Peta
Bumi Korupsi
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”; Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Gerakan
Antikorupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Dalam beberapa diskusi sering terlontar
pertanyaan dan pernyataan: mengapa setelah Komisi Pemberantasan Korupsi
gencar melakukan penindakan dan operasi tangkap tangan, korupsi tidak juga
berkurang? Bahkan, tak sedikit yang berpendapat, KPK gagal meredam korupsi
karena tindak kejahatan kemanusiaan itu tetap berlangsung masif.
Pernyataan itu bukan saja tidak relevan,
melainkan juga mengingkari das sein dan das sollen sistem pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tujuh argumen
untuk mematahkan pernyataan tersebut.
Pertama, payung hukum pemberantasan korupsi
tak memadai. Indonesia telah meratifikasi UN Convention Against Corruption
(UNCAC), tetapi banyak klausul korupsi yang belum terjamah dalam UU
Antikorupsi. Misalnya: penyogokan kepada pegawai asing dan swasta,
penggelapan di sektor swasta, pencucian dan penyembunyian hasil korupsi,
serta praktik-praktik memengaruhi proses peradilan. Selain itu, swasta
nasional, lembaga swasta internasional, dan organisasi nonprofit di Indonesia
juga belum terjangkau UU Antikorupsi.
Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi transaksi mencurigakan senilai Rp 747
triliun pada 228 rekening bank dan lembaga keuangan milik 19 orang yang
diduga merupakan kegiatan pencucian uang dari hasil korupsi dan praktik
ilegal lainnya. UNCAC menyebut, pencucian uang hasil kegiatan ilegal
(korupsi, narkoba, perdagangan manusia, penjarahan bangkai kapal, dan
lain-lain) merupakan kejahatan transnasional yang merongrong banyak negara.
Kedua, dukungan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif lemah dan sering kali justru menihilkan pemberantasan korupsi.
Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran belum sepenuhnya
mengakomodasi skema anti-fraud. Legislatif acap kali berupaya memperlemah
KPK. Putusan pengadilan atas terpidana korupsi tergolong sangat rendah,
rata-rata kurang dari tiga tahun (ICW, 2017).
Ketiga, Pakta Integritas tak mengejawantah
dalam operasi seluruh siklus penganggaran. Perencanaan masih membuka celah
penyimpangan. Selain peran pengawasan internal lemah, target belanja lebih
fokus pada keberhasilan serapan anggaran, bukan manfaat dan utilitas program.
Gerakan Antikorupsi (GAK) Lintas Perguruan
Tinggi kepada KPK tegas menyimpulkan bahwa megakorupsi KTP elektronik bisa
disebut sebagai contoh paling jelas desain perencanaan yang disengaja gagal.
Kegunaan dan spesifikasi KTP-el cuma setara tiket pesawat atau kereta api,
tak aman, dan akan terus menguras keuangan negara. Kapasitas memori rendah
dan tidak open platform, membuat KTP-el tidak kompatibel bagi penyempurnaan
aplikasi lebih lanjut untuk berbagai keperluan, seperti perpajakan, pendataan
pemilu, subsidi dan bantuan untuk kaum miskin, serta aneka kepentingan
berbasis data kependudukan yang aman, sahih, dan valid.
Keempat, jangkauan operasi KPK sangat
terbatas. Sampai akhir 2017, jumlah penyelidik KPK 56 orang dan penyidik
hanya 93 orang (45 penyidik tetap serta 48 penyidik ”pinjaman” Polri dan
kejaksaan), penuntut umum 83 orang. Bandingkan dengan puluhan ribu aparat
penyelidik dan penyidik pada institusi kepolisian dan kejaksaan dengan
jaringan organisasi sampai tingkat kabupaten/kota. Perbedaan itu makin
mencolok dengan mencermati alokasi anggaran untuk ketiga institusi penegak
hukum itu. Pada APBN 2018, anggaran untuk kepolisian mencapai Rp 95 triliun
dan kejaksaan Rp 6,4 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 790 miliar.
Kelima, sistem politik dan model demokrasi
memberikan peluang besar terjadinya korupsi. Praktik politik uang telah
membudaya sehingga membentuk korupsi sistemik. Sangat jelas, ratusan pejabat
eksekutif dan legislatif yang terjaring KPK adalah produk dari sistem politik
korup.
Keenam, budaya permisif dalam bentuk
suap-menyuap terus berjangkit dan belum diterapi secara efektif. Program e-budgeting
semestinya terintegrasi dengan e-controlling agar transaksi tunai dan di
”bawah tangan” dapat semakin dikurangi.
Ketujuh, melembaganya model penunjukan
pemimpin direksi atau komisaris BUMN atas dasar kepentingan politik yang
mengabaikan aspek kapabilitas dan kepatutan. Model ini awet pada setiap
rezim, mengakibatkan banyak praktik salah kelola yang merugikan
rakyat/keuangan negara.
Dampak korupsi
Meski terus membaik, indeks korupsi di
Indonesia stabil rendah karena pemberantasan masih terbatas pada korupsi di
birokrasi. Padahal, korupsi di birokrasi hanya gejala atas praktik korupsi
yang lebih luas di kancah politik, hukum, dan bisnis. Demikian pula kendati
kampanye dan penindakan terhadap pelaku korupsi belum pernah segencar
sekarang, banyak sektor yang belum tersentuh. Mengenali, memetakan, serta
kemudian menyusun peta jalan pencegahan dan pemberantasan yang lebih mangkus
dan sangkil merupakan keniscayaan.
Hasil riset UNCAC di seluruh dunia
menyebutkan, korupsi berkorelasi positif dengan ketimpangan, pengangguran,
dan suburnya konflik. Sebaliknya, korupsi berkorelasi negatif dengan
pertumbuhan ekonomi, pembangunan kualitas penduduk, demokrasi, dan investasi.
Kerusakan yang ditimbulkan melemahkan peran
negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyat. Korupsi membebani
generasi sekarang dan generasi mendatang. Ketika tingkat demokrasi masih
rendah, korupsi cenderung tinggi.
Dari laporan kinerja KPK sepanjang 2017,
terdapat 114 kasus korupsi yang diselidiki, 94 kasus berujung penuntutan dan
76 kasus di antaranya telah dieksekusi. Dengan jumlah kasus yang dilaporkan
masyarakat ke KPK sedemikian banyaknya (sekitar 6.000 kasus dugaan korupsi
sepanjang 2017), tampak bahwa kapasitas dan anggaran KPK tidak memadai.
Keterbatasan KPK ini semestinya mendorong
kepolisian dan kejaksaan segera berbenah dan turut aktif memerangi korupsi.
Tentu saja, keraguan atas integritas kedua institusi hukum itu perlu
ditangani dulu secara cermat dan terukur agar tidak menimbulkan komplikasi
dan ekses kontraproduktif seperti pernah terjadi di masa lalu.
Rasa keadilan
Praktik korupsi yang terus merajalela
pasca-Reformasi membawa tiga petunjuk penting. Pertama, peta persoalan dan
daya rusak korupsi tidak dipahami secara komprehensif sehingga pencegahan dan
pemberantasan korupsi terpaku dan semata bersandarkan pada hukum dan
ketentuan yang berlaku. Kekosongan hukum dalam pembuktian terbalik, illicit
enrichment, dan deteksi awal penyalahgunaan kekuasaan, mengakibatkan praktik
korupsi terus mencari celah. Rasa keadilan semakin menjauh karena penegakan
hukum lemah dan gagal memberikan pelajaran serius kepada semua pihak.
Kedua, negara tidak cukup hadir dalam krisis
ini dengan menyatakan dan mengejawantahkan ”darurat korupsi” melalui tindakan
dan saksi tegas, terutama untuk memastikan berfungsinya efek jera dan
pendayagunaan pengawasan internal. Reformasi birokrasi belum dapat meletakkan
serta mewujudkan norma dasar dan adab melalui penegakan etika terukur dan
dipatuhi semua pejabat publik.
Ketiga, sistem politik dan desentralisasi
kekuasaan tak dilengkapi mekanisme andal untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang sehingga korupsi merebak di semua daerah. Pola perekrutan kepala
daerah yang didominasi partai dan menihilkan peran serta publik menyuburkan
transaksi dan kontrak politik yang tidak memihak kepentingan rakyat.
Ketiga petunjuk itu seharusnya mendorong
revitalisasi hukum dan peta jalan baru agar pencegahan dan pemberantasan
korupsi jadi gerakan terstruktur serta meyakinkan bahwa, di masa depan,
tindak kejahatan kemanusiaan tersebut akan semakin berkurang. Diseminasi
nilai-nilai antikorupsi seharusnya ditanamkan sedari dini agar generasi
mendatang punya kepekaan dan kesadaran memeranginya.
Martabat bangsa ini sangat ditentukan oleh
bagaimana sikap dan ketegasan moralnya terhadap korupsi. Presiden Filipina
Rodrigo Roa Duterte saat berpidato memperingati setahun masa pemerintahannya,
24 Juli 2017, menyatakan perang total melawan korupsi: unexplained wealth
means unexplained died. Tidak perlu ada penjelasan atas vonis hukuman mati
untuk aparat negara yang memiliki kekayaan tidak wajar dan tak dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam hubungan ini, berikut pesan Bung Karno
pada Kongres Persatuan Pamong Desa, 12 Mei 1964: ”Ada orang kaya, punya auto
Impala, Mercedes, rumah, harta, dan gedungnya banyak. Kakinya tidak pernah
menginjak ubin melainkan permadani indah. Tapi orang yang demikian (kaya
karena korupsi) itu pengkhianat rakyat dan bangsa. Orang itu sangat rendah di
mata Tuhan Yang Maha Esa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar