Minggu, 25 Februari 2018

Kegilaan Politik

Kegilaan Politik
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2018



                                                           
Pada zaman Renaisans (abad ke-14 hingga abad ke-17), kewarasan dan kegilaan tiada berjarak. Penalaran dan kegilaan berada pada bahasa dan ruang yang sama, apalagi ketika kegilaan dianggap sebagai kebebasan imajinasi. Namun, pasca-Renaisans, kegilaan dan rasionalitas mulai berjarak. Kegilaan dipisahkan dari kewarasan, disingkirkan dari masyarakat. Orang gila yang tidak rasional pun dibelenggu di dalam kerangkeng besi, mengalami malam-malam yang monoton. Ada dialog yang terputus antara kewarasan dan kegilaan. Itulah yang dilukiskan filsuf Michel Foucault (1926-1984) sebagai muasal penaklukan rasio terhadap kegilaan.

Kekuasaan orang waras terhadap orang gila yang diungkapkan Foucault itu tiba-tiba menyelinap di pikiran ketika akhir-akhir ini sejumlah kekerasan melibatkan orang gila. Sejak akhir Januari, kabar tak sedap yang meresahkan ketika sejumlah pemuka agama, seperti kiai dan ustaz, menjadi korban penyerangan, juga pastor dan gereja. Sebagian besar pelaku penyerangan diidentifikasi sebagai orang gila. Bahkan, PPP yang membentuk tim pencari fakta mengemukakan bahwa, dari 20 penyerang, sebanyak 15 orang di antaranya adalah orang gila.

Di situlah persoalannya. Mengapa orang gila tiba-tiba melakukan penyerangan? Mengapa waktunya terjadi secara simultan dan koinsiden? Inilah yang membuat orang berpikir macam-macam karena modusnya mirip. Melihat gelagatnya, peristiwa-peristiwa tersebut bukan sebuah kebetulan. Pikiran spekulatif mendorong pada kesimpulan: ada sebuah skenario dari rangkaian peristiwa tersebut. Agak mustahil orang gila melakukan tindakan sama ”secara kebetulan”. Apalagi, kalau membaca Foucault, orang gila itu berada dalam kekuasaan orang-orang waras.

Justru yang lebih gila lagi adalah informasi tentang peristiwa-peristiwa tragis itu. Di zaman kasak-kusuk modern dengan medium media sosial saat ini, transmisi informasi bahkan lebih banyak ”bunga-bunganya”. Informasi keliru atau hoaks semakin mengkhawatirkan. Misalnya soal jumlah kasus saja. Menurut catatan kepolisian, informasi yang tersebar justru banyak hoaksnya. ”Di Jawa Barat dikabarkan ada 13 kasus penyerangan terhadap pemuka agama, tetapi setelah ditelusuri hanya ada dua. Yang 11 hoaks. Di Jawa Timur hanya ada dua. Lebih banyak adalah hoaks,” ujar Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafruddin saat bertemu ulama di Masjid Polda Jawa Timur di Surabaya pada 21 Februari lalu.

Penyebaran hoaks menjadi bentuk ”kegilaan” zaman sekarang. Sungguh aneh, orang waras melakukan tindakan gila, seperti menyebarkan hoaks, yang justru tidak dilakukan orang gila. Bahkan, ”kegilaan” sekarang telah menjadi situasi ”normal” di politik. Arena politik terlalu sumpek dengan perilaku-perilaku menyebalkan yang tidak memperlihatkan kewarasan berpolitik. Paling jelas adalah perilaku koruptif. Teringat penggalan puisi Yudhistira ANM Massardi: Kegilaan masih bertingkah di Senayan/Korupsi masih jadi ideologi paling sexy/Koruptor masih jadi aktor paling sohor/Merekalah pemenang sejati democrazy. Bentuk-bentuk lain ”kegilaan politik” antara lain adalah maraknya kekerasan verbal, saling menghujat, menyebar kebencian, suka menyalahkan orang lain, bahkan suka mencela keberhasilan orang lain tanpa bisa menunjukkan keberhasilan diri sendiri. ”Kita percaya berbuat salah adalah manusiawi. Menyalahkan orang lain, itulah politik,” kata Hubert Humphrey, Wakil Presiden Amerika Serikat ke-38 (1965-1969).

Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Ketua PBNU Robikin Emhas, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (22/2), mengatakan, revisi UU MD3 yang menuai kontroversi di masyarakat adalah bentuk kegilaan politik. Ia menilai, jika hal itu sengaja didesain, yang mendesain adalah pihak-pihak yang gila (nu.or.id, 22/2). Sebetulnya wajar DPR membangun benteng atas dirinya untuk memastikan dapat bekerja sesuai tanggung jawabnya, tetapi bentengnya itu kelebihan dosis.

Jikalau di panggung politik begitu subur kegilaan-kegilaan dipertontonkan, terutama di tingkat elite, maka dalam budaya masyarakat yang patrimonial akan terasa di akar rumpur. Pertarungan di tingkat elite akan berpindah (diikuti) di masyarakat bawah. Ketika situasi abnormal dan absurd terjadi di akar rumput, itu bukan hal yang mengherankan karena di tingkat atas juga terlalu sering mempertontonkan adegan kegilaan politik. Client hampir selalu meniru perilaku patron.

Lalu, apakah kegilaan politik termasuk penyerangan orang gila itu merupakan bagian dari skenario? Di politik selalu ada agenda tersembunyi sekaligus dalang yang selalu memainkan wayang. Karena itu, tak heran, kasus penyerangan terhadap pemuka agama akhir-akhir ini mengingatkan pada tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi pada awal 1998. Banyak yang percaya peristiwa itu sebagai desain politik oleh kekuatan tersembunyi meskipun tidak pernah terungkap hingga sekarang. Namun, orang mengingat pembantaian berdalih dukun santet (yang sebetulnya guru mengaji) itu menjadi prolog sebelum perubahan politik tahun 1998 ketika rezim Orde Baru tumbang. Apakah kegilaan dan kasus orang gila saat ini juga prolog Pilpres 2019 sekaligus siklus perubahan politik 20-an tahun? Entahlah, karena tidak mudah membaca kegilaan politik orang-orang waras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar