ASN
di Tahun Politik
Miftah Thoha ; Guru
Besar Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Tahun ini tahun politik karena semua partai
politik yang telah resmi menjadi parpol sesuai dengan undang-undang pemilu
akan mengajukan calon-calon kepala daerah di seluruh negeri ini dalam rangka
Pilkada 2018.
Setahun kemudian, tahun 2019, berlangsung
pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). Di mana posisi
aparatur sipil negara (ASN) di tahun politik ini?
ASN, menurut UU-nya, bukanlah organisasi
politik, melainkan organisasi aparatur negara yang profesional dan netral
dari politik. Profesionalitas dan netralitas itu sama dengan kedudukan polisi
dan TNI sebagai aparatur negara yang profesional dan tak berpolitik praktis
di tahun politik seperti sekarang ini dan di tahun- tahun yang akan datang.
UU dari tiga organisasi aparatur negara itu
jelas menyatakan kenetralan dan keprofesionalan itu. Namun, di tahun-tahun
politik seperti ini, parpol selalu mencari alasan dan cara untuk
mengintervensinya agar ASN terlibat di arena politik. Banyak cara yang
dilakukannya, mulai dari menafsirkan sendiri UU atau peraturan lainnya sesuai
dengan keinginan politiknya, sampai pada menggunakan dana fasilitas dan sumber daya aparatur pemerintah dalam program kampanye.
Contohnya, banyak calon kepala daerah
petahana yang melakukan kampanye secara diam-diam ataupun terang-terangan
didukung oleh aparatur sipil di pemerintah daerahnya dan dikhawatirkan juga
menggunakan dana operasional jabatannya. Pemberian bahan kebutuhan pokok,
sertifikat tanah, pemberian bantuan kesehatan sekolah dan lain sebagainya
dilakukan oleh pegawai aparatur sipil di bawah pemerintahannya.
Belum lagi proses pengangkatan, promosi, dan
pemberhentian jabatan yang sangat bergantung pada keputusan pejabat pimpinan
(politik), terutama pejabat petahana yang maju lagi dalam pilkada. ASN yang
berada pada posisi kekuasaan calon amat sulit untuk menghindari ajakan atau
paksaan dari pimpinannya itu.
Dalam UU ASN memang ada celah yang bisa
dipergunakan untuk mengintervensi ASN ke dalam politik. Pejabat pembina ASN adalah
Presiden, yang kemudian bisa dilimpahkan kepada para menteri dan kepala
daerah di pemerintahan daerah masing-masing. Apalagi kalau ada tiga calon
aparatur yang diseleksi dan diajukan oleh tim seleksi yang profesional kepada
pejabat pembina pegawai untuk dipilih, maka dari tiga calon itu dipilih yang
dekat atau sepengetahuan pejabat pembina, yakni kepala daerah di pemda. Celah
kelemahan UU ini yang bisa melemahkan prinsip netralitas dan profesionalitas
ASN.
Posisi netralitas ASN
Aparatur negara kita ini terdiri dari
aparatur militer (TNI/Polri) dan sipil (ASN). Aparatur militer semenjak
reformasi tidak lagi melakukan kegiatan politik praktis seperti yang
dilakukan parpol. Politik militer adalah politik negara kata Jenderal Gatot
Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Dengan demikian, untuk kebaikan demokrasi,
parpol jangan coba menarik-narik aparatur militer dengan alasan hak asasi
manusia dan demokrasi.
Demikian pula seharusnya bagi ASN sebagai
aparatur sipil negara tidak lagi bermain-main di arena politik praktis ini.
Para anggota TNI, Polri, dan ASN bisa menduduki jabatan politik jika mereka
sudah mengakhiri atau pensiun dari jabatan aparatur militer dan sipil
tersebut. Mereka yang baru pensiun diberi waktu ”idah”, 2-3 tahun setelah itu
baru bisa merealisasikan hak politik individu masing-masing.
Profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri
dengan tegas menyatakan semua anggota dan keluarganya tidak ikut dipilih dan
memilih dalam pemilu, termasuk pilkada. Lain lagi dengan ASN. Meski sama-sama
aparatur negara, semua aparatur sipil dan keluarganya boleh ikut
berpartisipasi memilih calon pejabat politik dari parpol dalam pemilu dan
pilkada.
Memilih calon pejabat politik berarti ASN
dan keluarga tak bisa dikatakan netral dari pilihan politik praktis. Ada
baiknya pemerintah, atau lebih tepatnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), melakukan perbaikan melalui peraturan pemerintah atau revisi UU
ASN agar memperbaiki celah-celah intervensi politik bagi ASN.
Pejabat pembina ASN
Celah intervensi politik yang sangat
mengganggu netralitas ASN adalah posisi pejabat pembina kepegawaian ASN.
Secara nasional, tugas pembina kepegawaian ASN berada di dalam posisi jabatan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Konstitusi kita memang menegaskan bahwa
Presiden itu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden
dibantu para menteri di pemerintah pusat, dan gubernur, bupati dan wali kota
di pemerintah daerah. Secara administratif-struktural, pelimpahan kewenangan
Presiden sebagai pembina karier ASN tidak salah kalau dilimpahkan kepada para
menteri, gubernur, bupati, atau wali kota.
Namun, pejabat-pejabat itu, mulai dari
Presiden hingga bupati/wali kota, adalah pejabat politik. Mereka itu
dicalonkan oleh partai-partai politik untuk menduduki jabatan-jabatan
tersebut. Maka, di sinilah rawannya jabatan tersebut dari netralitas. Dahulu
ketika rancangan UU ASN ini dibahas di Komisi II DPR, perdebatan
akademis yang santun antara anggota
Komisi II dan empat guru besar penulis naskah akademis rancangan UU ASN
terjadi sangat panjang. Akhirnya diputuskan seperti yang sekarang ditulis
dalam UU No 5/2014 tentang ASN ini.
Oleh karena itu, agar konsep netralitas itu
bisa dilaksanakan dengan baik dan tidak sama sekali terkena imbas politisi
ASN, maka diharapkan Menteri PAN dan RB dapat memperbaikinya melalui
peraturan pemerintah atau keputusan menteri. Bahkan, lebih jauh lagi, kiranya
merevisi UU ASN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar