Debat
Kepemilikan Senjata Api di AS
A Safril Mubah ; Pengajar sistem politik AS di Departemen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 24 Februari 2018
PERISTIWA penembakan
membabi buta yang menewaskan 17 orang di Marjory Stoneman Douglas High
School, Florida, pada 14 Februari 2018 memantik kembali debat publik terkait
kepemilikan senjata api di Amerika Serikat (AS). Aksi brutal itu dilancarkan
Nikolas Cruz, remaja 19 tahun, yang setahun sebelumnya dikeluarkan dari
sekolah tersebut. Fakta bahwa pelaku penembakan masih belia membuktikan
peredaran senjata api telah menjangkau semua kalangan.
Hal tersebut semakin
meruncingkan perdebatan tentang perlu tidaknya pembatasan senjata api.
Apalagi, seperti dilansir CNN (15/2), dalam waktu kurang dari sebulan, AS
diguncang serentetan insiden penembakan di North Carolina (20/1), Texas
(22/1), Kentucky (23/1), Philadelphia (31/1), Los Angeles (1/2), Maryland
(5/2), Nashville (9/2), dan yang terakhir di Florida (14/2).
Pro
dan Kontra
Publik AS terbelah antara
kubu pro dan kontra kepemilikan senjata api. Kubu pro berargumen bahwa hak
individu untuk memiliki senjata api dijamin amandemen kedua konstitusi AS
yang menyatakan ”Well regulated Militia, being necessary to the security of a
free State, the right of the people to keep and bear Arms, shall not be
infringed”. Amandemen kedua merupakan bagian dari Bill of Rights (sepuluh
amandemen pertama) yang diputuskan pada 15 Desember 1791. Dipengaruhi oleh
hukum dasar hak asasi manusia Inggris (1689), amandemen itu menjamin hak
individu untuk mempertahankan diri dan melawan segala bentuk tekanan. Dalam
perkembangannya, muncul dua penafsiran atas substansi yang terkandung dalam
amandemen itu.
Tafsir pertama yang
berlandaskan teori hak individu meyakini bahwa konstitusi AS membatasi badan
legislatif untuk menetapkan aturan yang melarang kepemilikian senjata. Tafsir
kedua yang berlandaskan teori hak kolektif percaya bahwa warga negara tidak
punya hak individu memiliki senjata sehingga badan legislatif perlu mengatur
hal itu tanpa melanggar konstitusi. Pada 1939 Mahkamah Agung AS menerapkan
teori hak kolektif ketika memutuskan kongres perlu mengatur perdagangan
senapan antarnegara bagian. Namun, pada 2008 teori hak individu dijadikan
dasar MA untuk membatalkan pelarangan pistol oleh Negara Bagian Washington
DC. Dua tahun berselang, MA juga membatalkan aturan serupa di Chicago.
Florida termasuk negara
bagian yang memiliki regulasi persenjataan longgar. Di Florida seseorang
tidak perlu memiliki lisensi untuk membeli senjata dan tidak diwajibkan untuk
mendaftarkannya kepada pihak berwenang. Alhasil, senjata sangat mudah
dimiliki siapa pun, termasuk remaja seusia Cruz. Sesuai dengan pasal pertama
undangundang Negara Bagian Florida yang menyatakan“The right of the people to
keep and bear arms in defense of themselves and of the lawful authority of
the state shall not be infringed…”, individu berhak membela diri menggunakan
senjata yang dimilikinya ketika dia diserang.
Barangkali, hal itulah
yang memicu Cruz memuntahkan peluru ke bekas sekolahnya. Sebagai sosok remaja
bermasalah yang dijauhi temantemannya, perilaku berbahaya Cruz membuatnya
dikeluarkan dari sekolah. Cruz sepertinya merasa tertekan dan tidak terima
dengan sanksi berat yang menimpanya itu. Di laman YouTube, dia pernah
berkomentar “I’m going to be professional school shooter.”
Celakanya, Biro Penyelidik
Federal (FBI) yang telah mendapatkan laporan tentang komentar itu tidak
segera menindaklanjuti. Hal itulah yang dikecam Presiden Donald Trump dalam
kicauannya di Twitter
Sabtu (17/2) dengan
menuduh FBI terlalu sibuk mengurusi keterlibatan Rusia dalam pemilu: “Very
sad that the FBI missed all of the many signals sent out by the Florida school
shooter. This is not acceptable. They are spending too much time trying to
prove Russian collusion with the Trump campaign…”
Trump termasuk kubu
pendukung kepemilikan senjata api. Dalam kampanye Pemilu 2016, dia menegaskan
kepemilikan senjata api tidak berdampak pada peningkatan aksi penembakan di
AS, tetapi justru menurunkan potensi kekerasan karena orang akan berpikir
panjang jika ingin menyerang orang lain yang memiliki senjata. Posisi Trump
berbeda dengan Barack Obama yang semasa kepemimpinannya terus berjuang
membatasi kepemilikan senjata, namun selalu digagalkan parlemen.
Pertarungan politik Partai
Republik dan Partai Demokrat selalu diwarnai debat tiada akhir tentang isu
kepemilikan senjata. Kubu Demokrat memanfaatkan penembakan di Florida untuk
meraup dukungan publik dalam meloloskan aturan kontrol senjata. Bagi
Demokrat, senjata api telah disalahgunakan individu untuk menyerang
orang-orang tak berdosa yang berarti telah melanggar hak warga negara untuk
hidup aman di tanah Amerika. Dasar argumen itu pula yang melandasi rencana
aksi massa pembatasan senjata api yang bakal digelar koalisi masyarakat sipil
pada 24 Maret 2018. Apabila isu tersebut dapat diolah secara strategis,
sangat mungkin dukungan terhadap Trump akan semakin tergerus dan dapat berdampak
pada kekalahan Republik pada pemilu sela 6 November mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar