Kegilaan
Politik
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Pada zaman Renaisans (abad ke-14 hingga abad
ke-17), kewarasan dan kegilaan tiada berjarak. Penalaran dan kegilaan berada
pada bahasa dan ruang yang sama, apalagi ketika kegilaan dianggap sebagai
kebebasan imajinasi. Namun, pasca-Renaisans, kegilaan dan rasionalitas mulai
berjarak. Kegilaan dipisahkan dari kewarasan, disingkirkan dari masyarakat.
Orang gila yang tidak rasional pun dibelenggu di dalam kerangkeng besi,
mengalami malam-malam yang monoton. Ada dialog yang terputus antara kewarasan
dan kegilaan. Itulah yang dilukiskan filsuf Michel Foucault (1926-1984)
sebagai muasal penaklukan rasio terhadap kegilaan.
Kekuasaan orang waras terhadap orang gila
yang diungkapkan Foucault itu tiba-tiba menyelinap di pikiran ketika
akhir-akhir ini sejumlah kekerasan melibatkan orang gila. Sejak akhir
Januari, kabar tak sedap yang meresahkan ketika sejumlah pemuka agama,
seperti kiai dan ustaz, menjadi korban penyerangan, juga pastor dan gereja.
Sebagian besar pelaku penyerangan diidentifikasi sebagai orang gila. Bahkan,
PPP yang membentuk tim pencari fakta mengemukakan bahwa, dari 20 penyerang,
sebanyak 15 orang di antaranya adalah orang gila.
Di situlah persoalannya. Mengapa orang gila
tiba-tiba melakukan penyerangan? Mengapa waktunya terjadi secara simultan dan
koinsiden? Inilah yang membuat orang berpikir macam-macam karena modusnya
mirip. Melihat gelagatnya, peristiwa-peristiwa tersebut bukan sebuah
kebetulan. Pikiran spekulatif mendorong pada kesimpulan: ada sebuah skenario
dari rangkaian peristiwa tersebut. Agak mustahil orang gila melakukan
tindakan sama ”secara kebetulan”. Apalagi, kalau membaca Foucault, orang gila
itu berada dalam kekuasaan orang-orang waras.
Justru yang lebih gila lagi adalah informasi
tentang peristiwa-peristiwa tragis itu. Di zaman kasak-kusuk modern dengan
medium media sosial saat ini, transmisi informasi bahkan lebih banyak ”bunga-bunganya”.
Informasi keliru atau hoaks semakin mengkhawatirkan. Misalnya soal jumlah
kasus saja. Menurut catatan kepolisian, informasi yang tersebar justru banyak
hoaksnya. ”Di Jawa Barat dikabarkan ada 13 kasus penyerangan terhadap pemuka
agama, tetapi setelah ditelusuri hanya ada dua. Yang 11 hoaks. Di Jawa Timur
hanya ada dua. Lebih banyak adalah hoaks,” ujar Wakil Kapolri Komisaris
Jenderal Syafruddin saat bertemu ulama di Masjid Polda Jawa Timur di Surabaya
pada 21 Februari lalu.
Penyebaran hoaks menjadi bentuk ”kegilaan”
zaman sekarang. Sungguh aneh, orang waras melakukan tindakan gila, seperti
menyebarkan hoaks, yang justru tidak dilakukan orang gila. Bahkan, ”kegilaan”
sekarang telah menjadi situasi ”normal” di politik. Arena politik terlalu sumpek
dengan perilaku-perilaku menyebalkan yang tidak memperlihatkan kewarasan
berpolitik. Paling jelas adalah perilaku koruptif. Teringat penggalan puisi
Yudhistira ANM Massardi: Kegilaan masih bertingkah di Senayan/Korupsi masih
jadi ideologi paling sexy/Koruptor masih jadi aktor paling sohor/Merekalah
pemenang sejati democrazy. Bentuk-bentuk lain ”kegilaan politik” antara lain
adalah maraknya kekerasan verbal, saling menghujat, menyebar kebencian, suka
menyalahkan orang lain, bahkan suka mencela keberhasilan orang lain tanpa
bisa menunjukkan keberhasilan diri sendiri. ”Kita percaya berbuat salah
adalah manusiawi. Menyalahkan orang lain, itulah politik,” kata Hubert
Humphrey, Wakil Presiden Amerika Serikat ke-38 (1965-1969).
Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa
Ketua PBNU Robikin Emhas, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (22/2),
mengatakan, revisi UU MD3 yang menuai kontroversi di masyarakat adalah bentuk
kegilaan politik. Ia menilai, jika hal itu sengaja didesain, yang mendesain
adalah pihak-pihak yang gila (nu.or.id, 22/2). Sebetulnya wajar DPR membangun
benteng atas dirinya untuk memastikan dapat bekerja sesuai tanggung jawabnya,
tetapi bentengnya itu kelebihan dosis.
Jikalau di panggung politik begitu subur
kegilaan-kegilaan dipertontonkan, terutama di tingkat elite, maka dalam
budaya masyarakat yang patrimonial akan terasa di akar rumpur. Pertarungan di
tingkat elite akan berpindah (diikuti) di masyarakat bawah. Ketika situasi
abnormal dan absurd terjadi di akar rumput, itu bukan hal yang mengherankan
karena di tingkat atas juga terlalu sering mempertontonkan adegan kegilaan
politik. Client hampir selalu meniru perilaku patron.
Lalu, apakah kegilaan politik termasuk
penyerangan orang gila itu merupakan bagian dari skenario? Di politik selalu
ada agenda tersembunyi sekaligus dalang yang selalu memainkan wayang. Karena
itu, tak heran, kasus penyerangan terhadap pemuka agama akhir-akhir ini
mengingatkan pada tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi pada awal
1998. Banyak yang percaya peristiwa itu sebagai desain politik oleh kekuatan
tersembunyi meskipun tidak pernah terungkap hingga sekarang. Namun, orang
mengingat pembantaian berdalih dukun santet (yang sebetulnya guru mengaji)
itu menjadi prolog sebelum perubahan politik tahun 1998 ketika rezim Orde
Baru tumbang. Apakah kegilaan dan kasus orang gila saat ini juga prolog
Pilpres 2019 sekaligus siklus perubahan politik 20-an tahun? Entahlah, karena
tidak mudah membaca kegilaan politik orang-orang waras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar