Sabtu, 24 Februari 2018

Dialog Peradaban dan Konsistensi Peran Indonesia

Dialog Peradaban dan Konsistensi Peran Indonesia
Faisal Ismail  ;    Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
                                                KORAN SINDO, 23 Februari 2018



                                                           
Dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Samuel P Huntington meramalkan bahwa setelah komunis meruntuh pada 2001 di Uni Soviet akan terjadi benturan antara Barat dan Islam.

Menurut Huntington, pola konflik se belumnya antara Blok Timur dan Blok Barat masih sebatas kawas an Eropa dan merefleksikan konflik ideologis antara marxisme-komunisme versus libera lisme-kapitalisme. Di masa de pan, kata Huntington, konflik akan melibatkan kawasan non-Eropa dan mengambil bentuk benturan peradaban.

Mengapa peradaban menjadi faktor penting pemicu konflik? Huntington mengemukakan tesisnya sebagai berikut.

Pertama, perbedaan peradaban, di samping merupakan rea litas, juga bersifat sangat sub stansial. Masyarakat pendukung peradaban yang berbeda itu mempunyai perbedaan visi tentang relasi manusia dengan Tuhan, negara dengan war ganya, dan nilai yang melandasi tatanan sosial, seperti keadilan, hak asasi, kebebasan, dan responsibilitas.

Kedua, kemajuan teknologi informasi mengintensifkan interaksi antar kelompok pendukung peradab an yang berbeda-beda. Intensitas interaksi ini semakin memperkuat kesadaran masyarakat akan eksistensi dan nilai peradabannya sendiri yang mempertajam perbedaan antar peradaban.

Ketiga, transformasi sosial ekonomi mengakibatkan negara kehilangan acuan identitas. Karena itu, timbullah revivalisme agama sebagai identifikasi diri yang memunculkan fundamentalisme agama di berbagai negara.

Keempat, menguat nya kesadaran kelompok masyarakat akan eksistensi dan nilai peradabannya sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh “pe ran ganda” adidaya Barat. Ber samaan dengan kekuasaan yang dinikmati oleh negara-negara adidaya Barat, peradaban non-Barat mengalami revitalisa si secara signifikan. Kaum elite dan terpelajar yang terdidik di Barat dan berpola pikir seper ti Barat kini justru berpikir kri tis terhadap upaya Barat yang ingin mengubah tatanan in ternasional menjadi masyarakat dengan model Barat.

Kelima, perbedaan di bidang peradaban dirasakan sangat kompleks sehingga lebih sulit diselesaikan karena persoalannya tidak lagi terletak pada “berada di pihak mana” akan tetapi “ber ada di pihak siapa.” Tampaknya kecemasan Barat terhadap “ancaman” Islam banyak dilatarbelakangi oleh peristiwa, seperti Revolusi Iran 1979, serangan kelompok radikal Al-Qaeda, dan serangan teroris pada 11 September 2001 yang mengakibatkan World Trade Centre di New York runtuh dan sebagian gedung Pentagon di Washington rusak.

Amerika Serikat (AS) bereaksi keras. Pada 7 Oktober 2001, AS meng - gempur Al-Qaeda di Afghanistan yang dicap sebagai dalang terorisme. AS berdalih tidak menyerang Islam dan bangsa Afghanistan, tetapi menumpas Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dan rezim Taliban yang melindungi Al-Qaeda. Serangan Islamic State in Iraq and Suriah (ISIS) di berbagai kota, termasuk kota-kota di Eropa, semakin menambah kecemasan Barat terhadap apa yang disebut Huntington sebagai “ancaman” Islam.

Dialog Barat dan Islam

Dalam bukunya The Islamic Threat: Myth or Reality ?, John L Esposito mengingatkan Barat agar berpikiran jernih dalam me lihat diversitas gerakan Islam dan tidak hanya melihat ada nya ancaman satu kelompok radikal Muslim. Esposito menjelaskan, sementara berbagai kalangan masyarakat Muslim mengimpikan terciptanya Tatanan Dunia Baru dan berjuta-juta Muslim di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, serta Asia Tenggara menginginkan terwujudnya liberalisasi politik dan demokratisasi, kesinambungan vitalitas Islam dan gerakan-gerakan Islam tidak perlu diartikan sebagai ancaman, tetapi sebagai tantangan.

Bagi banyak kalangan Muslim, kata Esposito, revivalisme Islam merupakan gerakan sosial yang tujuannya adalah pengembangan masyarakat, bukan merupakan gerakan politik dan tidak perlu dimaknai untuk me n di rikan ne gara Islam. Islam dan kebanyakan gerakan-gerakan Is lam, kata Esposito, tidak anti-Barat, tidak anti-Amerika, dan tidak anti-demokrasi.

Selanjutnya Esposito menjelaskan, gerakan-gerakan Islam tersebut tidak perlu diartikan se bagai ancaman terhadap kepentingan-kepentingan AS. Tantangan kita, kata Esposito, adalah bagaimana memahami secara lebih baik sejarah dan realitas-realitas dunia Muslim.

Mengakui adanya diversitas dan banyak gerakan Islam, kata Esposito, akan bisa membantu kita melawan gambaran kita tentang adanya ancaman satu kelompok Muslim. Hal ini, kata profesor di Georgetown University itu, memperkecil risiko terhadap ramalan yang kita buat sendiri tentang pertarungan Ba rat melawan ancaman satu kelompok radikal Muslim.

Barat mempunyai posisi ideal yang menguntungkan dalam mengapresiasi aspirasi-aspirasi banyak kalangan di dunia Muslim, karena mereka berupaya mendefinisikan jalan-jalan baru bagi masa depan mereka. Poin penting yang dapat ditarik dari pandangan Esposito adalah perlunya Barat memahami diversitas gerakan Islam.

Untuk itu, yang diperlukan adalah dialog kebudayaan dan peradaban antara Barat serta Islam untuk membangun kerja sama dan kemitraan dalam men ciptakan kemaslahatan hi dup bersama, perdamaian se jati, dan kedamaian dunia yang hakiki. Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme bukan ajaran Islam. Ke lompok kecil eks tre mis, radikalisme, dan teroris hanya memakai label agama sebagai pembenaran gerakan mereka yang sebenarnya tidak Islami dan tidak mewakili mainstream Muslim.

Konsistensi Peran Indonesia

Tragedi Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) menimpabang sa-bangsa yang terlibat perang harus tidak terulang lagi. Begitu pula Perang Salib (1095-1291) antara Kristen dan Muslim ha rus tidak terulang lagi. Perang dalam skala apa pun dan di mana pun harus dihindari.

Sudah sepatutnya jalan diplomasi harus lebih diutamakan untuk menyelesaikan konflik sosial politik demi terciptanya perdamaian antar kelompok masyarakat dan antarbangsa. Karena perang, kapan pun dan di mana pun sudah pasti mengakibat kan terjadinya malapetaka dengan segala kekerasan, kekejaman, kebengisan, brutalitas, kengerian, kesengsaraan, kerusakan, korban harta benda, serta korban jiwa dan luka-luka.

Secara arif dan bijaksana, semua bangsa harus belajar dan mengambil butir-butir hikmah dari peristiwa tragis-destruktif pe perangan yang pernah terjadi. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” begitu pesan bijakarif Soekarno (presiden pertama RI). Umat manusia dan peradab annya harus diselamatkan dari bencana kehancuran.

Jalan keselamatan ini dapat ditempuh melalui dialog antarumat beragama, dialog kebudayaan, dan dialog peradaban. Benturan peradaban antara Barat dan Islam serta benturan antaretnis/antarbangsa pendukung per adaban di belahan dunia mana pun harus dicegah dan jangan sampai terjadi. Tepat sekali haluan politik dan misi kenegaraan bangsa Indonesia yang secara konsisten berperan serta memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar