Senin, 26 Februari 2018

TK dan Pelajaran Membaca

TK dan Pelajaran Membaca
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                KOMPAS.COM, 15 Februari 2018



                                                           
Tahun 2007 saya pulang ke Indonesia, setelah 10 tahun tinggal di Jepang. Waktu itu anak saya dua. Anak pertama saya usia 5 tahun, sempat menikmati TK di Jepang. Adiknya baru 2 tahun. Anak pertama saya masukkan ke TK Islam di dekat rumah.

Ada perdebatan kecil dengan pengelola TK saat saya daftarkan anak saya. “Anak Bapak sudah tertinggal jauh dari teman-temannya,” kata guru TK.

“Tertinggal apa?”

“Pelajaran, Pak. Hafalan doa dan surat pendek. Sulit dia mengejar ketertinggalan.”

“Oh, biar saja. Tidak masalah. Anak saya tidak hafal pun tidak masalah.”

“Nanti rapornya jelek, Pak.”

“Tidak apa-apa, Bu. Anak saya tidak diberi rapor juga tidak masalah. Saya tidak butuh rapor. Yang penting dia bisa berteman dan bermain.”

Akhirnya anak saya masuk. Kami tidak pernah meributkan soal hafalan dan rapornya. Selesai TK, dia masuk SD, sekarang sudah kelas 1 SMA.

Anak kedua kami masuk TK umum 3 tahun berikutnya. Kali ini tuntutan guru bukan soal hafalan, tapi soal pelajaran dan PR. “Kemajuan pelajaran anak Bapak lambat,” kata gurunya lapor.

“Pelajaran apa sih? Kan masih TK.”

“Ya, tapi sudah harus mulai belajar, Pak.”

“Tidak perlu. Tidak usah. Biar anak-anak main saja. Saya tidak keberatan kalau rapor anak saya jelek.”

Waktu itu sudah ada orang tua yang memberi anaknya les tambahan, agar anaknya bisa membaca. Gila!

Setiap semester guru anak saya selalu mengulang hal yang sama. Saya tidak pedulikan. Mereka khawatir soal anak saya saat masuk SD. Kenyataannya biasa saja. Dalam waktu singkat dia bisa belajar membaca.

Anak ketiga saya masuk TK yang sama, karena tidak ada lagi pilihan lain. Cerita yang sama berulang.

Saya kembali tegaskan, anak saya tidak perlu terlalu serius belajar membaca. Dia tidak bisa juga saya tidak anggap masalah. Dia juga masuk SD. Kebetulan waktu masuk SD juga tidak ada syarat harus bisa membaca.

Bagaimana kalau SD menetapkan syarat itu? Jangan masukkan anak ke sekolah itu. Itu sekolah sesat. Anak Anda akan dididik secara salah di situ. Carilah sekolah lain.

Apakah tidak khawatir anak kita akan tertinggal kalau tidak bisa membaca? Banyak SD yang meski tidak menetapkan syarat bisa membaca untuk masuk, tapi kemudian ngebut dengan materi pelajaran, berbasis asumsi bahwa anak-anak sudah bisa membaca. Jadi, bagaimana?

Tertinggal apa, sih? Anak kita itu baru SD, kelas satu pula. Anak punya tahapan perkembangan yang unik. Ada yang cepat, ada yang lambat. Kenapa ia harus dipaksa mengikuti standar anak lain?

Banyak orang tua yang gila rapor. Anak-anak diukur dengan angka-angka di atas kertas tes dan rapor. Orang tua stres kalau nilai anaknya rendah. Lalu anak ditekan dengan berbagai jenis pelajaran dan les, sampai mereka stres juga.

Pak, Bu, itu anakmu baru kelas 1 SD. Bukan besok dia mau cari kerja. Ada banyak kasus, anak yang lambat saat kelas 1-3, kelak melejit. Sebaliknya ada yang bagus kelas-kelas awal, tapi saat besar melempem.

Jangan panik dan kalap dengan nilai rapor. Kenali anak Anda, kenali potensinya. Kita harus jadi yang paling tahu, di bagian mana anak kita belum bisa, dan kita harus temukan cara untuk membuat dia bisa. Ingat, kita penanggung jawab pendidikan dia.

Anak saya nomor 3 termasuk lambat dalam belajar. Sekarang dia sudah kelas 4. Khususnya di pelajaran matematika, dia lambat. Diajari sekarang bisa, nanti malam dia sudah lupa lagi.

Tapi saya tidak khawatir. Saya terus ajari. Panduannya, dia bisa menangkap hal lain. Dia bisa berkomunikasi dengan benar. Dia tumbuh normal. Saya yakin, perlahan dia akan menguasai materi. Saya harus sabar, dan terus mendampingi dia.

Kenapa mesti gusar dengan hasil belajar anak yang masih kelas 1? Di fase itu yang penting bukan berapa nilai dia. Yang penting, dia menikmati proses belajar. Dia tidak merasakan belajar sebagai siksaan yang harus dia hindari.

Dia harus menemukan cara dia memahami sesuatu. Kita berada di dekat dia untuk membimbing dia menemukan jalan itu.

Sangat disayangkan bila ada orang tua yang justru tidak terlibat dalam proses itu, tapi hanya melihat angka-angka di atas kertas ulangan dan rapor anaknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar