Menyelamatkan
Demokrasi
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Keberlangsungan demokrasi dan keadaban
publik di dalamnya bukan hanya ditentukan oleh kematangan warga negara untuk
menjaga nilai-nilai kewargaan. Akan tetapi, hal yang lebih penting dalam
realitas politik sangat ditentukan oleh kesadaran kalangan elite politik
untuk membangun aliansi politik berlandaskan komitmen jangka panjang untuk
merawat demokrasi. Bukan sekadar memperoleh kekuasaan dan kemakmuran
berdasarkan kalkulasi kepentingan jangka pendek.
Tahun ini Indonesia tengah memasuki tahun
politik, yang ditandai oleh pemilihan kepala daerah serentak di berbagai
provinsi dan kabupaten/kota. Belajar dari momen politik pilkada yang telah
berlangsung, seperti Pilkada DKI Jakarta, kita menyaksikan bagaimana arena
pemilihan kepala daerah menjadi arena elite mengalkulasi manuver politik
hanya dari sudut pandang mendapatkan kekuasaan. Tidak peduli dampaknya bagi
masa depan kebinekaan Indonesia.
Sentimen populisme
Seperti yang tengah berlangsung di seluruh
dunia, saat ini dinamika politik Indonesia menghadapi godaan besar untuk
merangkul sentimen populisme yang mengarah pada tendensi kanan jauh (far
right populism). Merebaknya sentimen anti terhadap kaum minoritas ataupun
pengentalan terhadap identitas pribumi versus pendatang (nonpri) dalam
diskursus politik sehari-hari adalah beberapa indikasi politik yang tengah
menguat.
Masuknya figur-figur yang mengusung isu
fasistik, menebar kebencian dan fanatisme dari luar ke dalam ruang politik
elektoral, mengingatkan pada dua profesor politik dari Harvard
University—Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018)— dalam karyanya How
Democracies Die. Levitsky dan Ziblatt
berangkat dari tesis sederhana dengan ilustrasi pembahasan yang menarik dan
sangat kaya.
Menurut mereka, munculnya figur-figur
populis otoritarian terjadi akibat kegagalan pemimpin demokrasi menutup pintu
politik elektoral dari anasir-anasir fanatik dan fasis. Sementara
keberhasilan tatanan demokrasi menyelamatkan keberlangsungannya didukung oleh
kemampuan menahan diri dari elite untuk menjaga agar figur- figur ekstrem
tidak mereka pilih menjadi pemimpin.
Merawat demokrasi
Terkait dengan pengalaman politik menghadapi
godaan populisme sayap kanan, sejarah politik Amerika Serikat memberikan
pembelajaran politik penting untuk menyelamatkan institusi politik elektoral,
sebelum akhirnya jebol oleh gelombang pasang sentimen rasisme yang
mengantarkan Donald Trump menjadi presiden.
Semenjak abad ke-20, Amerika Serikat
mencatat tampilnya beberapa figur yang mencoba peruntungan politik menuju
Gedung Putih dengan mengolah isu rasisme, fundamentalisme agama, ataupun
anti-imigran, tetapi kandas karena tidak berhasil melewati benteng tebal
institusi dua partai untuk maju menjadi kandidat presiden.
Salah satu ilustrasi kisah yang menarik
adalah langkah George Wallace, Gubernur Alabama yang bertarung untuk memperebutkan
kursi menuju Gedung Putih tahun 1968. Wallace pada awalnya adalah politisi
yang menghormati keadaban publik, tidak pernah bermain-main dengan isu
rasial.
Namun, dia belajar bahwa dalam kesempatan
pertama dirinya mencalonkan diri sebagai gubernur Alabama tahun 1958, ia
dikalahkan rival politiknya, George C Hawkins, yang didukung oleh ormas
preman rasis Ku Klux Klan. Maka, dalam pertarungan pemilihan gubernur
selanjutnya, Wallace mengubah haluan politiknya dengan mengolah narasi
rasisme. Hasilnya, Wallace menjadi Gubernur Alabama.
Berhasil dengan strategi komunikasi politik
yang mengusung isu segregasi anti-persamaan hak, Wallace kemudian mencoba
kesempatan politik yang lebih tinggi: mencalonkan diri sebagai Presiden
Amerika Serikat pada 1968.
Dalam perjalanannya, Wallace mengusung isu
rasisme pada derajat yang ekstrem dengan slogan ”Stand Up America”. Hasilnya,
ia mendapatkan dukungan signifikan di beberapa negara bagian di Wisconsin,
Indiana, dan Maryland.
Syukurlah, politik seperti ini membangunkan
alarm politik di kalangan elite internal partai- partai politik Amerika
Serikat akan bahaya politik rasisme
George Wallace. Pada akhirnya Wallace gagal memperoleh kartu kandidat
presiden dari partai politik, yang membawanya menempuh jalur independen.
Di negara Amerika Serikat yang membangun
tradisi demokrasi berbasis partai politik, pencalonan Wallace melalui jalur
independen gagal membawanya menjadi presiden.
Pengalaman Austria
Contoh kasus terbaru adalah pengalaman
pemilihan presiden di Austria tahun 2016 antara pemimpin Partai Hijau,
Alexander Van der Bellen, dan pemimpin Partai Sayap Kanan Jauh FPO, Norbert
Hofer. Dalam pertarungan sengit tersebut, suara yang menentukan adalah ke
mana dukungan dari partai kanan tengah OVP (Partai Rakyat Austria) akan
berlabuh.
Meskipun secara ideologi OVP lebih dekat
dengan FPO, elite-elite dari OVP tidak terjebak rayuan retorika anti-imigran,
anti-Muslim, dan politik rasisme dari FPO.
OVP dengan pertimbangan matang demi
keberlangsungan demokrasi di Austria mengarahkan suaranya kepada Van der
Bellen daripada kepada Hofer. Langkah OVP terbukti berhasil menjaga demokrasi
Austria dari ancaman tendensi fasisme otoritarian.
Kedua contoh keberhasilan menyelamatkan
demokrasi dari rayuan politik fasisme di atas memberikan pelajaran penting
bagi kita, terutama terkait integritas sikap para politisi kita.
Saat ini ada godaan kuat di kalangan elite
untuk memanipulasi narasi kebencian bagi keuntungan politik jangka pendek.
Menghadapi kondisi seperti ini, demokrasi di Indonesia menuntut kebesaran
jiwa para politisi untuk menjadi negarawan.
Kebesaran jiwa untuk menjaga demokrasi
sehingga negeri ini tetap menjadi rumah yang nyaman bagi hidup bersama dan
setara. Kebesaran jiwa untuk merawat dan memperkuat warisan Indonesia untuk
semua dan bagi mereka yang ingin hidup di dalamnya tanpa diskriminasi sesuai
dengan pesan para pendiri republik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar