Senin, 26 Februari 2018

Memutus Mata Rantai Kekerasan

Memutus Mata Rantai Kekerasan
Munawir Aziz  ;   Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                KOMPAS.COM, 13 Februari 2018



                                                           
AKSI penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yoyakarta, pada Minggu (11/2/2018), menjadi catatan memilukan dari wilayah ini. Pada pagi yang khusyuk, di tengah proses ibadat di gereja ini, seorang lelaki dengan senjata tajam masuk ke selasar lalu melakukan serangan membabi buta.

Suliyono (23 tahun), lelaki itu, seolah kalap mengayun-ayunkan pedang ke arah pastor dan jemaat. Ia menyerang secara garang dan melawan aparat keamanan, sebelum akhirnya dilumpuhkan. Empat orang terluka, mulai dari jemaat, pastor, hingga aparat kepolisian.

Meski dianggap sebagai lonewolf terrorism atau teror oleh pelaku tunggal yang tidak terafiliasi dengan kelompok teror mana pun, aksi ini membuka tabir gelap betapa kekerasan telah menjadi titik penting untuk memahami Indonesia kini.

Serangan-serangan teror saat ini seolah menarget pemuka agama sebagai korban. Belum lama berselang, Sabtu (27/1/2018), seorang kiai di Cicalengka, Jawa Barat, dibacok "orang gila". Lalu, pada Rabu (7/2/2018), seorang biksu di Kabupaten Tangerang, Banten, juga dipersekusi.

Sebelumnya, catatan aksi teror di Yogyakarta sering terdengar sebagai entakan kekerasan. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri, misalnya, pernah menangkap terduga terorisme di wilayah ini.

Pada 25 Agustus 2015, Agus Ari ditangkap Densus 88. Berikutnya, pada 7 Juni 2017, seorang warga Gunung Kidul, Yogyakarta, diamankan Densus 88 karena dianggap sebagai pemberi dana ke jaringan ISIS di Marawi, Filipina.

Kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat ingatan saya melayang ke masa silam. Selama beberapa tahun saya bermukim di wilayah ini untuk belajar di sebuah perguruan tinggi dan ngaji di Pesantren Krapyak.

Waktu itu, rasanya ketenteraman dan suasana tenang adalah bagian dari keseharian. Hidup terasa seimbang, antara kampus dan pesantren, antara suasana akademis dan ngopi di angkringan. Yogyakarta dalam ingatan adalah tempat yang tenteram dan penuh kenangan.
Namun, Yogyakarta juga membuat saya tersentak ketika terjadi aksi penyerangan terhadap sebuah lembaga diskusi. Pada 9 Mei 2012, sekelompok orang mengobrak-abrik lokasi diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji.

Darinya, saya jadi ingat betul, betapa kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol agama telah menjadi teror untuk menurunkan nilai-nilai toleransi di Yogyakarta. Betapa, wilayah yang sebelumnya terasa tenang dan damai ternyata menyimpan bara kekerasan.

Indeks toleransi 

Melihat kota-kota di Indonesia dalam indeks toleransi seolah berhadapan dengan peta untuk memahami kekerasan sekaligus kedamaian dalam ruang publik. Pada akhir 2017, Setara Institute merilis kajian dan Indeks Kota Toleran di Indonesia.

Indeks tersebut menelaah 94 kota di Indonesia untuk diperingkat dalam isu promosi dan praktik toleransi. Tujuannya, mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun serta mengembangkan toleransi di beberapa wilayah.

Dari laporan tersebut, muncul 10 kota dengan skor toleransi yang tinggi, yakni Manado (5,90), Pematangsiantar (5,90), Salatiga (5,90), Singkawang (5,90), dan Kota Tual (5,90). Kota dengan indeks tinggi selanjutnya adalah Binjai (5,80), Kotamobagu (5,80), Palu (5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72).

Sebaliknya, ada sejumlah kota yang masuk kategori indeks toleransi rendah. Di antara kota-kota ini (wilayah Provinsi) DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh (2,90), Kota Bogor (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78).

Dari catatan Setara, indeks lansiran 2017 tersebut tidak ada perubahan signifikan pada pada kelompok kota dengan skor tertinggi dibandingkan dengan data Indeks Kota Toleran 2015. Kota-kota peringkat tertinggi pada 2017 adalah kota-kota yang sama yang sebelumnya ada di posisi itu juga.

Namun, perubahan signifikan terjadi pada kota-kota atau wilayah yang masuk peringkat indeks rendah, terutama DKI Jakarta dan Bekasi. Peringkat DKI Jakarta, misalnya, turun dari 65 pada 2015 menjadi peringkat 94—sekaligus terendah—pada 2017.

Lalu, Setara juga menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-6 terendah indeks tersebut pada 2017, berdasarkan risetnya. Artinya, Yogyakarta yang selama ini dikenal dengan jargon "City of Tolerance" sesungguhnya tidak menampilkan toleransi dalam tindakan dan keseharian.

Pernyataan yang sama diungkap pada laporan riset Wahid Foundation. Pada 2014, Wahid Foundation menobatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota—atau wilayah—paling tidak toleran nomor dua se-Indonesia.

Dari 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2014—dalam catatan Wahid Foundation—, 21 peristiwa di antaranya terjadi di Yogyakarta.

Pada 2015, peringkat Yogyakarta sebagai kota paling intoleran bergeser menjadi nomor empat. Dari 190 pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi pada tahun itu, 10 di antaranya terjadi di Yogyakarta.

Menurut analisis riset Wahid Foundation, di Yogyakarta terdapat pergulatan politik yang dibungkus agama. Ada pihak-pihak yang diduga menggunakan simbol agama dan beraliansi dengan jaringan kelompok garis keras di sini.

Dari narasi besar ini, perlu ada tindakan untuk memutus mata rantai kekerasan. Terlebih lagi, 2018 dan 2019 merupakan tahun politik dengan adanya pilkada serentak dan pemilu presiden.

Indeks kekerasan dan intoleran dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan pencegahan, yakni dengan kesadaran betapa kekerasan mudah meletup dan menciptakan kepanikan di ruang publik.

Teror, kekerasan, atau penyerangan, sejatinya merupakan pesan untuk mengubah pola permainan atau konstelasi politik.

Melakukan kekerasan atas nama agama menggunakan—atau terhadap—simbol keagamaan merupakan kejahatan yang mengguncang kemanusiaan kita. Tindakan yang diperlukan untuk itu tidak sekadar menangkap pelaku, tetapi—sekali lagi—harus pula dengan memutus mata rantai jaringannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar