Senin, 26 Februari 2018

Debat Kepemilikan Senjata Api di AS

Debat Kepemilikan Senjata Api di AS
A Safril Mubah  ;   Pengajar sistem politik AS di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya
                                                    JAWA POS, 24 Februari 2018



                                                           
PERISTIWA penembakan membabi buta yang menewaskan 17 orang di Marjory Stoneman Douglas High School, Florida, pada 14 Februari 2018 memantik kembali debat publik terkait kepemilikan senjata api di Amerika Serikat (AS). Aksi brutal itu dilancarkan Nikolas Cruz, remaja 19 tahun, yang setahun sebelumnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Fakta bahwa pelaku penembakan masih belia membuktikan peredaran senjata api telah menjangkau semua kalangan.

Hal tersebut semakin meruncingkan perdebatan tentang perlu tidaknya pembatasan senjata api. Apalagi, seperti dilansir CNN (15/2), dalam waktu kurang dari sebulan, AS diguncang serentetan insiden penembakan di North Carolina (20/1), Texas (22/1), Kentucky (23/1), Philadelphia (31/1), Los Angeles (1/2), Maryland (5/2), Nashville (9/2), dan yang terakhir di Florida (14/2).

Pro dan Kontra

Publik AS terbelah antara kubu pro dan kontra kepemilikan senjata api. Kubu pro berargumen bahwa hak individu untuk memiliki senjata api dijamin amandemen kedua konstitusi AS yang menyatakan ”Well regulated Militia, being necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear Arms, shall not be infringed”. Amandemen kedua merupakan bagian dari Bill of Rights (sepuluh amandemen pertama) yang diputuskan pada 15 Desember 1791. Dipengaruhi oleh hukum dasar hak asasi manusia Inggris (1689), amandemen itu menjamin hak individu untuk mempertahankan diri dan melawan segala bentuk tekanan. Dalam perkembangannya, muncul dua penafsiran atas substansi yang terkandung dalam amandemen itu.

Tafsir pertama yang berlandaskan teori hak individu meyakini bahwa konstitusi AS membatasi badan legislatif untuk menetapkan aturan yang melarang kepemilikian senjata. Tafsir kedua yang berlandaskan teori hak kolektif percaya bahwa warga negara tidak punya hak individu memiliki senjata sehingga badan legislatif perlu mengatur hal itu tanpa melanggar konstitusi. Pada 1939 Mahkamah Agung AS menerapkan teori hak kolektif ketika memutuskan kongres perlu mengatur perdagangan senapan antarnegara bagian. Namun, pada 2008 teori hak individu dijadikan dasar MA untuk membatalkan pelarangan pistol oleh Negara Bagian Washington DC. Dua tahun berselang, MA juga membatalkan aturan serupa di Chicago.

Florida termasuk negara bagian yang memiliki regulasi persenjataan longgar. Di Florida seseorang tidak perlu memiliki lisensi untuk membeli senjata dan tidak diwajibkan untuk mendaftarkannya kepada pihak berwenang. Alhasil, senjata sangat mudah dimiliki siapa pun, termasuk remaja seusia Cruz. Sesuai dengan pasal pertama undangundang Negara Bagian Florida yang menyatakan“The right of the people to keep and bear arms in defense of themselves and of the lawful authority of the state shall not be infringed…”, individu berhak membela diri menggunakan senjata yang dimilikinya ketika dia diserang.

Barangkali, hal itulah yang memicu Cruz memuntahkan peluru ke bekas sekolahnya. Sebagai sosok remaja bermasalah yang dijauhi temantemannya, perilaku berbahaya Cruz membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Cruz sepertinya merasa tertekan dan tidak terima dengan sanksi berat yang menimpanya itu. Di laman YouTube, dia pernah berkomentar “I’m going to be professional school shooter.”

Celakanya, Biro Penyelidik Federal (FBI) yang telah mendapatkan laporan tentang komentar itu tidak segera menindaklanjuti. Hal itulah yang dikecam Presiden Donald Trump dalam kicauannya di Twitter
Sabtu (17/2) dengan menuduh FBI terlalu sibuk mengurusi keterlibatan Rusia dalam pemilu: “Very sad that the FBI missed all of the many signals sent out by the Florida school shooter. This is not acceptable. They are spending too much time trying to prove Russian collusion with the Trump campaign…”

Trump termasuk kubu pendukung kepemilikan senjata api. Dalam kampanye Pemilu 2016, dia menegaskan kepemilikan senjata api tidak berdampak pada peningkatan aksi penembakan di AS, tetapi justru menurunkan potensi kekerasan karena orang akan berpikir panjang jika ingin menyerang orang lain yang memiliki senjata. Posisi Trump berbeda dengan Barack Obama yang semasa kepemimpinannya terus berjuang membatasi kepemilikan senjata, namun selalu digagalkan parlemen.

Pertarungan politik Partai Republik dan Partai Demokrat selalu diwarnai debat tiada akhir tentang isu kepemilikan senjata. Kubu Demokrat memanfaatkan penembakan di Florida untuk meraup dukungan publik dalam meloloskan aturan kontrol senjata. Bagi Demokrat, senjata api telah disalahgunakan individu untuk menyerang orang-orang tak berdosa yang berarti telah melanggar hak warga negara untuk hidup aman di tanah Amerika. Dasar argumen itu pula yang melandasi rencana aksi massa pembatasan senjata api yang bakal digelar koalisi masyarakat sipil pada 24 Maret 2018. Apabila isu tersebut dapat diolah secara strategis, sangat mungkin dukungan terhadap Trump akan semakin tergerus dan dapat berdampak pada kekalahan Republik pada pemilu sela 6 November mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar