Tindakan
KPK dan Terus Maraknya
Korupsi
di Daerah
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2018
GERAKAN
pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan KPK agaknya belum memberi efek
jera atau rasa takut bagi para pejabat di negeri ini. Bahkan, sebagian di
antaranya semakin ganas saja dalam menjalankan aksinya dengan berbagai modus
dan objek jarahan hingga anggaran hak rakyat kecil pun diembat. Dengan
begitu, para insan lembaga antirasywah tak alami kesulitan berarti lagi dalam
mendeteksi dan menjaring para oknum yang terlibat dalam praktik extraordinary
crime itu.
Publik
bangsa ini tentu dengan sangat prihatin menyaksikan sejumlah peristiwa
penangkapan dan/atau penersangkaan sejumlah kepala daerah, pejabat politik,
pejabat birokrasi, dan termasuk pengusaha sebagai pihak pemberi uang kepada
para aparatur negara itu. Para petinggi di sejumlah daerah bagaikan barisan
panjang dan bergilir menjadi pemakai seragam ‘rompi kuning’.
Sama-sama rakus
Promosi
pemimpin berbasis gender yang diharapkan bisa jadi contoh pencipta good
governance and clean government haruslah kita lupakan saja. Begitu juga
dengan anggapan bahwa figur dengan latar belakang mapan dari segi harta
(kaya) tidak akan korupsi lagi saat jadi pemimpin sudah ‘omong kosong’ saja.
Serupa
pula dengan kebanggaan terhadap pemimpin muda yang akan merawat masa
depannya. Semua teori atau harapan itu tidak bisa dijadikan acuan lagi, sudah
gagal di tingkat praktik. Dalam barisan para pemakai rompi kuning itu
ternyata sudah membuktikannya sebagai sama-sama rakus melahap uang negara.
Kita
lihat saja, misalnya, tertangkap tangannya Bupati Jombang (Nyoto Suharli
Wihandoko) bersama Plt Kepala Dinas Kesehatan Inna Sulestyowati (Sabtu,
3/2/2018), Gubernur Zumi Zola (pemimpin muda, ganteng, dan dari keluarga
harta berlimpah) yang jadi tersangka dari rangkaian operasi tangkap tangan
(OTT) KPK terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi (Selasa, 28/11/2017),
Bupati Nganjuk Taufikurrahman yang terkesan ‘kalem nan religius’ (tertangkap
tangan oleh KPK pada Rabu, 1/11/2017).
Selain
itu, ada juga Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ke tahanan KPK akibat istrinya
(Lily Martiani) tertangkap tangan saat terima kick back fee proyek dari
pengusaha (20/6/2017). Atau pasrahnya Wali Kota Tegal (Siti Masitha) untuk
memakai ‘rompi kuning’ lantaran kedapatan oleh insan KPK saat menerima uang
yang bukan haknya (28/9/2017).
Selanjutnya,
ditetapkannya Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (16/1/2018) sebagai
tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang, padahal yang
bersangkutan terkenal kaya, muda, dan berparas cantik. Sebelumnya ada Bupati
Klaten Sri Hartini yang terkena OTT KPK (31/1/2016) terkait dengan jual-beli
jabatan di daerahnya.
Yang
terbaru, KPK menangkap Bupati Ngada yang juga bakal calon Gubernur NTT
Marianus Sae dalam OTT pada Minggu (11/2/2018) karena diduga terkait dengan
komisi proyek. Dari sejumlah kasus pejabat yang jadi penghuni ‘hotel prodeo’
KPK itu teridentifikasi setidaknya tiga objek garapan untuk mengumpulkan
harta ilegal, yaitu korupsi anggaran negara atau APBD, dagang kebijakan (good
will) utamanya terkait dengan pemberian izin investasi, dan jual-beli
jabatan. Jika jujur diakui, ketiga media korupsi itu terjadi pada umumnya di
daerah-daerah di seluruh Nusantara.
Pada
saat-saat seperti sekarang ini, di awal tahun anggaran (termasuk anggaran
perubahan nanti memasuki semester kedua), tender-tender proyek sebenarnya
bisa dikatakan sebagai formalitas saja--kendati sudah menggunakan
e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa. Soalnya yang mengatur
teknologi yang digunakan itu juga ialah manusia di bawah kendali para pejabat
bawahan atau orang-orangnya kepala daerah.
Maka
jangan heran, seperti sejumlah kasus yang diadukan di sejumlah kantor
perwakilan Ombudsman di daerah, para pemenang lelang dengan skor yang secara
terbuka terlihat di internet diabaikan begitu saja. Pejabat penentu
kemenangan menunjuk pebisnis lain yang justru tak masuk daftar tiga besar
sebagai pemenang.
Tepatnya,
proyek-proyek itu sejak awal ditentukan pemenangnya alias sudah diijonkan
pada pengusaha-pengusaha tertentu yang jadi relasi, kerabat, dan/atau
keluarga dari kepala daerah. Kasus Gubernur Jambi Zumi Zola dan
rekan-rekannya di DPRD Jambi merupakan contoh aktual pembuktiannya. Bahwa itu
proyek di daerah yang merupakan bagian dari anggaran APBN yang
didesentralisasikan atau didekonsentrasikan ke daerah otonom, dikerjasamakan
antara ‘broker APBN’ (yang sebagian ialah oknum politisi di Senayan) dan
pihak pejabat pemda terkait, yang selalu sepengetahuan oleh--dan berarti ada
bagian khusus untuk kepala daerah.
Kebijakan
kepala daerah memang sangat menentukan nasib para pebisnis. Tanda tangan atau
restu pejabat di atas selembar kertas, membangun hubungan baik dengan kepala
daerah, dianggap sebagai kunci utama terealisasikannya rencana para
pengusaha. Dalam kaitan ini, keberuntungan lebih berpihak pada para kepala
daerah atau pejabat di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya. Sekali
mengeluarkan izin pengusahaan sumber daya alam (SDA), misalnya, ‘bayarannya’
bisa miliaran atau bahkan puluhan miliar.
Maka
tidak mengherankan jika para kepala daerah dari wilayah-wilayah yang SDA-nya
kaya memiliki harta berlimpah. Tersangkanya Bupati Kukar Rita Widyasari--KPK
mengidentifikasi harta dari gratifikasi mencapai senilai hampir setengah
triliun rupiah--dan juga Gubernur Sultra (nonaktif) Nur Alam dengan antara
lain terungkapnya aliran dana dari para pengusaha luar negeri ke rekening
keluarganya (Media Indonesia, 6/2/2018), merupakan contoh kasus koruspsi
berbasis good will untuk eksploitasi SDA. Soalnya kedua daerah itu, Kukar
(Kaltim) dan Sultra, terkenal sebagai daerah yang kaya SDA.
Tidak berefek jera
Pertanyaannya,
mengapa tindakan KPK tidak berefek jera juga, padahal lembaga itu sudah
menggalakkan gerakan pencegahan korupsi? Saya menduga beberapa faktor
penyebabnya. Pertama, penjara bagi para koruptor sudah tidak menakutkan lagi.
Di dalam penjara mereka dapat menikmati kehidupan biasa, hanya berbeda
ruangnya terbatas. Tapi harta mereka masih banyak, yang bisa dinikmati
keluarga dan setelah bebas.
Ruang
politik pun masih terbuka luas setelah keluar penjara. Masyarakat juga masih
tetap menjadikan mereka sebagai rujukan, anutan, dan bahkan masih tetap akan
jadi kebanggaan. Sungguh sangat aneh, bukan? Kedua, ada anggapan bahwa
tertangkap oleh KPK hanyalah soal nasib karena praktik korupsi sudah menjadi
kebiasaan seluruh pejabat di Indonesia ini. KPK sendiri tidak memiliki kantor
di daerah, sementara pihak kejaksaan dan kepolisian yang dalam tupoksinya ada
tugas pemberantasan korupsi dianggap bisa bekerja sama, saling pengertian.
Apalagi sudah jadi kerabat dalam forum pimpinan daerah (atau dulu disebut
musyawarah pimpinan daerah). Jadi dianggap ‘tahu sama tahu' saja, situasi
saling menguntungkan.
Ketiga,
tak bisa dimungkiri hal itu akibat dari tuntutan biaya politik yang sangat
mahal. Maka, mereka harus memanfaatkan kesempatan selama menjabat sebagai
kepala daerah, tidak hanya mengembalikan segala biaya yang dikeluarkan itu,
tapi juga harus 'untung lebih banyak' untuk; pertama menyiapkan harta bagi
terjaminnya hidup enak saat purnatugas, dan kedua untuk persiapan dalam
menghadapi pertarungan politik berikut karena prinsipnya tak boleh kalah
harta.
Maka
tidak mengherankan jika para pejabat petahana sulit terkalahkan ketika
bertarung kembali mempertahankan atau merebut kekuasaan baru. Ya, karena
banyak uang dan ditopang jaringan pebisnis yang dipeliharanya selama menjabat,
juga ditopang para aparat birokrasi yang terus saja loyal. ●
|
Prediksi Bola Paris SG vs Bayern Munich 24 Agustus 2020 yang akan di selenggarakan langsung tanpa penonton di Estadio da luz.
BalasHapusDalam pertemuan kedua tim di Liga Champion kali ini. Akan di Jadwal Bola Malam Ini pertandingan ini tentunya akan sangat seru untuk di tonton pada Siaran Bola Live Streaming