Warisan
atau Pinjaman?
Arie Saptaji ; Penulis serabutan; Penggemar tahu gejrot dan dawet ayu;
Tinggal di Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
23 Februari
2018
Siang itu cuaca terik.
Saya meluncur ke Jalan Kaliurang karena ingin membuktikan informasi seorang
teman. Di depan sebuah minimarket, katanya, ada penjual tahu gejrot dan dawet
ayu yang enak. Saya memesan masing-masing empat bungkus untuk dibawa pulang.
Teman saya tidak
berbohong. Tahu gejrotnya pedas segar dan dawet ayu rasa durennya mantap.
Cocok dinikmati di tengah udara panas.
Namun, menyaksikan sampah
plastik belanjaan tersebut, saya diganduli perasaan bersalah.
Tiap porsi tahu gejrot
diwadahi mangkuk plastik, tiap porsi dawet diwadahi gelas plastik, belum lagi
sendok-sendok plastik, dan sepasang tas kresek untuk membawanya. Betul-betul
tidak ramah lingkungan.
Beberapa hari sebelumnya
saya menemukan infografis tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk
proses penguraian beberapa jenis sampah. Tas kresek perlu 10-20 tahun. Sendok
plastik perlu 100-100 tahun. Beberapa jenis sampah --diwakili gambar botol
plastik-- diperkirakan tak bakal terurai. Kecuali kalau kena bom nuklir
barangkali. Ngeri.
Bukan cuma susah terurai,
menurut sebuah artikel di Time, sampah plastik juga merusak perairan,
membuatnya kebak bibit penyakit. Salah satu dampaknya, kerusakan terumbu
karang.
Itu baru satu jenis
sampah. Kalikan dengan beragam sampah yang mencemari alam. Lipat gandakan
dengan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan dari kebanyakan orang.
Bayangkan dampaknya jika berbagai sampah itu terus terakumulasi
bertahun-tahun. Ngeri kuadrat!
Bagaimana kita bisa sedia
payung sebelum hujan --mencegah jauh-jauh hari biar bumi tak rusak kian parah
gara-gara kesembronoan dan ketidakpedulian manusia?
Suku Indian Amerika punya
ucapan bijak, "Kita bukan mewarisi Bumi ini dari nenek moyang kita; kita
meminjamnya dari anak-cucu kita." Kalimat ini kerap digunakan para
aktivis lingkungan untuk menyerukan pentingnya pelestarian alam.
Dalam konteks negara kita,
yang Pancasilais dan ber-Ketuhanan yang Mahaesa, kalimat itu dapat
diselaraskan: "Bumi ini adalah pinjaman atau titipan Tuhan --suatu
amanah-- untuk kita gunakan dan kita pelihara, untuk kita daya gunakan bukan
hanya bagi generasi saat ini, melainkan juga generasi-generasi yang akan
datang sampai akhir zaman."
Yang jelas, kedua hal
tersebut --warisan dan pinjaman-- mengandung perbedaan yang halus, tetapi
sangat tajam. Berlainan beban moralnya.
Warisan menyiratkan bahwa
kitalah sang pemilik. Kita boleh berbuat semaunya atas Bumi ini. Mau kita
keruk mineralnya sambil tandas, mau kita sedot air dan minyaknya sampai
kerontang, mau kita babat hutan pohonnya menjadi hutan beton, mau kita cemari
air, tanah, dan udaranya, siapa peduli?
Bagaimana dengan generasi
berikutnya? Ya, kita tinggalkan dan kita sisakan bagi mereka dalam keadaan
seadanya. Kalau masih baik dan berlimpah, ya syukurlah. Kalau sudah rusak dan
tercemar, ya merekalah yang mesti berusaha memperbaikinya. Memangnya ada
makan siang gratisan?
Sikap yang betul-betul
jahanam. Kita tentu akan memaki jika ada orangtua yang sesontoloyo itu.
Nyatanya, entah dalam dosis rendah entah dosis tinggi, kita sering
memperlakukan Bumi ini dengan sesuka hati tanpa memikirkan dampak masa
depannya, bukan?
Pinjaman atau titipan
mengingatkan bahwa kita ini hanya petugas atau penjaga sementara. Kita
mengelola, merawat, dan memanfaatkan Bumi seperlunya. Pada waktunya kita
mesti mengembalikan bumi ini kepada Sang Pemilik, dan bagi generasi penerus
--dalam keadaan seperti semula, bahkan jika mungkin dalam kondisi lebih baik.
Lain kali kepingin
menikmati tahu gejrot dan dawet ayu lagi, tampaknya saya perlu berpikir
ulang. Mungkin cukup makan di tempat saja. Atau, membawa wadah dari rumah.
Atau, kalau terpaksa membawa pulang wadah plastik, perlulah saya memikirkan
bagaimana bisa mendaur ulang sampahnya.
Ribet ya? Siapa bilang
bertanggung jawab atas barang pinjaman itu tidak repot. Kalau tidak mau repot
ya jangan pinjam.
Perbedaan antara warisan
atau pinjaman ini bukan hanya menyangkut masalah sampah dan lingkungan. Hal
itu juga bisa meluas ke soal sikap hidup dalam berhubungan dengan sesama.
Ketika kita hidup dalam
pertengkaran dan kebencian, misalnya, kita merusak kehidupan yang dipinjamkan
pada kita, dan merampas kesempatan generasi berikutnya untuk menikmati
kebaikan hidup, kesempatan untuk menjalani kehidupan dalam persaudaraan dan
perdamaian. Sebaliknya, ketika kita mengembangkan kebajikan, kita memelihara
kehidupan ini bagi generasi yang akan datang.
Jadi, rupanya saya bukan
hanya perlu mengontrol sampah dan polutan lainnya, tetapi juga sikap dan gaya
hidup yang berpotensi mencemari dan mencekik kesejahteraan lintas generasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar