Hilangnya
Rasa Malu
Binsar Jonathan Pakpahan ; Pengajar Filsafat dan Etika
di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta
|
KOMPAS,
27 Februari
2018
Terbukanya informasi
mengenai proses penanganan kasus korupsi KTP elektronik yang menjerat eks
Ketua DPR RI Setya Novanto memperlihatkan sebuah drama hilangnya rasa malu.
Pembohongan publik terjadi melalui terungkapnya informasi bahwa rumah sakit
sudah dipesan sebelum kecelakaan terjadi, dan ketika dokter yang ditugaskan
KPK untuk memeriksa menyatakan bahwa tersangka sehat, tetapi yang
bersangkutan menyatakan sakit kepada hakim sehingga tidak sanggup menyebutkan
namanya dengan jelas dalam persidangan pertama.
Peristiwa serupa kita lihat
juga dalam beberapa kasus lain, yakni seseorang melakukan pembohongan publik
tanpa merasa malu atau salah. Pertanyaan, apakah seseorang bisa
memperlihatkan kebohongan dengan jelas kepada publik tanpa merasa bersalah
atau malu? Atau, apakah perasaan tidak bersalah menutupi rasa malu yang
bersangkutan? Apa relasi antara rasa salah dan malu?
Norma
moral
Dalam masyarakat yang
lebih memiliki relasi kekerabatan lebih dekat, seperti negara-negara di Asia,
rasa hormat dan malu memiliki peran yang lebih kuat sebagai norma moral dalam
masyarakat dari rasa benar dan salah dalam norma hukum. Ketika seseorang
melakukan kesalahan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan,
seperti Jepang dan Korea Selatan, dia dengan sendirinya akan merasa malu
kepada publik atas kegagalannya. Sementara dalam masyarakat ini, seseorang
bisa melanggar hukum untuk membela kehormatannya, misalnya membunuh demi
kehormatan keluarga. Di pihak lain, masyarakat yang lebih memegang norma
hukum lebih menegakkan rasa benar dan salah dalam perubahan sikap, dan rasa
malu muncul hanya untuk hal-hal yang bersifat personal.
Rasa salah dan malu adalah
bagian dari emosi. Ada tiga teori umum yang menggambarkan proses terbentuknya
emosi. Teori pertama mengatakan bahwa emosi adalah bentukan masyarakat. Dalam
hal ini, seseorang yang tidak merasa malu atau salah tidak merasakannya
karena masyarakat tidak menyatakan bahwa itu salah atau memalukan, atau
karena masyarakat memiliki norma yang berbeda. Saya baru merasa malu kalau
masyarakat menyatakan bahwa tindakan saya menghilangkan kehormatan saya.
Dalam konteks masyarakat
yang lebih individual, rasa malu tak lagi bergantung pada masyarakat, dan
masuk ke ruang privat. Seseorang yang korupsi akan merasa bersalah, tetapi
tak merasa malu. Meski demikian, konektivitas dunia melalui media sosial
membawa teori emosi sebagai bentukan masyarakat kembali melalui public
shaming. Kita bisa dengan beramai-ramai menghakimi seseorang melalui media
sosial meski tindakannya tidak melanggar hukum.
Teori kedua menyatakan emosi
adalah bagian dari proses evolusi. Penelitian emosi dalam tradisi evolusi
Darwin melihat perkembangan emosi dalam perspektif evolusi sebagai proses
alami. Mereka yang berada dalam tradisi ini akan membandingkan emosi manusia
dengan spesies lain dan proses adaptasi yang membuat emosi manusia
berkembang. Jika emosi adalah bagian alami dari proses evolusi, bisakah
seseorang disalahkan karena tidak memiliki emosi tertentu? Apakah seseorang
harus bertanggung jawab untuk emosi yang tidak dirasakannya karena tidak
berkembangnya emosi itu dalam dirinya?
Teori ketiga menempatkan
emosi sebagai penilaian. Pemikiran ini bisa ditelusuri sampai ke kaum Stoa
yang memperlihatkan bahwa emosi
adalah hasil dari penilaian seseorang atas sebuah
situasi. Emosi adalah penilaian atas benda-benda, orang-orang, atau
kejadian-kejadian yang melibatkan diri sendiri. Emosi adalah refleksi dari
penilaian seseorang akan hal-hal yang berlangsung baik atau buruk di dalam
hidupnya.
Emosi muncul ketika kita
memproyeksikan hal yang kita lakukan atau belum, lalu memberikan penilaian
terhadapnya. Norma yang membentuk seseorang akan membuatnya mengambil
penilaian kebajikan, apa perasaan yang dimilikinya atas hal tersebut. Dalam
paham ini, seseorang bisa disalahkan ketika dia tidak memiliki perasaan
tertentu karena norma yang dianutnya menyuruhnya untuk merasakan hal itu.
Budaya Timur, khususnya di Indonesia, sepertinya
berada dalam teori emosi pertama, yaitu emosi sebagai bentukan masyarakat.
Pada awalnya, berbagai budaya di Indonesia tak memisahkan malu dan salah,
semuanya masuk dalam penilaian masyarakat. Namun, setelah hukum formal
ditegakkan di masyarakat, negara mengambil alih penilaian benar dan salah,
sedangkan masyarakat hanya bisa menilai terhormat atau memalukan. Pemisahan ini
menimbulkan komplikasi bahwa seseorang bisa merasa malu tapi tidak bersalah,
seperti seorang rentenir yang merasa malu untuk mengakui profesinya kepada
saudaranya, tapi tak merasa bahwa dia melanggar hukum.
Kembalikan
rasa malu
Mengapa seseorang bisa tak
merasa malu? Ada dua sebab. Dalam kasus pelanggaran hukum formal di
masyarakat, ketika kekuatan hukum tidak berjalan dengan baik, seseorang yang
menyandarkan rasa malu pada penilaian masyarakat tidak akan merasa bersalah
sebelum diputus bersalah oleh pengadilan. Ketika sistem peradilan yang tidak
baik membuat yang bersalah lolos dari hukuman, kepercayaan masyarakat
terhadap sistem itu juga jadi rendah.
Alasan kedua berhubungan
dengan bagaimana seseorang meraih kedudukan terhormat di masyarakat. Ketika
seseorang sudah mencapai status terhormat di masyarakat, baik karena posisi,
harta, maupun pekerjaan, ketika dinyatakan bersalah oleh hukum dia tetap
dianggap terhormat di komunitasnya. Lingkaran ini akan mengantar seseorang
pada sikap tanpa rasa salah atau rasa malu.
Bagaimana cara
mengembalikan rasa malu dan salah? Pertama, hukum harus ditegakkan sehingga
seseorang yang bersalah ditetapkan bersalah dan menerima hukuman. Kedua,
pengajaran virtue harus dikuatkan, terutama dalam pengajaran nilai-nilai
moral agama dan bangsa Indonesia, sehingga seseorang harusnya merasa bersalah
dan malu karena penilaian berasal dari pengajaran nilai yang ada dalam
dirinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar