Andai
Ada Banyak Buya Syafi’i
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah
Jawa Timur
|
JAWA
POS, 19 Februari 2018
TATKALA
terjadi insiden kekerasan terhadap tokoh agama di Gereja Katolik Santa
Lidwina, Sleman, Jogjakarta, pada Ahad (11/2/2018), Ahmad Syafi’i Ma’arif
segera mendatangi lokasi kejadian. Dengan masygul, guru bangsa yang akrab
disapa Buya Syafi’i ini menunjukkan kekecewaan mendalam. Apalagi, insiden itu
terjadi di rumah ibadah ketika jemaat melakukan prosesi misa.
Buya
Syafi’i meminta aparat mengusut tuntas insiden yang melukai Pastor Karl
Edmund Prier dan sejumlah jemaat gereja. Kekecewaan Buya Syafi’i dapat
dimaklumi karena insiden serupa dialami sebagian ulama dan kiai. Bukan hanya
dalam bentuk kekerasan fisik, para ulama juga menjadi korban penolakan
sebagian umat ketika menghadiri undangan ceramah agama.
Apa
yang dilakukan Buya Syafi’i menunjukkan keprihatinannya terhadap berbagai
insiden radikalisme bernuansa agama. Bahkan, tidak jarang dalam insiden
radikalisme tersebut terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu juga dikritik
Buya Syafi’i. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku
bom bunuh diri tergolong pengecut karena berani menghadapi kematian, namun
takut dengan kehidupan.
Dalam
konteks kehidupan berbangsa yang sangat majemuk, Buya Syafi’i tampak tidak
pernah mengenal lelah untuk mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap
nilai-nilai multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan paham yang
mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya.
Multikulturalisme juga meniscayakan kelompok mayoritas mengakomodasi kelompok
minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap terjaga (Will Kymlicka
dalam Multicultural Citizenship, 1995).
Menurut
Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan mengapa kesadaran
multikulturalisme penting. Pertama, adanya fenomena penindasan atas dasar
etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (ingroup,
minna) dan mereka (outgroup, minhum) dilembagakan begitu rupa dalam rangka
menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi
terjadi di berbagai wilayah publik, misalnya pekerjaan, pendidikan, jabatan
politik, dan hubungan sosial yang lain.
Kedua,
istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginalkan
kelompok tertentu dengan memberikan label ’’tidak terlalu penting’’ dalam
berhubungan dengan kelompok dominan. Dampaknya, perasaan rendah diri semakin
terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas. Pada konteks inilah,
multikulturalisme penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok
minoritas. Mereka harus mendapatkan ruang untuk mengembangkan identitas
budayanya.
Ketiga,
kaum urban dan migran sering menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok
dominan. Situasi tersebut semakin terasa sejak Undang-Undang Otonomi Daerah
dilaksanakan. Apalagi, dalam banyak kasus, otonomi daerah sering
disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli. Akibatnya,
terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang. Dalam konteks dinamika politik
lokal saat ini, perekrutan pejabat publik juga tidak didasarkan kepada
kompetensi, tetapi dilandaskan asal daerah, golongan, dan afiliasi politik.
Sebagai
upaya untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, rasanya kita layak
merenungkan pandangan filosof Perancis Emmanuel Lavinas (1971). Dalam teori
tentang penampakan wajah (The face of
the other), Lavinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari
aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku.
Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan,
kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif
dalam kehidupan.
Melalui
teori penampakan wajah, selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah
yang lain meniscayakan orang saling bertegur sapa. Penampakan wajah tidak
pernah membiarkan orang terlepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan
dihadapkan kepada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah
yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga mengkristal dalam kesadaran
seseorang.
Teori Lavinas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain
merupakan bentuk hubungan yang ditandai empati dan nir-kepentingan.
Hubungan
itu menjadikan seseorang bertanggung jawab terhadap yang lain tanpa menuntut
balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi.
Jika pandangan Lavinas diterjemahkan dalam membangun kehidupan berbangsa,
akan terasa indah. Setiap individu dan kelompok tidak akan mudah menghakimi,
apalagi menyakiti, karena selalu tergambar dalam dirinya wajah orang lain.
Manyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.
Jika
kesadaran multikulturalisme dibumikan, kita akan melihat pluralitas secara
positif. Multikulturalisme penting untuk menumbuhkan komitmen yang tulus
sehingga masing-masing terlibat dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan
agama. Spirit itulah yang terus digelorakan Buya Syafi’i bersama lembaga yang
didirikannya, Maarif Institute for
Culture and Humanity. Tetapi, harus diakui, posisi yang dipilih Buya
Syafi’i berpotensi memicu kontroversi, bahkan amarah. Akhirnya, semoga negeri
ini melahirkan banyak guru bangsa sekelas Buya Syafi’i. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar