Kapasitas
Kepala Daerah
Asep Sumaryana ; Kepala Departemen Administrasi Publik
FISIP-Unpad
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Februari 2018
SEPERTI diberitakan Media Indonesia pada 12
Februari 2018, 20,3% pemilih menghendaki pemimpin mereka memiliki sifat
merakyat, 13,6% memiliki sifat jujur atau berintegritas, dan 12,3% memiliki
pengalaman. Bila dipadukan dengan pendapat Snyder (1996), aspek courage
menjadi penting untuk bisa merakyat, jujur, dan berintegritas.
Dikatakan demikian mengingat sejumlah
petarung dengan mudah menyampaikan visi maupun misi tanpa keberanian untuk
mewujudkannya. Tidak mengherankan bila dalam setiap pertemuan dengan calon
pemilih, obral janji lebih menonjol ketimbang kemampuan untuk mewujudkan apa
yang pernah disampaikannya.
Akibatnya, kekecewaan rakyat pascapemilihan
sering menonjol karena spirit untuk mewujudkan janji tergilas oleh tekanan
sejumlah pihak yang turut mengantarkan mereka menjadi pemimpin. Kekecewaan
tersebut mengakumulasi menjadi apati yang membesar sejalan dengan penurunan
tingkat partisipasi pemilih dalam menentukan pilihan.
Courage
Bila esensi demokrasi terletak pada
bagaimana kepercayaan rakyat dilaksanakan, konsultasi rakyat seperti Ranny
(1996) tuliskan menjadi penting. Melalui cara itu, dinamika kebutuhan yang
dirasakan rakyat dapat dipantau secara intensif. Janji yang disampaikan
sebelum menduduki takhta kekuasaan direalisasikan sesuai dengan kapasitas
yang dimilikinya. Kemampuan ini bisa diwujudkan jika seluruh kepemilikan atas
kecerdasan sosial seperti Goleman (2004) tuliskan ada. Oleh sebab itu, track
record karier calon pemimpin mesti dipahami pemilih agar tidak salah
menentukan pilihan.
Dengan kecerdasan di atas, pemimpin mampu
menerjemahkan visi dan misinya ke dalam program kerja yang dilaksanakan unit
kerja yang ada. Dalam konteks itu kemampuan memadukan seluruh kerja unit yang
ada menjadi penting. Hal itu berarti bahwa kepatuhan seluruh unit di bawahnya
menjadi penting, sekaligus menunjukkan kompetensi teknis dan leadership
(Bowman, 2010) menonjol. Dengan pemaduan seperti itu, sumber daya yang
digunakan dapat difokuskan pada tujuan yang dikehendaki. Tanpa itu semua,
penghamburan sumber daya bukan suatu yang mustahil.
Munculnya kekecewaan rakyat berkaitan dengan
lemahnya courage pemimpin. Pemimpin tidak bisa memprioritaskan kelompok
tertentu dengan mengabaikan kelompok lainnya. Tali-temali ini tidak mudah
diuraikan ketika sejumlah biaya politik telah keluar. Oleh sebab itu,
keinginan berkorban untuk rakyat, bisa menjadi mahal tatkala dianggap tidak
memberikan kontribusi dalam mencapai tujuannya. Bila pilihannya lebih kepada
kepentingan pendukung, kekecewaan rakyat akan semakin membesar.
Tatkala dibaca dengan cermat oleh rakyat,
bisa jadi keberpihakan menjadi sulit diberikan. Dampaknya, ketika pemilihan
pemimpin dilakukan, kamuflase terbangun dengan sendirinya untuk mengeruk
dompet kandidat tanpa dilanjutkan dengan memilihnya. Kecenderungan ini
mendorong lahirnya money politics atau politik hitam. Bila praktik itu
berkembang, jarak pemerintah-warganya berpeluang semakin jauh. Akibatnya
pemerintah sulit tersentuh oleh kepentingan mereka dan kontrol sosial pun
semakin lemah. Ujungnya, praktik korupsi pun tidak dapat ditiadakan dalam
praktik pemerintahan seperti Hoffstede (1997) tuliskan.
Etika
Ketika Sutor (1991) menempatkan etika
sebagai panduan langkah untuk saling mendukung dan saling membantu, tujuan
harus diluruskan agar perseteruan dapat dikurangi. Tinggal yang harus
ditonjolkan bagaimana mencapai tujuan tersebut secara terhormat.
Untuk itulah, modalitas dan juga integritas
publik perlu ditunjukkan. Tujuan yang mulia belum tentu tercapai jika kedua
hal tersebut tidak diusahakan. Penunjukan kapasitas diri secara jujur dan
kesatria patut menjadi warna keseharian dalam setiap diri pemimpin.
Merawat etika bisa lebih penting ketimbang
mengutamakan kemenangan.
Kemampuan membuat vision yang realistis dan
relevan dengan situasi dan kondisi rakyat patut menjadi prioritas. Vision
tersebut haruslah bertumpu pada nilai agama, negara, dan budaya yang melekat
erat dalam kehidupan rakyatnya. Ketaatan terhadap ketiganya menjadi cermin
kekuatan aspek tersebut, sebaliknya, pelanggaran menjadi ciri kelemahannya.
Dalam konteks itu pula aspek courage sering tampak tidak menonjol dalam sosok
pemimpin yang telah tampil.
Tidak berlebihan jika rakyat sedang
mengintip figur yang pantas dipilih dalam Pilkada 2018. Bisa jadi sejumlah
upaya dilakukan calon agar bisa menjadi pemenang. Padahal, menjadi pemimpin
bukan persoalan menang dan kalah, tetapi kepercayaan. Oleh sebab itu,
penodaan akan berakibat buruk terhadap diri serta para pengusungnya.
Kehadiran akademisi, agamawan, dan budayawan
untuk senantiasa mengingatkan sosok yang diharapkan rakyat menjadi penting
ketimbang menampilkan hasil hitungan kemenangan sejumlah pasangan untuk
kepentingan sejumlah pihak. Jika pemilihan pemimpin menjadi etalase pihak
yang dipimpinnya, siapa pun yang terpilih bisa dianggap seperti itu secara
keseluruhan penghuninya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Media
Indonesia menyodorkan hasil jajak pendapat Poltracking Indonesia agar calon
pemimpin tidak hanya mengejar ambisi dirinya, tetapi juga mengutamakan
kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Bila tidak, pilkada akan dipenuhi pajangan
sosok yang jauh rupa dari isinya.
Oleh sebab itu, penyelenggara, pemikir,
praktisi, dan juga tokoh yang ada bertanggung jawab untuk menelanjangi calon
pemimpin agar terpilih yang terbaik dari yang baik, bukan sebaliknya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar