Masih
Percaya Partai Politik?
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 Februari
2018
Ada realitas politik yang tidak mudah
dijelaskan oleh pikiran sehat. Ketika kasus korupsi terus membelit politikus,
terutama para pemimpin di daerah, politikus di parlemen justru sedang
membangun kekuasaan yang lebih powerful.
Keputusan DPR merevisi Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) membuktikan bahwa
mereka lebih memikirkan diri sendiri, bukan memikirkan rakyat yang memberikan
mandat kekuasaan kepada mereka. Revisi undang-undang tersebut membuktikan
upaya para politikus menyiapkan tameng pelindung agar mereka kebal dari
berbagai serangan.
Selama ini, DPR memang menjadi samsak yang
dipukuli berbagai pihak. Politikus yang korup juga disasar dan diintai Komisi
Pemberantasan Korupsi. Mengapa? Karena telah menjadi rahasia umum bahwa DPR
merupakan salah satu ladang suburnya korupsi.
Dari DPR, sejak lama mencuat kasus-kasus
korupsi. Paling terngiang adalah kasus korupsi kartu tanda penduduk
elektronik (KTP-el) yang sangat dramatik. Kasus inilah yang membuat Ketua DPR
Setya Novanto terpental dari kursi tertingginya di lembaga legislatif itu.
Hari-hari
ini, persidangan kasus KTP-el terus bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Nama-nama besar terus terungkap, membuat ketar-ketir pembesar atau mantan
pembesar negeri ini.
Kalau mau sekadar mengingat kembali
kasus-kasus korupsi yang muncul dari DPR, publik pasti takkan lupa dengan
kasus korupsi seperti proyek Wisma Atlet SEA Games, kasus korupsi kuota impor
daging, dan kasus korupsi proyek pusat olahraga Hambalang.
Begitu pula dengan kasus korupsi Dana
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah, kasus korupsi anggaran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kasus korupsi alih fungsi hutan
lindung di Riau, kasus korupsi cek perjalanan pemilihan Dewan Gubernur Senior
BI, hingga kasus korupsi proyek infrastruktur di wilayah Indonesia timur.
Dari daftar kasus-kasus korupsi tersebut,
terlihat bahwa DPR begitu rapuh. DPR telah kehilangan antibodi sehingga tak
mampu menangkal kanker korupsi.
Sepanjang kasus korupsi merajalela, tidak
terlihat gerakan yang sangat signifikan dari parpol untuk benar-benar
memberantas korupsi. Padahal, semua parpol berkampanye mengumandangkan sikap
antikorupsi. Bahkan, kasus-kasus korupsi justru melibatkan para politikus
parpol.
Namun, begitu ada politikus yang ditangkap
KPK, parpol akan berkelit di balik kata: ”oknum”. Dan, parpol akan bersikap
tegas setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap.
Padahal, yang dibutuhkan untuk membersihkan
negeri ini adalah tindakan parpol untuk mencegah korupsi. Pencegahan bukan
sekadar jargon, kampanye, atau sekadar penandatanganan fakta integritas. Parpol
seharusnya bisa membuat gerakan lebih riil dalam pendidikan politik ataupun
realitas kebijakan politik.
Contoh paling gampang adalah apa yang
dinamakan ”mahar politik” atau kontribusi buat parpol. Sudah biasa terdengar
di arena politik bahwa ”tidak ada makan siang gratis”. Politik uang pun
menjadi marak.
Seorang politikus yang akan bertarung dalam
pilkada, misalnya, akan dimintai mahar politik. Ada yang mengatakan sebagai
”uang kendaraan” karena cuma kendaraan parpol yang dapat merekomendasikan
calon untuk bisa bertarung di arena pilkada atau pilpres.
Baru-baru ini, ocehan La Nyalla Mattalitti
terkait permintaan uang Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo
Subianto untuk maju sebagai calon gubernur di Pilkada Jawa Timur 2018 bikin
heboh. Namun, kasus ini cuma bikin gaduh, tiada kelanjutannya.
Begitu juga tudingan Siswandi kepada PKS
yang tidak menyanggupi permintaan mahar politik sehingga dia gagal maju
sebagai calon wali kota Cirebon pada pilkada 2018. Kasus tersebut kemudian
dihentikan Panwaslu Kota Cirebon, dengan alasan belum adanya transaksi mahar
politik.
Faktanya, beberapa kepala daerah yang
ditangkap KPK sejak awal 2018 juga tak lepas dari perhelatan politik.
Rata-rata, mereka mencalonkan diri kembali pada pilkada 2018. Mereka diduga
ada kaitan dengan biaya politik yang amat mahal.
Memang tidak mudah menyelesaikan kasus
politik uang. Saya selalu mengibaratkan politik uang itu mirip—maaf—kentut,
tidak terlihat dan teraba dan sulit dibuktikan, tetapi baunya terasa ke
mana-mana (Kompas, 13/1).
Apalagi jika pendekatannya post factum.
Padahal, dalam konteks kekuasaan, niat atau omongan verbal pun bisa menjadi
pertanda kekuasaan. Makanya dalam politik, penting sekali yang namanya
political will. Tanpa itu, mungkin tiada praksis atau kebijakan yang dibuat.
Dalam konteks kekuasaan, bahkan tanpa
isyarat apa pun, dapat memperlihatkan penyelenggaraan kekuasaan (exercise of
power) yang oleh ilmuwan politik Carl Friedrich (1901-1984) disebut sebagai
the rule of anticipated reactions (Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, 1994).
Jadi, kekuasaan itu tidak mesti manifes
seperti perintah, permintaan, atau ancaman, tetapi juga dapat bersifat
implisit. Kalau cara pandang di politik mengesampingkan pertanda yang
implisit, dengan sangat menyesal kita pesimistis memandang keseriusan para
politikus dan parpol dalam memberantas korupsi.
Ironisnya lagi, malah pikiran aneh dari
sejumlah politikus di DPR yang menyalahkan KPK ketika korupsi merajalela. KPK
dianggap gagal dalam pencegahan pemberantasan korupsi. Inilah anehnya, ketika
ada kotoran di dalam rumah kita, malah tetangga yang dipersalahkan.
Bahkan, beberapa kali serangan balik kepada
KPK menjadi ancaman nyata. Terakhir adalah pembentukan Panitia Khusus Angket
DPR terhadap KPK pada Mei 2017. Pada awalnya, Pansus begitu ”galak” termasuk
dalam kembali mewacanakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK. Adu kekuatan diperlihatkan.
Bahkan sempat muncul ancaman pembekuan
anggaran KPK dan Polri setelah Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menolak
memanggil paksa Miryam S Haryani—yang ditahan KPK—ke sidang Pansus.
Seiring perjalanan waktu, sikap DPR mulai
melunak. Terlebih lagi sejak terjadi reorganisasi di Partai Golkar setelah
penahanan Setya Novanto. Namun, Golkar sempat dikenal sebagai motor Pansus
Angket KPK meski sebenarnya merupakan partai pendukung pemerintah.
Kasus-kasus korupsi pada akhirnya membuat
citra DPR terjerembap di kubangan lumpur. Ditambah lagi dengan kinerja DPR
juga setiap tahun dinilai jeblok. Paling sederhana, lihat saja kinerja
legislasi.
Kasus-kasus korupsi pada akhirnya membuat
citra DPR terjerembap di kubangan lumpur.
Tahun 2014, misalnya, ketika gaduh berebut
kursi setelah Pemilu dan Pilpres 2014, DPR hanya menuntaskan satu RUU, yang
bukan program legislasi nasional (prolegnas). Pada tahun 2015, mereka pasang
target 40 RUU prolegnas, tetapi hanya 3 RUU yang rampung, selebihnya
kumulatif terbuka.
Tahun 2016, DPR hanya mampu menyelesaikan 10
RUU prolegnas, padahal targetnya 50 RUU. Tahun 2017, hanya disahkan 6 RUU
dari 50 RUU prolegnas prioritas.
Target legislasi DPR, setiap tahun selalu
berutang, dan tak terlunasi. Barangkali, DPR hanya jago dalam fungsi
pengawasan, dalam arti kata: kritik keras terhadap pemerintah.
Anehnya, mereka yang ”tukang kritik” itu
enggan dikritik. Padahal, kritik rakyat tidak akan merendahkan martabat DPR
(seperti revisi UU MD3 Pasal 122), kecuali DPR sendiri yang memang gagal
menjaga martabat dan marwahnya.
Upaya DPR untuk memanggil paksa orang dengan
tangan kepolisian (seperti revisi Pasal 73) pun rasanya sudah melenceng dari
peran dan fungsi-fungsi legislatif. DPR adalah perwakilan rakyat. DPR bekerja
atas mandat dari rakyat. Karena itu, jangan jaga jarak dengan rakyat. Rakyat
bukan untuk ditakuti, tetapi menjadi tugas DPR untuk melayani pemberi mandat
kuasa tersebut.
Gagal memahami imajinasi politik
Kinerja DPR dan sepak terjang parpol selama
ini membuat parpol mengalami krisis kepercayaan. Survei Litbang Kompas pada
Oktober 2017 menunjukkan, hanya 47,2 persen responden (kurang dari
setengahnya) yang memandang positif parpol.
Hal itu mirip terjadi di Australia sekitar
dua tahun lalu. Di Australia, pada 2016, citra partai politik dan politikus
juga buruk. Kepercayaan publik Australia kepada politikus bahkan berada pada
titik terendah dalam dua dekade (abc.net.au, 24/6/2016). ”Bagi banyak orang
Australia, partai politik gagal menangkap imajinasi politik,” kata Mark
Evans, pemimpin penelitian tersebut.
Nah, di tengah citra partai politik yang
tidak menggembirakan tersebut, rupanya terus muncul kegairahan berdemokrasi.
Minggu lalu, KPU telah menetapkan 14 parpol lolos verifikasi dan menjadi
peserta Pilpres 2019.
Ke-14 parpol tersebut adalah PKB (nomor
urut 1), Partai Gerindra (2), PDI-P (3), Partai Golkar (4), Partai Nasdem (5),
Partai Garuda (6), Partai Berkarya (7), PKS (8), Perindo (9), PPP (10), PSI
(11), PAN (12), Partai Hanura (13), dan Partai Demokrat (14).
Dalam daftar itu, ada empat parpol baru,
yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Perindo, dan Partai
Garuda. Dua parpol lain dinyatakan tak lolos, yaitu Partai Bulan Bintang
(PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). PBB langsung saja
melakukan gugatan sengketa di Bawaslu.
Kegairahan berdemokrasi itu selayaknya
disambut positif. Apalagi, diharapkan mereka bisa mereformasi diri serta
membuang keburukan yang menempel di tubuh parpol.
Kehadiran parpol baru seharusnya juga
menjadi ”suntikan baru” bagi demokrasi dan gairah berpolitik di negeri ini.
Bukan justru ikut terlena dalam buaian melanggengkan perilaku buruk, apalagi
sampai membangkitkan cara-cara lama yang tidak demokratis.
Kehadiran parpol baru seharusnya juga
menjadi ’suntikan baru’ bagi demokrasi dan gairah berpolitik di negeri ini.
Saatnya parpol berubah. Tidak ada pilihan lain.
Peran parpol menjadi krusial terutama ketika negeri ini akan memasuki siklus
20 tahun—yang kerap dipercaya terjadinya perubahan sosial politik—kedua
pasca-Reformasi. Harapannya, mereka dapat memahami imajinasi politik yang
disuarakan publik.
Namun, ada pertanyaan yang menggelitik.
Apakah parpol masih dapat dipercaya? Sungguh, pertanyaan ini sangat sulit
dicari jawabannya. Padahal, dalam sistem demokrasi, eksistensi parpol tidak
bisa ditolak. Ia bagian inheren dalam politik modern. Sebab, parpol adalah
salah satu sarana dalam partisipasi politik.
Dalam teks politik klasik, parpol juga
berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik,
sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Lalu, dahi kembali
berkerut ketika menyaksikan parpol di negeri ini banyak menghasilkan kader
korup hingga gagal merekrut kader atau pemimpin yang bersih.
Parpol juga lebih banyak menimbulkan
konflik yang membuat gaduh politik daripada sebagai pengatur dan penuntas
konflik. Ketika parpol membiarkan kadernya mengancam rakyat yang mengkritisi
mereka, maka itulah praktik politik yang memuakkan dan memalukan.
Jadi, masih tetap percaya kepada parpol?
Nah, jawabannya harus dibuktikan oleh parpol dan para politikus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar