Etika
dan Hukum
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
|
KOMPAS,
27 Februari
2018
Akhir-akhir ini orang
kembali membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya
disebabkan dua hal. Pertama,maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh
pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat
sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua,munculnya
revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampuradukkan antara
hukum dan etika.
Secara teoretis ataupun
filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas
yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang
tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang
telah diberi sanksi dan diformalkan.
Dalam filsafat hukum, kita
mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan
undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan
asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya,
pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih
dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).
Saya dan hampir semua
orang di negeri ini sangat geram saat melihat seseorang yang sudah jelas dan
nyata bersalah, tetapi harus dibebaskan begitu saja karena prosedural formal
hukum yang tidak memadai. Atau bahkan karena ketakmampuan peradilan menyentuh
orang-orang yang memiliki power, dalam bentuk kuasa ataupun uang. Berulang
kali kita harus menyaksikan politikus-politikus korup yang melenggang bebas
dari jeratan hukum, bahkan semakin kokoh di puncak karier politiknya, padahal
jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak
sepele.
Kepemimpinan di semua
lapisan cenderung hanya berorientasi populer (pop-leaders) sebagai akibat
budaya politik yang baru tumbuh dalam
tradisi demokrasi yang tertatih-tatih. Lalu ia menyebabkan timbulnya
gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat kekuasaan yang mengklaim
popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran kelas menengah yang memengaruhi
pembentukan wacana publik dan membentuk day-today-politics; serta antara
retorika politik yang tecermin di media massa yang dijadikan ukuran
popularitas dan tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan dalam masyarakat.
Tokoh-tokoh dalam
infrastruktur masyarakat tanpa disadari didorong pula oleh keadaan untuk
terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda politik nasional sehingga
fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin berkembang
tak terkendali. Akibatnya, nilai-nilai lama telah ditinggalkan, sementara
nilai baru belum terbentuk. Hal ini yang juga kemudian menjadikan perilaku
masyarakat terseret dalam ekspresi ekstrem dalam spektrum yang meluas, mulai
dari kutub konservatisme sampai ke liberalisme yang paling utopis dan
ekstrem.
Pelanggaran
etik dan penegakan etik
Di negara yang demokrasi
dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan
pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang memilih
mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga
melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan
mereka terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah
daripada jabatan semata.
Namun, konteks ini belum
terjadi di Indonesia. Seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya
jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak berpengaruh pada
seberat apa pun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia
melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan
dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti.
Sekali lagi, kasus yang
paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang menimpa Ketua MK, AH.
Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara
substansial sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada
derajat kemanusiaannya.
Fenomena lain yang cukup
menggelitik adalah ulah DPR dan pemerintah yang menyetujui bersama revisi
atas UU MD3. Substansi UU ini dinilai kacau dari banyak hal. Relevansinya
dengan tulisan ini adalah karena dalam UU tersebut Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) yang sejatinya adalah lembaga etik, tetapi diberi kewenangan mencampuri
masalah hukum.
Hal ini dapat dilihat dari
dua hal. Pertama, ketentuan dalam Pasal 245 yang memberikan kewenangan kepada
MKD untuk mengeluarkan pertimbangan kepada presiden atas pemanggilan anggota
DPR yang terjerat kasus hukum. Kedua, dalam Pasal 122 yang memberikan
kewenangan kepada MKD untuk mengambil tindakan hukum terhadap siapa saja yang
merendahkan derajat DPR dan anggota DPR.
Ketentuan ini telah
mencampuradukkan penegakan hukum dan penegakan etik secara keliru. Padahal,
meski keduanya saling berkaitan, cara penegakannya tidaklah sama. Sebab,
penegakan hukum sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam
kekuasaan yudikatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar