Pembelajaran
dari Piagam Aelia
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Februari 2018
SELAIN Piagam Hudaibiyah yang menakjubkan
itu, masih ada Piagam Aelia (Mitsaq
Aeliya), sebuah piagam perjanjian yang dibuat Umar ibn Khattab ketika
melakukan pembebasan Al-Quds (Aelia) dari tangan Romawi yang ditandatangani
pada 20 Rabiul Awal 15H/5 Februari 636 M.
Piagam itu bertujuan memberikan jaminan
keamanan dan keselamatan berbagai pihak di dalam wilayah Jerusalem yang baru
saja diambil alih oleh pasukan Umar. Untuk mengatasi gejolak yang biasanya
muncul di dalam masyarakat transisi, Umar ibn Khattab membuat Piagam Aelia.
Piagam ini sangat efektif untuk membuat
masyarakat pluralis Palestina lebih tenang karena pengambilalihan kota ini
dari Kerajaan Romawi lebih dirasakan masyarakat sebagai 'pembebasan' (futuhat) ketimbang sebagai penaklukan,
apalagi penjajahan. Aelia nama lain dari Jerusalem, lengkapnya Aelia
Capitolina, diambil dari nama kuil Dewi Aelia yang dibangun di atas Kuil
Solomon, setelah kota itu dikuasai Kristen Byzantium. Pasukan tentara Arab
muslim yang dipimpin Khalifah Umar ibn Khattab bisa dipandang sebagai
pembebasan umat Kristen lokal di sana, yang dikuasai penguasa Kristen
Romawi-Byzantium karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran mereka.
Kristen lokal di Aelia tidak mengakui hasil
Konsili Kalsedon, yang dihasilkan Kristen Roma-Byzantium. Pada saat bersamaan
Kristen lokal Aelia juga membenci kaum Yahudi dan Kuil Solomon mereka
dijadikan tempat pembuangan sampah. Perjanjian Aelia memberikan jaminan
eksistensi terhadap tiga agama dominan sebelumnya, yaitu Yahudi, Kristen
lokal, Kristen Orthodox Romawi-Byzantium, dan tentu saja ditambah dengan
Islam.
Melalui Piagam Aelia, Khalifah Umar
mendamaikan antara Kristen lokal dan Kristen Romawi-Byzantium, minoritas
Yahudi di Kota Jerusalem, dan agama Islam yang baru datang di wilayah itu.
Dengan demikian, Piagam Aelia mendamaikan empat komponen agama penting di
wilayah itu, yakni Kristen lokal, Kristen Romawi-Byzantium, Yahudi, dan
Islam.
Sungguh hebat Piagam Aelia ini diukur dalam
konteks masyarakat modern. Piagam Aelia merupakan wujud konkret kelanjutan
masyarakat madani (civil society),
yang pernah digagas dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW kemudian
diaktualisasikan Umar Ibn Khattab di beberapa kota.
Piagam Madinah dan Piagam Aelia merupakan
cermin sebuah bangunan masyarakat demokratis yang menghargai pluralitas
dengan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan (’adalah), egalitarian (musawa),
moderat (tawassuth), toleransi (tasamuh), dan tentu saja dengan
kepemimpinan yang didukung dengan supremasi hukum (imamah) tangguh.
Perwujudan masyarakat madani dalam masa proto-Islamic law, menurut istilah
David Power, menjadi contoh masyarakat ideal yang sulit dicari padanannya
pada masyarakat sebelumnya. Bahkan sosiolog terkemuka Robert N Bellah
mengakui masyarakat Madinah di masa Nabi ialah suatu masyarakat yang sangat
modern di zamannya.
Sayang sekali menurut Bellah, tatanan
masyarakat madaniah itu tidak bertahan lama dalam dunia Islam karena wilayah
Timur Tengah kembali ke sistem lama, yaitu ke sistem monarki. Cak Nur pernah
juga mendramatisasi sistem kemasyarakatan di masa awal Islam yang sebagai
negara modern yang lahir jauh melampaui zamannya.
Unsur-unsur penting dan monumental dalam
Piagam Aelia antara lain adanya jaminan keamanan jiwa, keluarga, harta, dan
properti semua pihak di Aelia. Eksistensi agama-agama, termasuk rumah-rumah
ibadah, seperti gereja Kristen lokal, gereja Kristen Romawi-Byzantium, kuil
Yahudi, dan masjid diakui dan dijamin tidak akan diintervensi penguasa baru
muslim. Bahkan Yahudi yang tadinya terusir dari wilayah itu sudah bisa masuk
dan menjalankan ajaran agama mereka dengan bebas di bawah jaminan Piagam
Aelia.
Mereka tidak akan diprovokasi, apalagi
diintimidasi dan dipaksa masuk agama Islam. Warga Romawi-Byzantium yang
menduduki wilayah itu juga tetap bisa hidup di dalam Aelia asal mau taat
dengan aturan dalam Piagam Aelia. Piagam Aelia luar biasa. Banyak ilmuwan
menganggap piagam ini sebuah loncatan pikiran yang lebih jauh dari zamannya.
Meskipun Umar ibn Khattab banyak menggunakan simbol-simbol Islam, kebebasan
setiap warga bangsa dijamin untuk menjalankan agama masing-masing.
Rumah ibadah tidak ada yang diganggu, dan
praktik-praktik keagamaan tidak ada yang dihalangi, serta atribut-atribut
keagamaan tetap dipertahankan. Suasana batin masyarakat tidak terusik sama
sekali dengan kehadiran pasukan Umar.
Selengkapnya Piagam Aelia tersebut dalam
versi terjemahan bahasa Indonesia sebagai berikut. 'Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan
'Abdullah, Umar, Amir al-Mu'minin kepada penduduk Aelia. Ia menjamin mereka
keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib
mereka. Serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka
secara keseluruhan.
Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan
tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari
gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya. Serta tidak dari salib
mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja
itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari
seorang pun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun
boleh tinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia diwajibkan membayar
jizyah sebagaimana jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain
(Syria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum
al-Lashut dari Aelia. Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) keluar
(meninggalkan Aelia), ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba
di daerah keamanan mereka (Romawi).
Dan jika ada yang mau tinggal, ia pun akan
dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk
Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk
menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan
gereja-gereja dan salib-salib mereka, keamanan mereka dijamin, berkenaan
dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba
di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi).
Dan siapa saja yang telah berada di sana
(Aelia) dari kalangan penduduk setempat (Syria) sebelum terjadinya perang
tertentu (yakni, perang pembebasan Syirya oleh tentara muslim) maka bagi yang
menghendaki ia dibenarkan tetap tinggal. Dan ia diwajibkan membayar jizyah
seperti kewajiban penduduk Aelia.
Dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung
dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki, ia boleh kembali kepada
keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh diambil dari
mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka. Atas apa yang
tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya,
perlindungan para khalifah dan perlindungan semua kaum beriman. Jika mereka
(penduduk Aelia) membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka. Menjadi saksi
atas perjanjian ini Khalid ibn al-Walid, 'Amr ibn al-Ashsh, 'Abdurrahman ibn
'Awf, dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas
(Hijriah)'.
Naskah Piagam Aelia di atas bisa memberikan
pengaruh positif bagi Indonesia yang dipadati lebih dari 200 juta umat Islam
atau negara muslim terbesar di dunia saat ini. Bagaimana kepiawaian dan
kemoderatan Umar dipertaruhkan di dalam piagam ini. Tanpa niat yang luhur dan
idealisme serta ideologi yang kuat, tidak mungkin piagam ini bisa lahir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar