Minggu, 25 Februari 2018

Menyelamatkan Demokrasi

Menyelamatkan Demokrasi
Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2018



                                                           
Keberlangsungan demokrasi dan keadaban publik di dalamnya bukan hanya ditentukan oleh kematangan warga negara untuk menjaga nilai-nilai kewargaan. Akan tetapi, hal yang lebih penting dalam realitas politik sangat ditentukan oleh kesadaran kalangan elite politik untuk membangun aliansi politik berlandaskan komitmen jangka panjang untuk merawat demokrasi. Bukan sekadar memperoleh kekuasaan dan kemakmuran berdasarkan kalkulasi kepentingan jangka pendek.

Tahun ini Indonesia tengah memasuki tahun politik, yang ditandai oleh pemilihan kepala daerah serentak di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Belajar dari momen politik pilkada yang telah berlangsung, seperti Pilkada DKI Jakarta, kita menyaksikan bagaimana arena pemilihan kepala daerah menjadi arena elite mengalkulasi manuver politik hanya dari sudut pandang mendapatkan kekuasaan. Tidak peduli dampaknya bagi masa depan kebinekaan Indonesia.

Sentimen populisme

Seperti yang tengah berlangsung di seluruh dunia, saat ini dinamika politik Indonesia menghadapi godaan besar untuk merangkul sentimen populisme yang mengarah pada tendensi kanan jauh (far right populism). Merebaknya sentimen anti terhadap kaum minoritas ataupun pengentalan terhadap identitas pribumi versus pendatang (nonpri) dalam diskursus politik sehari-hari adalah beberapa indikasi politik yang tengah menguat.

Masuknya figur-figur yang mengusung isu fasistik, menebar kebencian dan fanatisme dari luar ke dalam ruang politik elektoral, mengingatkan pada dua profesor politik dari Harvard University—Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018)— dalam karyanya How Democracies Die.  Levitsky dan Ziblatt berangkat dari tesis sederhana dengan ilustrasi pembahasan yang menarik dan sangat kaya.

Menurut mereka, munculnya figur-figur populis otoritarian terjadi akibat kegagalan pemimpin demokrasi menutup pintu politik elektoral dari anasir-anasir fanatik dan fasis. Sementara keberhasilan tatanan demokrasi menyelamatkan keberlangsungannya didukung oleh kemampuan menahan diri dari elite untuk menjaga agar figur- figur ekstrem tidak mereka pilih menjadi pemimpin.

Merawat demokrasi

Terkait dengan pengalaman politik menghadapi godaan populisme sayap kanan, sejarah politik Amerika Serikat memberikan pembelajaran politik penting untuk menyelamatkan institusi politik elektoral, sebelum akhirnya jebol oleh gelombang pasang sentimen rasisme yang mengantarkan Donald Trump menjadi presiden.   

Semenjak abad ke-20, Amerika Serikat mencatat tampilnya beberapa figur yang mencoba peruntungan politik menuju Gedung Putih dengan mengolah isu rasisme, fundamentalisme agama, ataupun anti-imigran, tetapi kandas karena tidak berhasil melewati benteng tebal institusi dua partai untuk maju menjadi kandidat presiden.

Salah satu ilustrasi kisah yang menarik adalah langkah George Wallace, Gubernur Alabama yang bertarung untuk memperebutkan kursi menuju Gedung Putih tahun 1968. Wallace pada awalnya adalah politisi yang menghormati keadaban publik, tidak pernah bermain-main dengan isu rasial.

Namun, dia belajar bahwa dalam kesempatan pertama dirinya mencalonkan diri sebagai gubernur Alabama tahun 1958, ia dikalahkan rival politiknya, George C Hawkins, yang didukung oleh ormas preman rasis Ku Klux Klan. Maka, dalam pertarungan pemilihan gubernur selanjutnya, Wallace mengubah haluan politiknya dengan mengolah narasi rasisme. Hasilnya, Wallace menjadi Gubernur Alabama.

Berhasil dengan strategi komunikasi politik yang mengusung isu segregasi anti-persamaan hak, Wallace kemudian mencoba kesempatan politik yang lebih tinggi: mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat pada 1968.

Dalam perjalanannya, Wallace mengusung isu rasisme pada derajat yang ekstrem dengan slogan ”Stand Up America”. Hasilnya, ia mendapatkan dukungan signifikan di beberapa negara bagian di Wisconsin, Indiana, dan Maryland.

Syukurlah, politik seperti ini membangunkan alarm politik di kalangan elite internal partai- partai politik Amerika Serikat akan  bahaya politik rasisme George Wallace. Pada akhirnya Wallace gagal memperoleh kartu kandidat presiden dari partai politik, yang membawanya menempuh jalur independen.

Di negara Amerika Serikat yang membangun tradisi demokrasi berbasis partai politik, pencalonan Wallace melalui jalur independen gagal membawanya menjadi presiden.     

Pengalaman Austria

Contoh kasus terbaru adalah pengalaman pemilihan presiden di Austria tahun 2016 antara pemimpin Partai Hijau, Alexander Van der Bellen, dan pemimpin Partai Sayap Kanan Jauh FPO, Norbert Hofer. Dalam pertarungan sengit tersebut, suara yang menentukan adalah ke mana dukungan dari partai kanan tengah OVP (Partai Rakyat Austria) akan berlabuh.

Meskipun secara ideologi OVP lebih dekat dengan FPO, elite-elite dari OVP tidak terjebak rayuan retorika anti-imigran, anti-Muslim, dan politik rasisme dari FPO.

OVP dengan pertimbangan matang demi keberlangsungan demokrasi di Austria mengarahkan suaranya kepada Van der Bellen daripada kepada Hofer. Langkah OVP terbukti berhasil menjaga demokrasi Austria dari ancaman tendensi fasisme otoritarian.

Kedua contoh keberhasilan menyelamatkan demokrasi dari rayuan politik fasisme di atas memberikan pelajaran penting bagi kita, terutama terkait integritas sikap para politisi kita.

Saat ini ada godaan kuat di kalangan elite untuk memanipulasi narasi kebencian bagi keuntungan politik jangka pendek. Menghadapi kondisi seperti ini, demokrasi di Indonesia menuntut kebesaran jiwa para politisi untuk menjadi negarawan.

Kebesaran jiwa untuk menjaga demokrasi sehingga negeri ini tetap menjadi rumah yang nyaman bagi hidup bersama dan setara. Kebesaran jiwa untuk merawat dan memperkuat warisan Indonesia untuk semua dan bagi mereka yang ingin hidup di dalamnya tanpa diskriminasi sesuai dengan pesan para pendiri republik kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar