Begal
Demokrasi dari Senayan
Ahmad Fanani ; Ketua
Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah
|
JAWA
POS, 15 Februari 2018
PUSAT perhatian publik mengarah ke Senayan setelah
revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
disahkan melalui rapat paripurna yang diwarnai walk out dua fraksi.
UU
tersebut menjadi sorotan terutama lantaran tiga pasal yang ditengarai
menegaskan kekuasaan yang luar biasa menggila bagi anggota dewan. Yakni
tentang kewenangan pemanggilan paksa, pasal penghinaan parlemen, dan hak
imunitas.
Kewenangan
memanggil paksa ada pada pasal 73. Berkat pasal tersebut, DPR berhak
memanggil paksa siapa pun yang mangkir tiga kali berturutturut dari panggilan
parlemen. Bahkan, DPR berhak menyandera mereka yang dipanggil tersebut selama
30 hari dengan melibatkan polisi.
Entah
bagaimana ceritanya pilihan DPR bisa jatuh pada diksi ’’menyandera’.’ Diksi
yang terdengar horor dan jauh dari kesan positif. Kata sandera dalam KBBI
bermakna: seorang yang ditawan sebagai jaminan hingga keinginan penyandera
dituruti. Diksi itu dalam berbagai bentuknya selalu mengarah pada asosiasi
tindakan kekerasan, bahkan kriminal.
Jika
kita mengetikkan kata kunci menyandera pada search engine semacam Google,
yang muncul adalah beragam artikel beraroma kekerasan dan kriminal yang
dilakukan penjahat, gangster, mafia, milisi, atau gerakan separatis.
Sementara
itu, pasal 122 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
untuk mengambil langkah hukum terhadap mereka yang dianggap merendahkan
kehormatan institusi maupun anggota DPR.
Kita
tentu sepakat bahwa marwah serta kehormatan parlemen harus dijaga. Tak ada
yang boleh merendahkan apalagi menghina institusi maupun anggota DPR.
Masalahnya, pasal tersebut berangkat dari logika bahwa seolah tinggi
rendahnya kehormatan DPR ditentukan oleh opini dan kritik dari luar. Padahal,
baik buruknya citra parlemen terletak pada tata laku anggota dan kualitas
produk legislasi. Kritik, dalam berbagai bentuknya, hanyalah respons umpan
balik dari publik yang kecewa atas kinerja parlemen.
Faktanya,
sejauh ini tingkat kepercayaan publik terhadap DPR memang relatif rendah. DPR
nyaris selalu menempati urutan buncit di belakang lembaga negara lain dalam
berbagai survei untuk mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap negara.
Misalnya,
dalam survei yang dirilis Polling Center dan ICW pada pertengahan 2017, DPR
bersama partai politik berada di urutan terbawah dengan tingkat kepercayaan
hanya 51 persen. Jauh di bawah KPK yang menempati urutan teratas dengan
tingkat kepercayaan 86 persen.
Citra
pas-pasan parlemen di mata publik tersebut tentu merupakan akibat tata pikir,
tutur, dan laku anggotanya yang tak jarang mengerdilkan marwah lembaga mereka
sendiri. Rentetan kasus korupsi, akrobat politik seperti yang dipertontonkan
mantan ketuanya, dan manuver pansus adalah sederet contoh yang membuat publik
geram.
Pertanyaannya,
apakah MKD mau dan berani mengambil langkah hukum terhadap anggotanya sendiri
yang perilakunya terang-terang telah merendahkan kehormatan institusi
parlemen tersebut? Melihat catatan kinerjanya, tak sedikit putusan MKD yang
tak bertuah dan relatif mengecewakan.
Masih
segar di ingatan kita berbagai kasus anggota dewan yang sejatinya memalukan,
tetapi tak dijatuhi sanksi yang memadai. Sebutlah kasus papa minta saham,
kasus baku pukul anggota komisi VII, kekerasan anggota dewan kepada asisten
pribadinya, dan sederet kasus lain yang menjatuhkan marwah DPR di mata
publik.
Kontroversi
lain ada pada pasal 245 yang semakin menebalkan imunitas parlemen. Pasal itu
memaksa setiap aparat yang berniat memeriksa anggota dewan dalam kasus pidana
harus mendapat izin presiden dan atas pertimbangan MKD.
Begal
Demokrasi
Perpaduan
imunitas, kewenangan menyandera, dan pasal antikritik itu berpotensi membuat
parlemen tak ubahnya monster buas berwajah seram. Kolaborasi rupa yang
menakutkan dan tabiatnya yang buas membuat mereka terasing, tak ada yang
berani mendekati. Kehadirannya bahkan menimbulkan ketakutan.
Padahal,
sejatinya parlemen adalah lembaga perwakilan. Ia adalah pelantang suara
rakyat yang tak tersurakan. Aspirasi rakyat adalah input yang menjadi basis
utama kinerjanya. Sebagai lembaga perwakilan, semestinya parlemen menjaga
kedekatan dan bahkan menihilkan jarak dengan rakyat yang diwakilinya. DPR
seharusnya memasang wajah seramahramahnya agar rakyat leluasa tanpa sedikit
pun segan untuk menyampaikan kesah dan keluh mereka.
Namun,
UU MD3 yang baru disahkan itu justru berpotensi melahirkan monster berwajah
seram.
DPR
tentu bisa berkilah dengan berbagai dalih canggih karena memang itu salah
satu keahlian utama mereka. Namun, siapa yang bisa menjamin
kewenangan-kewenangan baru tersebut tak disalahgunakan untuk membungkam
kritik?
Hanya
pertimbangan moral-etik saja yang bisa mencegahnya. Sayang, pertimbangan
moral-etik itu telah lama tidak dijadikan parameter dalam keputusan elite
kita. Tampaknya, tidak berlebihan jika banyak yang khawatir bahwa UU MD3
tersebut berpotensi melahirkan begal bagi demokrasi yang sedang kita bangun. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus