Gus
Dur, Gus Mus,
dan
Jalan Cinta untuk Diplomasi Israel-Palestina
Munawir Aziz ; Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS.COM,
06 Februari 2018
PADA
1982, di tengah gelanggang politik Indonesia yang dicengkeram rezim Orde
Baru, Gus Dur—Abdurrahman Wahid—membuat manuver untuk perdamaian
internasional. Ketika itu, Gus Dur mendapat amanah sebagai Ketua Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ). Gus Dur bersama beberapa seniman, merancang beberapa
program untuk kesenian dan sastra, untuk menguatkan kebudayaan.
Sebagai
Ketua DKJ, Gus Dur mendapat banyak
kritik. Terlebih lagi, ketika itu Gus Dur juga menjadi pimpinan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Langkah Gus Dur, sebagai pemimpin kaum seniman,
ditentang para kiai. Argumentasi kritik yang mengalir, “Ketua Nahdlatul Ulama kok ndalang?”
Kritik
ini bukan tanpa sebab. Sebagian besar kiai belum akrab dengan seniman dan
sastrawan. Hanya sedikit kiai memahami alur pemikiran Gus Dur. Hanya sedikit
pula, kiai-kiai yang srawung dengan seniman.
Di
tengah hujan kritik, Gus Dur terus melaju. Ia bersama beberapa sastrawan,
mencetuskan ide untuk menyelenggarakan Malam Perdamaian untuk Palestina.
Sastrawan-sastrawan Ibu Kota tampil turut berpartisipasi, antara lain
Sutardji Calzoum Bahri, Subagyo Sastrowardoyo, dan beberapa penyair lain.
Ketika
itu, Gus Dur, mengundang sahabatnya, Kiai Mustofa Bisri ( Gus Mus) membaca
puisi bersanding dengan beberapa penyair. Sontak saja, Gus Mus bingung sekaligus kaget. Ia belum
pernah sekalipun tampil sebagai penyair, apalagi bersamaan dengan beberapa
sastrawan yang telah dikenal publik.
Oleh
Gus Dur, Gus Mus diminta membaca puisi-puisi karya sastrawan Palestina.
Inilah momentum yang menjadikan Gus Mus sebagai sastrawan, sebagai budayawan.
Ketika
silaturahmi ke ndalem Gus Mus, saya beberapa kali mendapatkan kisah-kisah itu
dalam perbicangan di hadapan beberapa tamu. Juga, kisah-kisah menarik tentang
persahabatan beliau dengan Gus Dur serta pandangannya terhadap isu
Israel-Palestina.
Singkat
cerita, peristiwa pada 1982 itu yang mempromosikan Gus Mus menjadi ‘penyair’.
Setelah
35 tahun berlalu, Gus Mus mengulang kembali jejak Gus Dur dengan menggelar
malam puisi Doa untuk Palestina, pada akhir Agustus 2017.
Agenda
yang diinisiasi Gus Mus ini dihadiri beberapa sastrawan dan cendekiawan Tanah
Air, seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum
Bachri, Jamal D Rahman, Butet Kertaredjasa, Prof Dr Mahfud MD, dan Ulil
Abshar Abdalla. Tampil juga Prof Quraish Shibah dan putrinya, Najwa Shihab.
Pada
agenda ini, Gus Mus membacakan puisi "Orang Palestina, Begitulah
Namaku", anggitan Harun Hashim al-Rashid. Gus Mus berdampingan dengan
Slamet Rahardjo Djarot, yang membacakan puisi itu secara bilingual—Arab dan
Indonesia.
Jalan
cinta ditempuh Gus Mus untuk menyuarakan diplomasi perdamaian dalam konflik
Israel-Palestina. Gus Mus, selama ini dikenal sebagai tokoh Muslim Indonesia
yang menyuarakan moderatisme Islam dan perdamaian. Dalam beberapa kesempatan,
Gus Mus berkunjung ke negara-negara Eropa dan Amerika untuk mengkampanyekan
pentingnya agama yang ramah dan toleran.
Kisah-kisah
Islam di Indonesia dan nilai-nilai agama yang diwariskan oleh ulama, menjadi
pesan perdamaian yang dibawakan Gus Mus. Diplomasi damai inilah yang selama
ini dipraktikkan oleh Gus Mus dan Gus Dur.
Konflik
kebencian
Manuver-manuver
Gus Dur sering disalahpahami oleh publik di negeri ini. Strategi diplomasi
Gus Dur dalam isu perdamaian Israel-Palestina sering dianggap sebagai
lelucon.
Langkah
Gus Dur yang bersahabat dengan tokoh-tokoh Israel menuai gelombang kritik.
Terlebih lagi, Gus Dur juga pernah menjadi anggota The Peres Center for Peace
and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan mantan Presiden Israel
Simon Peres.
Gus
Dur juga berkawan dengan tokoh-tokoh politik dan agama di Israel. Ia
bersahabat dengan Presiden Yitzak Rabin. Pada 1994, Gus Dur diundang Rabin
untuk melihat prosesi penandatanganan nota perdamaian Israel-Yordania. Gus
Dur juga melakukan dialog dengan beberapa pemimpin agama di Israel, untuk
mengupayakan perdamaian.
Ketika
menjadi presiden, pernyataan perdana yang disampaikan Gus Dur dalam konteks
politik luar negeri adalah membuka hubungan dagang dengan Israel. Pernyataan
Gus Dur ini disampaikan pada agenda ‘Indonesia Next’ di Jimbaran, Bali, pada
Oktober 1999.
Langkah
tersebut membuat publik terhenyak, apalagi Gus Dur juga melihat bahwa China
dan India perlu dijadikan partner ekonomi dan politik Indonesia, sebagai
negara Asia yang berkembang pesat.
Lalu,
mengapa harus Israel? Strategi politik ini, menurut Gus Dur berdampak
signifikan bagi diplomasi politik Indonesia, baik dalam ranah regional maupun
internasional.
Gus
Dur berupaya membenamkan musuh-musuh imajiner bangsa Indonesia, tentang
profil Israel yang selama ini dicitrakan demikian negatif di ruang publik.
“Gus
Dur percaya untuk menjadikan Indonesia dapat memperoleh kematangan sebagai
suatu bangsa, ia harus berani menghadapi musuh-musuh imajiner itu dan
mengganti kecurigaan dengan persahabatan dan dialog,” tulis Greg Barton dalam
Biografi Gus Dur yang dilansir pada 2003.
Langkah-langkah
Gus Dur sering disalahpahami. Gus Dur tidak semata melobi Israel, tetapi juga
merangkul Palestina. Ia bersahabat pula dengan pemimpin dan tokoh Palestina.
Ada
sebuah kisah tentang Gus Dur yang sangat
perhatian dengan Palestina. Pada awal 1990-an, Gus Dur sering menyuruh
keponakannya, Muhaimin Iskandar, untuk membayar rekening listrik Kedubes
Palestina.
Ketika
itu, Gus Dur menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama serta malang melintang
sebagai cendekiawan, aktivis, dan pejuang isu-isu hak asasi manusia (HAM).
Muhaimin masih nyantrik kepada Gus Dur, sebagai sekretaris pribadi.
Pada
saat itu, Palestina juga belum diakui dunia internasional sebagai negara yang
merdeka. Gus Dur memikirkan diplomasi Palestina di tingkat internasional,
sekaligus memikirkan hal teknis untuk menopang kedaulatannya. Gus Dur tidak
menginginkan perang berlarut-larut antara Israel dan Palestina.
Langkah-langkah
Gus Dur sering tidak dipahami oleh orang-orang yang selama ini berteriak
kencang terkait isu Israel-Palestina. Gus Dur tidak setuju dengan strategi
mengirimkan relawan ke Palestina, karena tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru,
menurut Gus Dur, diplomasi dan dukungan konkret di bidang politik dan
kebudayaan akan lebih berdampak signifikan.
Langkah
Gus Dur melakukan manuver-manuver politik untuk diplomasi perdamaian perlu
dibaca dalam bingkai yang utuh. Dukungan Gus Dur terhadap Palestina dengan
jalan sastra dan politik perlu menjadi pelajaran penting.
Langkah
tersebut diteruskan Gus Mus untuk mengupayakan perdamaian Israel-Palestina,
melalui media cinta yang berdentum universal, yaitu puisi. Saat ini, kita
menunggu diplomasi cinta untuk perdamaian di negeri-negeri Timur Tengah dan
dunia internasional.
Indonesia
memiliki peluang dalam ruang diplomasi perdamaian ini, melalui jalur cinta,
jalan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar