Bangsa
yang Lihai Berimajinasi
Iqbal Aji Daryono ; Esais; Tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
20 Februari
2018
Entah Indonesia menempati ranking dunia
nomor berapa dalam soal ini. Namun saya yakin, kita adalah masyarakat yang
memiliki kemampuan tinggi dalam berimajinasi. Banyak cerita yang tersebar
sehari-hari membuktikan betapa dahsyatnya kemampuan imajinasi kita.
Coba ingat, beberapa waktu lalu digelar
tindakan tegas meruntuhkan 90 susunan batu-batu di Sungai Cibojong, Sukabumi.
Para pejabat lokal yang menjalankan aksi nahi munkar itu berimajinasi bahwa
tumpukan bebatuan tersebut terkait dengan aktivitas-aktivitas mistis. Jadilah
sikap tegas yang mereka ambil merupakan aksi nyata dalam memberantas
kemusyrikan.
Lihat, imajinasi yang keren, bukan? Padahal
jika mereka gaul sedikit saja, atau minimal mengikuti akun-akun Instagram
yang bertema jalan-jalan, dengan gampang mereka akan melihat foto susunan
bebatuan seperti itu dibuat di mana-mana. Rock stacking, istilahnya.
Pembuatnya bukan bangsa jin anak buah Bandung Bondowoso, tapi manusia biasa,
para anak muda pencinta alam, atau dedek-dedek kekinian. Tujuannya bukan
untuk disembah, atau untuk mendapatkan ajian Semar Mesem dan Jaran Goyang.
Melainkan sebagai karya seni yang menantang konsentrasi tinggi.
Tengok juga kejadian di Aceh belum lama
berselang. Pohon-pohon cemara ditebangi. Alasannya karena cemara-cemara itu
identik dengan pohon Natal. Jadi karena pohon Natal dibuat dari pohon cemara,
otomatis buat mereka semua cemara dianggap sebagai pohon Natal. Akibatnya,
tak peduli apakah sedang difungsikan sebagai pohon Natal ataukah tidak, semua
pohon cemara diimajinasikan sebagai pohon Kristen.
Untunglah di Indonesia tak ada orang memelihara
rusa kutub. Saya tidak tahu apakah ada kebun binatang kita yang punya hewan
salju yang satu itu. Mudah-mudahan tidak ada. Sebab kalau ada dan sampai
ketahuan oleh para aktivis imajinasi, bisa-bisa rusa kutub ditangkapi, lalu
dideportasi. Landasannya jelas, karena rusa kutub adalah hewan yang menarik
kereta Sinterklas. Jadi sudah pasti dia hewan Kristen!
Lah, yang masih membuat saya bertanya-tanya,
kenapa mereka tidak merazia burung-burung gereja? Kenapa, Milea?
***
Kemampuan berimajinasi seperti itu
sebenarnya bukan barang baru. Di Jogja, pada dekade 90-an pelatihan massal
kemampuan imajinasi malah digelar oleh aparat negara.
Ceritanya, pada waktu itu sedang nge-hits
sebuah alat pijat. Bentuknya seperti tanda tanya. Tangkai pegangannya
panjang, ujungnya ada bola kayunya, sehingga bisa digunakan untuk
self-massage punggung oleh penggunanya.
Karena banyak orang merasa terbantu, apalagi
buat mereka yang kesepian sehingga tak punya siapa pun sebagai tempat mengadu
di kala punggungnya pegal-pegal, alat itu pun laris manis. Banyak warung
memajang dan menjajakannya, banyak orang membelinya.
Namun tiba-tiba bapak-bapak dari Kodim
melakukan razia. Alat pijat enak itu disita dari warung-warung. Ia tak boleh
diperjualbelikan lagi, dan untuk membawanya ke luar rumah pun orang-orang
yang kadung membelinya tak mungkin bakal berani. Dasar pemikiran pelarangan
itu ternyata sangat ilmiah: yaitu karena bentuk alat pijat tersebut diianggap
mirip dengan lambang partai terlarang! Dhuerrr!
Imajinasi yang maut, bukan? Karena alat
pijat itu bentuknya melengkung, pak tentara jadi ingat bentuk arit. Karena
teringat bentuk arit, terbayanglah di kepala mereka simbol komunis.
Canggihnya, aritnya sendiri malah tidak dilarang. Tidak terdengar satu kali
pun razia digelar di sawah-sawah, untuk menyita arit-arit dan membebaskan
para petani dari paparan bahaya laten komunis. Tidak terdengar juga aparat
negara mengambil paksa palu-palu dari tangan para tukang batu, juga dari
lapak-lapak toko besi.
Kebiasaan berimajinasi seperti itu terus
mentradisi, menjadi skill kebanggaan manusia Indonesia. Kalau mau dikorek,
masih banyak sekali contoh kasus lainnya. Namun yang paling cespleng memang
semua yang terkait dengan bahaya laten komunis. Kenapa? Sebab negeri ini
memang punya trauma komunal mendalam terkait potongan sejarah kelam 50 tahun
lalu. Trauma itu terus menjadi kebun subur bagi tersemainya ketakutan, dan
ketakutan adalah alat pemasaran yang sangat menjanjikan peluang-peluang.
Jadi jangan heran-heran amat, kalau tiap
kali musim politik tiba, isu kebangkitan komunis selalu dijadikan bahan
dagangan. Dengan berjualan isu kebangkitan komunis, imajinasi publik bisa
merebak dengan liarnya. Celakanya, sangat sedikit tokoh politik yang berani
membantahnya, atau menetralisasinya. Sebab para praktisi imajinasi tetap
mengikuti alur logika yang konsisten imajinatif: siapa pun yang membantah isu
kebangkitan komunis, otomatis dia pro-komunis.
Nah, politisi mana yang mau dituduh
pro-komunis, coba? Bisa-bisa habis karier politiknya, padahal belum lunas
utang-utang biaya kampanyenya.
Lebih sial lagi, para aktivis muda yang
sepertinya kepingin menjalankan edukasi publik agar kita tidak terus-menerus
terpasung dalam trauma massal 50 tahun silam, justru kadangkala melakukan
tindakan-tindakan yang norak, caper, dan kekanak-kanakan. Misalnya dengan
memakai kaos palu-arit di ruang publik, dalam ajang demonstrasi buruh pula.
Hasilnya, alih-alih menetralisasi imajinasi
umat agar tak lagi mudah diaduk-aduk emosinya dengan isu kebangkitan komunis,
yang terjadi malah sebaliknya: bumerang tajam! Orang kebanyakan justru
semakin percaya bahwa kebangkitan komunis itu nyata. "Tuh lihat, nyata
sekali mereka semakin terang-terangan menampakkan diri! Rapatkan barisan! Siagakan
kekuatan umat!"
Padahal yang sebenarnya terjadi tak lebih
dari kebangkitan seorang anak muda labil dan krisis eksistensi, yang mau
pamer kaos oleh-oleh dari temannya, sepulangnya si teman dari Vietnam untuk
misi darmawisata. Healah....
***
Hari-hari ini, imajinasi atas bangkitnya
komunis sudah mulai dikitik-kitik lagi. Maklum, tahun politik. Sisa panas
2014 terus membara, dinyalakan lagi oleh Pilkada DKI dan Dua-Satu-Dua.
Sekarang musim Pilkada di mana-mana, dan tahun depan Pemilu dan Pilpres akan
kembali memanaskan ruang-ruang kasak-kusuk kita. Sempurna sudah, Sodara.
Menu pertama untuk merebus isu kebangkitan
komunis, kita tahu, adalah serangan orang-orang gila. Karena yang diserang
adalah para ulama, dan karena di masa lalu kaum ulama pernah berkonflik
dengan orang komunis, maka imajinasi yang paling gampang diracik adalah: PKI
bangkit lagi dan menyerang para ulama. Apa bukti dugaan itu? Tidak ada. Ya,
tidak ada.
Lihat, lagi-lagi imajinasi menjalankan
perannya.
Lalu apakah semua ini kebetulan semata? Bisa
ya, bisa tidak. Meski sampai detik ini saya belum percaya, tapi kemungkinan
bahwa aksi-aksi orang gila itu by design bukan lantas tertutup. Kemungkinan
itu selalu ada, negeri ini pernah mengalami pola-pola serupa, dan saya sangat
mendukung aparat yang punya wewenang untuk secara serius mengusutnya. Namun,
kalau boleh saya berpesan, ada satu hal yang ingin saya sampaikan.
Begini. Jika memang kemunculan orang-orang
gila itu ada sutradaranya, secara logis tujuannya jelas, yakni untuk
menciptakan keresahan dan instabilitas. Maka semakin kita reaktif, semakin
kita emosi dan gagal mengendalikan diri, semakin kita berteriak memanaskan
situasi dan bukan malah meredamnya, maka sesungguhnya dengan konyol kita
sudah jatuh ke dalam perangkap yang dipasang Si Sutradara. Gotcha! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar