Minggu, 25 Februari 2018

ASN di Tahun Politik

ASN di Tahun Politik
Miftah Thoha  ;   Guru Besar Universitas Gadjah Mada
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2018



                                                           
Tahun ini tahun politik karena semua partai politik yang telah resmi menjadi parpol sesuai dengan undang-undang pemilu akan mengajukan calon-calon kepala daerah di seluruh negeri ini dalam rangka Pilkada 2018.

Setahun kemudian, tahun 2019, berlangsung pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). Di mana posisi aparatur sipil negara (ASN) di tahun politik ini?

ASN, menurut UU-nya, bukanlah organisasi politik, melainkan organisasi aparatur negara yang profesional dan netral dari politik. Profesionalitas dan netralitas itu sama dengan kedudukan polisi dan TNI sebagai aparatur negara yang profesional dan tak berpolitik praktis di tahun politik seperti sekarang ini dan di tahun- tahun yang akan datang.

UU dari tiga organisasi aparatur negara itu jelas menyatakan kenetralan dan keprofesionalan itu. Namun, di tahun-tahun politik seperti ini, parpol selalu mencari alasan dan cara untuk mengintervensinya agar ASN terlibat di arena politik. Banyak cara yang dilakukannya, mulai dari menafsirkan sendiri UU atau peraturan lainnya sesuai dengan keinginan politiknya, sampai pada menggunakan dana  fasilitas dan sumber daya aparatur  pemerintah dalam program kampanye.

Contohnya, banyak calon kepala daerah petahana yang melakukan kampanye secara diam-diam ataupun terang-terangan didukung oleh aparatur sipil di pemerintah daerahnya dan dikhawatirkan juga menggunakan dana operasional jabatannya. Pemberian bahan kebutuhan pokok, sertifikat tanah, pemberian bantuan kesehatan sekolah dan lain sebagainya dilakukan oleh pegawai aparatur sipil di bawah pemerintahannya.

Belum lagi proses pengangkatan, promosi, dan pemberhentian jabatan yang sangat bergantung pada keputusan pejabat pimpinan (politik), terutama pejabat petahana yang maju lagi dalam pilkada. ASN yang berada pada posisi kekuasaan calon amat sulit untuk menghindari ajakan atau paksaan dari pimpinannya itu.

Dalam UU ASN memang ada celah yang bisa dipergunakan untuk mengintervensi ASN ke dalam  politik. Pejabat pembina ASN adalah Presiden, yang kemudian bisa dilimpahkan kepada para menteri dan kepala daerah di pemerintahan daerah masing-masing. Apalagi kalau ada tiga calon aparatur yang diseleksi dan diajukan oleh tim seleksi yang profesional kepada pejabat pembina pegawai untuk dipilih, maka dari tiga calon itu dipilih yang dekat atau sepengetahuan pejabat pembina, yakni kepala daerah di pemda. Celah kelemahan UU ini yang bisa melemahkan prinsip netralitas dan profesionalitas ASN.

Posisi netralitas ASN

Aparatur negara kita ini terdiri dari aparatur militer (TNI/Polri) dan sipil (ASN). Aparatur militer semenjak reformasi tidak lagi melakukan kegiatan politik praktis seperti yang dilakukan parpol. Politik militer adalah politik negara kata Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Dengan demikian, untuk kebaikan demokrasi, parpol jangan coba menarik-narik aparatur militer dengan alasan hak asasi manusia dan demokrasi.

Demikian pula seharusnya bagi ASN sebagai aparatur sipil negara tidak lagi bermain-main di arena politik praktis ini. Para anggota TNI, Polri, dan ASN bisa menduduki jabatan politik jika mereka sudah mengakhiri atau pensiun dari jabatan aparatur militer dan sipil tersebut. Mereka yang baru pensiun diberi waktu ”idah”, 2-3 tahun setelah itu baru bisa merealisasikan hak politik individu masing-masing.

Profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri dengan tegas menyatakan semua anggota dan keluarganya tidak ikut dipilih dan memilih dalam pemilu, termasuk pilkada. Lain lagi dengan ASN. Meski sama-sama aparatur negara, semua aparatur sipil dan keluarganya boleh ikut berpartisipasi memilih calon pejabat politik dari parpol dalam pemilu dan pilkada.

Memilih calon pejabat politik berarti ASN dan keluarga tak bisa dikatakan netral dari pilihan politik praktis. Ada baiknya pemerintah, atau lebih tepatnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), melakukan perbaikan  melalui peraturan pemerintah atau revisi UU ASN agar memperbaiki celah-celah intervensi politik bagi ASN.

Pejabat pembina ASN

Celah intervensi politik yang sangat mengganggu netralitas ASN adalah posisi pejabat pembina kepegawaian ASN. Secara nasional, tugas pembina kepegawaian ASN berada di dalam posisi jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Konstitusi kita memang menegaskan bahwa Presiden itu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.  Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu para menteri di pemerintah pusat, dan gubernur, bupati dan wali kota di pemerintah daerah. Secara administratif-struktural, pelimpahan kewenangan Presiden sebagai pembina karier ASN tidak salah kalau dilimpahkan kepada para menteri, gubernur, bupati, atau wali kota.

Namun, pejabat-pejabat itu, mulai dari Presiden hingga bupati/wali kota, adalah pejabat politik. Mereka itu dicalonkan oleh partai-partai politik untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Maka, di sinilah rawannya jabatan tersebut dari netralitas. Dahulu ketika rancangan UU ASN ini dibahas di Komisi II DPR, perdebatan akademis  yang santun antara anggota Komisi II dan empat guru besar penulis naskah akademis rancangan UU ASN terjadi sangat panjang. Akhirnya diputuskan seperti yang sekarang ditulis dalam UU No 5/2014 tentang ASN ini.

Oleh karena itu, agar konsep netralitas itu bisa dilaksanakan dengan baik dan tidak sama sekali terkena imbas politisi ASN, maka diharapkan Menteri PAN dan RB dapat memperbaikinya melalui peraturan pemerintah atau keputusan menteri. Bahkan, lebih jauh lagi, kiranya merevisi UU ASN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar