Senin, 26 Februari 2018

Tionghoa, Antara Sasaran Kebencian dan Ketimpangan Sosial

Tionghoa, Antara Sasaran Kebencian
dan Ketimpangan Sosial
Munawir Aziz  ;   Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                KOMPAS.COM, 22 Februari 2018



                                                           
SAAT ini, orang-orang Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran kebencian. Narasi kebencian sedemikian dahsyat menjadi gelombang yang mengepung kehidupan mereka.

Gelombang kebencian ini, semakin dahsyat pada proses Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Ahok—nama sapaan dari Basuki Tjahaja Purnama—beradu kekuatan dengan Anies Baswedan dalam kontestasi politik.

Citra diri Ahok—representasi Tionghoa dan non-muslim—beradu melawan Anies Baswedan, dengan citra pemimpin muslim dan keturunan Arab. Isu pribumi-non pribumi yang berembus pada masa kampanye seolah menjadi isu yang salah sasaran.

Isu tersebut mempengaruhi persepsi publik dengan menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu etnisitas dan agama.

Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta menjadi vibrasi isu di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri ini.

Seusai Pilkada DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak menyurut. Dari perbicangan dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa ketionghoaan dan label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi.

Mereka yang Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.

Bukan narasi baru

Kebencian terhadap kelompok Tionghoa merentang panjang dalam sejarah negeri ini. Narasi kebencian ini berenteng dari masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hingga Orde Baru.

Pada 1740, misalnya, sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibantai di Batavia. Secara kejam, Jenderal Adriaan Valckenier membantai orang-orang Tionghoa dari kulminasi beberapa kasus.

Salah satunya, pada 9 Oktober 1740 terjadi huru-hara di dalam tembok Batavia. Beberapa ratus orang China yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota Batavia yang sekarang adalah Museum Sejarah Jakarta—dihabisi di halaman gedung itu.

Peristiwa tersebut meluas ke beberapa kawasan di Jawa, antara lain di Cirebon, Semarang, dan Lasem. Drama gelap ini kemudian dikenal sebagai "Geger Pacinan", yang diulas secara mendalam dalam riset Daradjadi (2013).

Kebencian terhadap Tionghoa berlanjut pada masa Perang Jawa (1825-1830), ketika orang Tionghoa difitnah sebagai "pembawa sial" dalam barisan prajurit Diponegoro.

Lalu, di tengah tragedi 1965, orang-orang Tionghoa dikaitkan dengan komunisme dan dianggap mendukung PKI. Framing ini menjadi senjata politik untuk mendiskriminasi orang Tionghoa di ruang publik.
Pada masa Orde Baru berkuasa, kebencian terhadap Tionghoa tidak kalah kejamnya. Soeharto menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah ekonomi, untuk menarik sebanyak mungkin keuntungan dalam bisnis.

Barulah ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dicabut. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden terbitan Soeharto pada 1967, yang membatasi ruang gerak dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa.

Warisan kebencian

Sejarah panjang kebencian terhadap orang Tionghoa ternyata membekas dalam. Kebencian ini mudah dibangkitkan, baik dengan narasi-narasi politik yang dibungkus isu agama maupun kecemasan terhadap kelompok etnis.

Dari Survei Wahid Foundation (2017), muncul data betapa etnis Tionghoa menjadi kelompok yang dibenci. Survei ini merilis bahwa Tinghoa menjadi kelompok yang dibenci bersama non-muslim, komunis, LGBT, dan kelompok Yahudi. Melibatkan 1.520 responden, 59,9 persen responden survei tersebut memiliki kelompok yang dibenci.

Bahkan, dari 59,9 persen pihak yang menguatkan kebencian, 92,2 persen di antaranya tidak setuju bila anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Lalu, 82,4 persen dari responden yang menyimpan kebencian itu menyatakan tidak rela jika anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga.

Terlihat, kebencian telah merasuki urat nadi dan pemikiran personal serta lingkungan keluarga, sehingga tidak membuka ruang bagi perbedaan di kehidupan sosial mereka. Kebencian telah menutup pintu gerbang dialog untuk sama-sama saling memahami.

Kebencian ini tentu saja sangat berbahaya jika terus direproduksi dan diwariskan, apalagi sebagai kepentingan politik. Padahal, pada awal kemerdekaan Indonesia, para pejuang dan pendiri bangsa, telah sepakat membangun negeri ini bagi semua golongan dan etnis.

Soekarno menegaskan, Indonesia dibangun bukan hanya milik satu etnis. Pada pidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, Soekarno mengungkap bahwa negeri ini didirikan bagi semua golongan dan lintas etnis.
“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat... Kita hendak mendirikan suatu negara, semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan—baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya—tetapi semua buat semua,” tegas Bung Karno di situ.

Di hadapan sidang tersebut, Bung Karno mengungkap bahwa kebangsaan kita tidak hanya untuk satu etnis.

“Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat”.

Mewariskan cinta, mengubur kebencian 

Bagaimana cara mengubur kebencian-kebencian terhadap orang Tionghoa, atau kelompok etnis lain, bagi masa depan negeri ini?

Kita perlu mewariskan cinta, bukan kebencian. Dalam sebuah esai, Gus Dur pernah mengulas argumentasinya membela Tinghoa.

Lewat esai berjudul "Beri Jalan Orang Tionghoa" (Majalah Editor, edisi 21 April 1990) tersebut, Gus Dur mengajak kita untuk memberi ruang bagi orang-orang Tionghoa, agar mereka ikut memberi sumbangsih bagi Indonesia, yang itu juga tidak hanya di bidang bisnis.

Gus Dur mengurai, betapa orang-orang Tionghoa dalam sejarah panjangnya dari masa VOC hingga Orde Baru hanya diperas kekayaannya untuk kepentingan penguasa.

Selain itu, Gus Dur juga mengajak kita untuk mengurangi persepsi negatif terhadap kelompok etnis ini.

“... persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap mereka seperti itu akan memperkokoh ‘posisi kolektif’ mereka dalam kehidupan berbangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka,” tulis Gus Dur.

Kemudian, ia melanjutkan, “...semua itu harus dilakukan dengan menghormati kesucian hak milik mereka, bukan dengan cara paksaan atau keroyokan. Kalau begitu duduk perkaranya, jelas akses orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun,” jelas Gus Dur.

Melampaui energi kebencian

Namun, harus diakui, muncul keresahan di ruang publik terkait ketimpangan sosial yang terjadi. Ketimpangan itu mengarah pada jarak ekonomi yang terlalu jauh antara pengusaha Tionghoa dan warga di sekitarnya. Ini terjadi dalam skala yang berbeda, mulai dari ranah nasional hingga kabupaten.

Perlu ada komitmen untuk mendapati cara agar komunitas Tionghoa membuka diri bagi komunitas-komunitas yang lain. Membuka ruang interaksi ini tidak hanya pada level selebrasi dan ritual keagamaan, tetapi juga dalam komunikasi keseharian, terutama bagi generasi-generasi muda lintas etnis dan agama.  

Silaturahim antar-komunitas serta interaksi lintas etnis dan agama niscaya akan membuka ruang publik yang lebih luas. Kita harus melampaui energi kebencian dengan membangun interaksi yang sehat dan saling percaya. Kita perlu melampauinya dengan menebar cinta.

Kita harus melampaui energi kebencian dengan saling mengenal, berinteraksi, serta mencipta ruang publik yang bisa mempertemukan pemuda—generasi milenial lintas etnis dan agama—untuk saling belajar. Inilah tantangan bagi masa depan keindonesiaan kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar