Senin, 26 Februari 2018

Politik Jaman Old Vs Politik Jaman Now

Politik Jaman Old Vs Politik Jaman Now
Dimas Oky Nugroho  ;   Founder Kader Bangsa Fellowship Program:
Sekolah Pemimpin Muda Indonesia;
Peneliti Senior di Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) Jakarta
                                                   TEMPO.CO, 20 Februari 2018



                                                           
Selama ini kita umumnya menilai bahwa munculnya konflik (politik) dilatari oleh pertarungan ideologis, perbedaan kepentingan politik antar elit, atau rivalitas antar kekuatan oligarki semata. Jarang yang menyadari bahwa konflik terjadi justru ketika ekspektasi politik antar generasi yakni antara kaum muda dan kaum tua, gagal terkelola secara produktif.

Tak heran di banyak negara, harmonisasi dan penanganan potensi anak muda dengan berbagai ekspresi dan kritisismenya selalu menjadi prioritas dalam strategi dan kebijakan pemerintah serta institusi politik. Hal ini dilakukan untuk menjamin kohesivitas, regenerasi dan keberlanjutan berbagai agenda pembangunan di negara-negara tersebut.

Sejarah pembentukan dan perjalanan politik Indonesia sendiri tak dapat dilepaskan dari dialektika kaum muda-kaum tuanya. Dalam sejarah, relasi politik antar kaum muda dan kaum tua aktor-aktor politik Indonesia, diakui atau tidak, kerap berwujud konfliktual.

Gesekan antara ‘kaoem toea’ dan ‘kaoem moeda’ terjadi sejak jaman pergerakan, jelang proklamasi Agustus 1945, dan berlanjut di era mempertahankan kemerdekaan. Perpecahan internal partai dan konflik antar elit di tubuh Angkatan Darat menjelang kejatuhan Rezim Orde Lama juga dilatari antara lain oleh sentimen antar faksi antar generasi ini.

Demikian juga rangkaian demo anti-Orde Baru yang dilakukan mahasiswa dan gerakan sosial yang dipelopori anak muda. Contoh yang masih segar dalam ingatan adalah konflik internal sebuah partai besar antara sosok muda ketua umumnya dan sang 'empunya' partai yang saat itu menjadi penguasa.

Itu semua adalah contoh betapa persoalan mengelola ekspektasi politik lintas generasi bukanlah perkara gampang, kerap berujung tragis dan traumatis. Melalui perspektif yang lebih optimistik, seharusnya benturan politik dapat kita antisipasi secara rekonsiliatif.

Membangun Indonesia yang berkelanjutan, sejatinya, membutuhkan apresiasi, saling memahami dan kerja sama antara kaum muda dan kaum tuanya. Partisipasi kaum muda menjadi penting karena mewakili semangat kemajuan, keberanian berinovasi dan pembaharuan. Sementara kaum tua juga memiliki kematangan, kebijaksanaan, pengalaman, suatu kehati-hatian yang dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan.

Era politik di masa pemerintahan Presiden Jokowi sesungguhnya juga membawa relasi politik lintas generasi yang cukup positif sekaligus problematik. Sosok Jokowi yang merepresentasikan kehadiran angkatan baru dengan segenap semangat, inklusifitas dan progresifitas ‘muda’-nya.

Kehadiran Jokowi dalam konstalasi politik nasional mestinya didukung pula oleh kehadiran wajah-wajah baru nan segar dan figur-figur politik yang senafas dengan semangat zaman. Apalagi jika menimbang bonus demografi dan jumlah pemilih pada pemilu nanti, yang didominasi oleh suara-suara kaum muda yang menginginkan perubahan, kesegaran dan inovasi.

Sebagian kecil partai politik memang telah mengantisipasi zaman transisi anak muda milenial ini dengan menjalankan sejumlah gebrakan, strategi dan langkah maju. Sejumlah organisasi masyarakat dan institusi politik lain tampak masih tertatih dan berkutat pada problem-problem lama.

Di kalangan masyarakat sipil dan swasta bahkan jauh lebih progresif. Sejumlah anak muda telah didorong untuk menjadi pemimpin organisasi ataupun perusahaan, juga di beberapa kampus untuk menjadi dekan bahkan rektor. Di sejumlah media besar, anak muda telah pula ditunjuk untuk menjadi pimpinan-pemimpin redaksi.

Era ekonomi kreatif dan digital juga membuka banyak peluang kesempatan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Aktor utama ekonomi digital, startup, beserta segenap pangsa pasarnya, tentunya adalah para anak muda. Anak muda era digital ini membawa kekhasan berupa karakteristik sosiologis yang mendukung model politik terbuka ketimbang tertutup, kompetensi dan transparasi ketimbang kroni dan manipulasi, kolaborasi ketimbang dominasi, mitra ketimbang seteru.

Era milenial ditandai pula dengan fenomena di mana para anak muda terdorong lebih partisipatif merespon persoalan-persoalan sosial ekonomi dan politik di sekitar mereka secara kreatif dan mandiri.

Dalam berpolitik, anak muda menjalankannya secara lebih rileks, sinis namun cukup bijak, dan cukup jernih dalam melihat persoalan-persoalan bernegara. Politik tidak dilihat sebagai jalan persaingan ideologis yang konfliktual atau bagian dari plot pertarungan kepentingan penuh intrik, melainkan lebih dipandang sebagai jalan untuk berkarya, bekerja sama dan bergembira.

Politik jaman now oleh para kaum muda kekinian dicirikan dengan adanya kesadaran membentuk dan merawat komunitas-komunitas epistemik. Hal ini dilakukan dalam rangka berbagi manfaat sosial ekonomi dan nilai-nilai kebajikan bersama sebagai sesama anak bangsa, sebuah nasionalisme era kekinian.

Satu hal yang juga membanggakan adalah kemampuan para anak muda ini bersosialisasi dalam lanskap masyarakat majemuk sekaligus kosmopolit. Meski harus diakui, ada yang masih terperangkap dalam perilaku dan model politik yang konfliktual dan radikal dalam menghadapi berbagai kontradiksi ekonomi politik di sekitar mereka, namun jumlahnya tak banyak.

Tentunya para anak muda jaman now ini tetap membutuhkan inspirasi, mentor dan teladan yang bijak sebagai jembatan antar generasi. Selebihnya, mari kita saksikan para generasi kreatif ini bekerja dan berupaya mengukir prestasi, merintis Indonesia yang mandiri, adil dan maju menuju tahun 2045 nanti. Seratus tahun usia republik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar