Politik
Jaman Old Vs Politik Jaman Now
Dimas Oky Nugroho ; Founder Kader Bangsa Fellowship Program:
Sekolah Pemimpin Muda Indonesia;
Peneliti Senior di Akar Rumput
Strategic Consulting (ARSC) Jakarta
|
TEMPO.CO,
20 Februari
2018
Selama
ini kita umumnya menilai bahwa munculnya konflik (politik) dilatari oleh
pertarungan ideologis, perbedaan kepentingan politik antar elit, atau
rivalitas antar kekuatan oligarki semata. Jarang yang menyadari bahwa konflik
terjadi justru ketika ekspektasi politik antar generasi yakni antara kaum
muda dan kaum tua, gagal terkelola secara produktif.
Tak
heran di banyak negara, harmonisasi dan penanganan potensi anak muda dengan
berbagai ekspresi dan kritisismenya selalu menjadi prioritas dalam strategi
dan kebijakan pemerintah serta institusi politik. Hal ini dilakukan untuk
menjamin kohesivitas, regenerasi dan keberlanjutan berbagai agenda
pembangunan di negara-negara tersebut.
Sejarah
pembentukan dan perjalanan politik Indonesia sendiri tak dapat dilepaskan
dari dialektika kaum muda-kaum tuanya. Dalam sejarah, relasi politik antar
kaum muda dan kaum tua aktor-aktor politik Indonesia, diakui atau tidak,
kerap berwujud konfliktual.
Gesekan
antara ‘kaoem toea’ dan ‘kaoem moeda’ terjadi sejak jaman pergerakan, jelang
proklamasi Agustus 1945, dan berlanjut di era mempertahankan kemerdekaan.
Perpecahan internal partai dan konflik antar elit di tubuh Angkatan Darat
menjelang kejatuhan Rezim Orde Lama juga dilatari antara lain oleh sentimen
antar faksi antar generasi ini.
Demikian
juga rangkaian demo anti-Orde Baru yang dilakukan mahasiswa dan gerakan
sosial yang dipelopori anak muda. Contoh yang masih segar dalam ingatan
adalah konflik internal sebuah partai besar antara sosok muda ketua umumnya
dan sang 'empunya' partai yang saat itu menjadi penguasa.
Itu
semua adalah contoh betapa persoalan mengelola ekspektasi politik lintas
generasi bukanlah perkara gampang, kerap berujung tragis dan traumatis.
Melalui perspektif yang lebih optimistik, seharusnya benturan politik dapat
kita antisipasi secara rekonsiliatif.
Membangun
Indonesia yang berkelanjutan, sejatinya, membutuhkan apresiasi, saling
memahami dan kerja sama antara kaum muda dan kaum tuanya. Partisipasi kaum
muda menjadi penting karena mewakili semangat kemajuan, keberanian berinovasi
dan pembaharuan. Sementara kaum tua juga memiliki kematangan, kebijaksanaan,
pengalaman, suatu kehati-hatian yang dibutuhkan dalam proses pengambilan
keputusan.
Era
politik di masa pemerintahan Presiden Jokowi sesungguhnya juga membawa relasi
politik lintas generasi yang cukup positif sekaligus problematik. Sosok
Jokowi yang merepresentasikan kehadiran angkatan baru dengan segenap
semangat, inklusifitas dan progresifitas ‘muda’-nya.
Kehadiran
Jokowi dalam konstalasi politik nasional mestinya didukung pula oleh
kehadiran wajah-wajah baru nan segar dan figur-figur politik yang senafas
dengan semangat zaman. Apalagi jika menimbang bonus demografi dan jumlah
pemilih pada pemilu nanti, yang didominasi oleh suara-suara kaum muda yang
menginginkan perubahan, kesegaran dan inovasi.
Sebagian
kecil partai politik memang telah mengantisipasi zaman transisi anak muda
milenial ini dengan menjalankan sejumlah gebrakan, strategi dan langkah maju.
Sejumlah organisasi masyarakat dan institusi politik lain tampak masih
tertatih dan berkutat pada problem-problem lama.
Di
kalangan masyarakat sipil dan swasta bahkan jauh lebih progresif. Sejumlah
anak muda telah didorong untuk menjadi pemimpin organisasi ataupun
perusahaan, juga di beberapa kampus untuk menjadi dekan bahkan rektor. Di
sejumlah media besar, anak muda telah pula ditunjuk untuk menjadi
pimpinan-pemimpin redaksi.
Era
ekonomi kreatif dan digital juga membuka banyak peluang kesempatan dan
peningkatan kesejahteraan ekonomi. Aktor utama ekonomi digital, startup,
beserta segenap pangsa pasarnya, tentunya adalah para anak muda. Anak muda
era digital ini membawa kekhasan berupa karakteristik sosiologis yang
mendukung model politik terbuka ketimbang tertutup, kompetensi dan
transparasi ketimbang kroni dan manipulasi, kolaborasi ketimbang dominasi,
mitra ketimbang seteru.
Era
milenial ditandai pula dengan fenomena di mana para anak muda terdorong lebih
partisipatif merespon persoalan-persoalan sosial ekonomi dan politik di
sekitar mereka secara kreatif dan mandiri.
Dalam
berpolitik, anak muda menjalankannya secara lebih rileks, sinis namun cukup
bijak, dan cukup jernih dalam melihat persoalan-persoalan bernegara. Politik
tidak dilihat sebagai jalan persaingan ideologis yang konfliktual atau bagian
dari plot pertarungan kepentingan penuh intrik, melainkan lebih dipandang
sebagai jalan untuk berkarya, bekerja sama dan bergembira.
Politik
jaman now oleh para kaum muda kekinian dicirikan dengan adanya kesadaran
membentuk dan merawat komunitas-komunitas epistemik. Hal ini dilakukan dalam
rangka berbagi manfaat sosial ekonomi dan nilai-nilai kebajikan bersama
sebagai sesama anak bangsa, sebuah nasionalisme era kekinian.
Satu
hal yang juga membanggakan adalah kemampuan para anak muda ini bersosialisasi
dalam lanskap masyarakat majemuk sekaligus kosmopolit. Meski harus diakui,
ada yang masih terperangkap dalam perilaku dan model politik yang konfliktual
dan radikal dalam menghadapi berbagai kontradiksi ekonomi politik di sekitar
mereka, namun jumlahnya tak banyak.
Tentunya
para anak muda jaman now ini tetap membutuhkan inspirasi, mentor dan teladan
yang bijak sebagai jembatan antar generasi. Selebihnya, mari kita saksikan
para generasi kreatif ini bekerja dan berupaya mengukir prestasi, merintis
Indonesia yang mandiri, adil dan maju menuju tahun 2045 nanti. Seratus tahun
usia republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar