Minggu, 25 Februari 2018

Andai Ada Banyak Buya Syafi’i

Andai Ada Banyak Buya Syafi’i
Biyanto ;  Dosen UIN Sunan Ampel;   
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
                                                    JAWA POS, 19 Februari 2018



                                                           
TATKALA terjadi insiden kekerasan terhadap tokoh agama di Gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Jogjakarta, pada Ahad (11/2/2018), Ahmad Syafi’i Ma’arif segera mendatangi lokasi kejadian. Dengan masygul, guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafi’i ini menunjukkan kekecewaan mendalam. Apalagi, insiden itu terjadi di rumah ibadah ketika jemaat melakukan prosesi misa.

Buya Syafi’i meminta aparat mengusut tuntas insiden yang melukai Pastor Karl Edmund Prier dan sejumlah jemaat gereja. Kekecewaan Buya Syafi’i dapat dimaklumi karena insiden serupa dialami sebagian ulama dan kiai. Bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, para ulama juga menjadi korban penolakan sebagian umat ketika menghadiri undangan ceramah agama.

Apa yang dilakukan Buya Syafi’i menunjukkan keprihatinannya terhadap berbagai insiden radikalisme bernuansa agama. Bahkan, tidak jarang dalam insiden radikalisme tersebut terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu juga dikritik Buya Syafi’i. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tergolong pengecut karena berani menghadapi kematian, namun takut dengan kehidupan.

Dalam konteks kehidupan berbangsa yang sangat majemuk, Buya Syafi’i tampak tidak pernah mengenal lelah untuk mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap nilai-nilai multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya. Multikulturalisme juga meniscayakan kelompok mayoritas mengakomodasi kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap terjaga (Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship, 1995).

Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan mengapa kesadaran multikulturalisme penting. Pertama, adanya fenomena penindasan atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (ingroup, minna) dan mereka (outgroup, minhum) dilembagakan begitu rupa dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi terjadi di berbagai wilayah publik, misalnya pekerjaan, pendidikan, jabatan politik, dan hubungan sosial yang lain.

Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginalkan kelompok tertentu dengan memberikan label ’’tidak terlalu penting’’ dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Dampaknya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas. Pada konteks inilah, multikulturalisme penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok minoritas. Mereka harus mendapatkan ruang untuk mengembangkan identitas budayanya.

Ketiga, kaum urban dan migran sering menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi tersebut semakin terasa sejak Undang-Undang Otonomi Daerah dilaksanakan. Apalagi, dalam banyak kasus, otonomi daerah sering disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang. Dalam konteks dinamika politik lokal saat ini, perekrutan pejabat publik juga tidak didasarkan kepada kompetensi, tetapi dilandaskan asal daerah, golongan, dan afiliasi politik.

Sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, rasanya kita layak merenungkan pandangan filosof Perancis Emmanuel Lavinas (1971). Dalam teori tentang penampakan wajah (The face of the other), Lavinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku. Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan, kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.

Melalui teori penampakan wajah, selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain meniscayakan orang saling bertegur sapa. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang terlepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan kepada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga mengkristal dalam kesadaran seseorang. 

Teori Lavinas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai empati dan nir-kepentingan.
Hubungan itu menjadikan seseorang bertanggung jawab terhadap yang lain tanpa menuntut balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Jika pandangan Lavinas diterjemahkan dalam membangun kehidupan berbangsa, akan terasa indah. Setiap individu dan kelompok tidak akan mudah menghakimi, apalagi menyakiti, karena selalu tergambar dalam dirinya wajah orang lain. Manyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.

Jika kesadaran multikulturalisme dibumikan, kita akan melihat pluralitas secara positif. Multikulturalisme penting untuk menumbuhkan komitmen yang tulus sehingga masing-masing terlibat dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Spirit itulah yang terus digelorakan Buya Syafi’i bersama lembaga yang didirikannya, Maarif Institute for Culture and Humanity. Tetapi, harus diakui, posisi yang dipilih Buya Syafi’i berpotensi memicu kontroversi, bahkan amarah. Akhirnya, semoga negeri ini melahirkan banyak guru bangsa sekelas Buya Syafi’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar