) yang jadi tersangka dari rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi (Selasa, 28/11/2017), Bupati Nganjuk Taufikurrahman yang terkesan ‘kalem nan religius’ (tertangkap tangan oleh KPK pada Rabu, 1/11/2017).

Selain itu, ada juga Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ke tahanan KPK akibat istrinya (Lily Martiani) tertangkap tangan saat terima kick back fee proyek dari pengusaha (20/6/2017). Atau pasrahnya Wali Kota Tegal (Siti Masitha) untuk memakai ‘rompi kuning’ lantaran kedapatan oleh insan KPK saat menerima uang yang bukan haknya (28/9/2017).

Selanjutnya, ditetapkannya Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (16/1/2018) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang, padahal yang bersangkutan terkenal kaya, muda, dan berparas cantik. Sebelumnya ada Bupati Klaten Sri Hartini yang terkena OTT KPK (31/1/2016) terkait dengan jual-beli jabatan di daerahnya.

Yang terbaru, KPK menangkap Bupati Ngada yang juga bakal calon Gubernur NTT Marianus Sae dalam OTT pada Minggu (11/2/2018) karena diduga terkait dengan komisi proyek. Dari sejumlah kasus pejabat yang jadi penghuni ‘hotel prodeo’ KPK itu teridentifikasi setidaknya tiga objek garapan untuk mengumpulkan harta ilegal, yaitu korupsi anggaran negara atau APBD, dagang kebijakan (good will) utamanya terkait dengan pemberian izin investasi, dan jual-beli jabatan. Jika jujur diakui, ketiga media korupsi itu terjadi pada umumnya di daerah-daerah di seluruh Nusantara.

Pada saat-saat seperti sekarang ini, di awal tahun anggaran (termasuk anggaran perubahan nanti memasuki semester kedua), tender-tender proyek sebenarnya bisa dikatakan sebagai formalitas saja--kendati sudah menggunakan e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa. Soalnya yang mengatur teknologi yang digunakan itu juga ialah manusia di bawah kendali para pejabat bawahan atau orang-orangnya kepala daerah.

Maka jangan heran, seperti sejumlah kasus yang diadukan di sejumlah kantor perwakilan Ombudsman di daerah, para pemenang lelang dengan skor yang secara terbuka terlihat di internet diabaikan begitu saja. Pejabat penentu kemenangan menunjuk pebisnis lain yang justru tak masuk daftar tiga besar sebagai pemenang.

Tepatnya, proyek-proyek itu sejak awal ditentukan pemenangnya alias sudah diijonkan pada pengusaha-pengusaha tertentu yang jadi relasi, kerabat, dan/atau keluarga dari kepala daerah. Kasus Gubernur Jambi Zumi Zola dan rekan-rekannya di DPRD Jambi merupakan contoh aktual pembuktiannya. Bahwa itu proyek di daerah yang merupakan bagian dari anggaran APBN yang didesentralisasikan atau didekonsentrasikan ke daerah otonom, dikerjasamakan antara ‘broker APBN’ (yang sebagian ialah oknum politisi di Senayan) dan pihak pejabat pemda terkait, yang selalu sepengetahuan oleh--dan berarti ada bagian khusus untuk kepala daerah.

Kebijakan kepala daerah memang sangat menentukan nasib para pebisnis. Tanda tangan atau restu pejabat di atas selembar kertas, membangun hubungan baik dengan kepala daerah, dianggap sebagai kunci utama terealisasikannya rencana para pengusaha. Dalam kaitan ini, keberuntungan lebih berpihak pada para kepala daerah atau pejabat di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya. Sekali mengeluarkan izin pengusahaan sumber daya alam (SDA), misalnya, ‘bayarannya’ bisa miliaran atau bahkan puluhan miliar.

Maka tidak mengherankan jika para kepala daerah dari wilayah-wilayah yang SDA-nya kaya memiliki harta berlimpah. Tersangkanya Bupati Kukar Rita Widyasari--KPK mengidentifikasi harta dari gratifikasi mencapai senilai hampir setengah triliun rupiah--dan juga Gubernur Sultra (nonaktif) Nur Alam dengan antara lain terungkapnya aliran dana dari para pengusaha luar negeri ke rekening keluarganya (Media Indonesia, 6/2/2018), merupakan contoh kasus koruspsi berbasis good will untuk eksploitasi SDA. Soalnya kedua daerah itu, Kukar (Kaltim) dan Sultra, terkenal sebagai daerah yang kaya SDA.

Tidak berefek jera

Pertanyaannya, mengapa tindakan KPK tidak berefek jera juga, padahal lembaga itu sudah menggalakkan gerakan pencegahan korupsi? Saya menduga beberapa faktor penyebabnya. Pertama, penjara bagi para koruptor sudah tidak menakutkan lagi. Di dalam penjara mereka dapat menikmati kehidupan biasa, hanya berbeda ruangnya terbatas. Tapi harta mereka masih banyak, yang bisa dinikmati keluarga dan setelah bebas.

Ruang politik pun masih terbuka luas setelah keluar penjara. Masyarakat juga masih tetap menjadikan mereka sebagai rujukan, anutan, dan bahkan masih tetap akan jadi kebanggaan. Sungguh sangat aneh, bukan? Kedua, ada anggapan bahwa tertangkap oleh KPK hanyalah soal nasib karena praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan seluruh pejabat di Indonesia ini. KPK sendiri tidak memiliki kantor di daerah, sementara pihak kejaksaan dan kepolisian yang dalam tupoksinya ada tugas pemberantasan korupsi dianggap bisa bekerja sama, saling pengertian. Apalagi sudah jadi kerabat dalam forum pimpinan daerah (atau dulu disebut musyawarah pimpinan daerah). Jadi dianggap ‘tahu sama tahu' saja, situasi saling menguntungkan.

Ketiga, tak bisa dimungkiri hal itu akibat dari tuntutan biaya politik yang sangat mahal. Maka, mereka harus memanfaatkan kesempatan selama menjabat sebagai kepala daerah, tidak hanya mengembalikan segala biaya yang dikeluarkan itu, tapi juga harus 'untung lebih banyak' untuk; pertama menyiapkan harta bagi terjaminnya hidup enak saat purnatugas, dan kedua untuk persiapan dalam menghadapi pertarungan politik berikut karena prinsipnya tak boleh kalah harta.

Maka tidak mengherankan jika para pejabat petahana sulit terkalahkan ketika bertarung kembali mempertahankan atau merebut kekuasaan baru. Ya, karena banyak uang dan ditopang jaringan pebisnis yang dipeliharanya selama menjabat, juga ditopang para aparat birokrasi yang terus saja loyal. ●

1 komentar:

  1. Prediksi Bola Paris SG vs Bayern Munich 24 Agustus 2020 yang akan di selenggarakan langsung tanpa penonton di Estadio da luz.

    Dalam pertemuan kedua tim di Liga Champion kali ini. Akan di Jadwal Bola Malam Ini pertandingan ini tentunya akan sangat seru untuk di tonton pada Siaran Bola Live Streaming

    BalasHapus