Arsitektur
Perikanan Nasional
Luky Adrianto ; Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB
|
KOMPAS,
23 Februari
2018
Diskursus portofolio pembangunan perikanan
nasional menemukan titik kulminasinya ketika akhir-akhir ini muncul paradoks
antara keberhasilan pemberantasan
illegal fishing selama tiga
tahun terakhir dibenturkan dengan kinerja sektor perikanan dalam perspektif
ekonomi dan bisnis.
Perang data dan klaim menjadi makanan
sehari-hari. Diskursus kurang
produktif seperti ini harus segera dihentikan dan seluruh pemangku
kepentingan harus berpikir komprehensif, sistemik, dan saling menghargai demi
kepentingan pembangunan perikanan nasional saat ini dan masa depan.
Perikanan adalah sistem ekonomi yang
kompleks karena melibatkan dua sistem dinamik yang saling terkait satu sama
lain, yaitu (1) sistem sumber daya ikan dan ekosistemnya; dan (2) sistem
ekonomi dan kebijakan yang melibatkan kepentingan manusia.
Dalam kerangka sederhana, perikanan merupakan sistem ekonomi yang
menjamin ekosistem harus sehat karena tanpa ekosistem sehat maka tidak ada
sumber daya ikan yang sehat. Kesehatan
ekosistem ini kemudian harus dapat digunakan untuk menjamin kesejahteraan
manusia melalui instrumen kebijakan yang inklusif dan berbasis pada
pengetahuan yang masif.
Dengan demikian, membicarakan sektor
perikanan harus dalam kerangka sistem, komprehensif, dan integratif dengan
kebijakan sektor lain. Sebab, pada dasarnya perikanan adalah sektor
dengan multitujuan sekaligus
multiperan.
Paling tidak ada sejumlah peran perikanan
yang harus kembali diperhatikan negara, yaitu: (1) perikanan sebagai sumber pangan dan
protein bagi bangsa; (2) perikanan
sebagai pengawal kebudayaan bangsa; (3) perikanan sebagai penghasil devisa
negara; (4) perikanan sebagai
lokomotif pertumbuhan ekonomi; (5) perikanan sebagai indikator kesehatan
perairan; serta (6) perikanan sebagai penjaga kedaulatan bangsa melalui
diplomasi yang bebas dan aktif.
Mengelola perikanan dengan multiperan ini
tentu tak mudah, tetapi tetap harus dilakukan dalam rangka implementasi wujud
syukur negara ini karena dikaruniai laut dan ekosistem perairan lainnya yang
sangat luas melebihi luas daratannya.
Lalu, bagaimana peran-peran itu bisa dilakukan?
Perlunya arsitektur perikanan
Dalam perspektif tata kelola, arsitektur
perikanan didefinisikan sebagai sebuah rancang bangun sistem tata kelola dan
kebijakan perikanan yang bersifat komprehensif dan memberikan arah, bentuk,
dan tatanan pembangunan perikanan untuk mencapai tujuannya sesuai amanah
undang-undang. Melalui proses diskusi
intensif selama 2014- 2015 bersama para pemangku kepentingan serta disusun oleh tim yang terdiri atas
beberapa akademisi perikanan dengan
berbagai latar belakang (sumber daya ikan, teknologi, manajemen, hukum), di
mana penulis menjadi koordinatornya,
paling tidak ada lima pilar yang dianggap penting bagi arsitektur perikanan.
Pertama, perubahan rezim pengelolaan
perikanan dari rezim quasi open
access jadi rezim limited entry. Perikanan merupakan sektor
yang berbasis pada sumber daya alam yang
bukan tak terbatas. Dalam konteks ini, maka pemanfaatan sumber daya
ikan diatur oleh negara secara berkeadilan (limited access), tidak lagi tanpa
aturan dalam pemanfaatan (open access).
Kapasitas perikanan diatur dan ditentukan
oleh negara secara berkeadilan, baik untuk perikanan skala kecil maupun
perikanan skala besar. Negara memberikan izin pemanfaatan kepada perikanan
skala kecil dalam bentuk ”hak perikanan”,
sedangkan untuk perikanan skala besar negara memberikan dalam bentuk
”izin perikanan”. Dengan kriteria
tertentu, pemberian hak perikanan kepada perikanan skala kecil dapat diikuti
hak pengelolaan untuk kawasan perikanan tertentu yang sudah menjadi bagian
dari adat mereka.
Kedua, penguatan instrumen pengelolaan
perikanan. Perikanan sebagai sektor yang kompleks dan multiperan memerlukan
instrumen pengelolaan yang jelas dan disusun secara inklustif. Instrumen pengelolaan dapat bersifat umum
untuk negara, tetapi dari instrumen umum tersebut dapat diturunkan jadi
instrumen pengelolaan setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dengan
demikian, instrumen tersebut bersifat
site specific WPP sesuai
karakteristik WPP.
Instrumen ini juga harus berdasarkan
pengetahuan yang terbaik dan tersedia
(data, informasi, pengetahuan lokal, pengalaman usaha, dan lain-lain)
sehingga sistem data dan monitoring terhadap karakteristik WPP jadi sangat
penting sebagai bagian penting dari manajemen berbasis pengetahuan. Dalam konteks ini, maka fisheries data
sciences, fisheries big data
sciences menjadi sangat penting
dikembangkan.
Ketiga,
penegasan unit perikanan yang
legal, regulated, and reported.
Pilar ini sangat penting karena unit perikanan yang jadi obyek pengelolaan
harus dalam kondisi sah secara hukum,
terlibat aktif secara inklusif baik sebagai subyek maupun obyek pengaturan perikanan, dan rutin memberikan
masukan bagi perbaikan pengelolaan
perikanan. Dengan demikian, siklus pengelolaan perikanan akan menjadi semakin
jelas.
Keempat, penguatan kelembagaan WPP. Indonesia memiliki 11 WPP dengan karakteristik dan dinamikanya
masing-masing. Tidak semua urusan
perikanan di WPP dapat diselesaikan dari dan oleh Jakarta. Oleh karena itu, pembentukan Konsil Pengelolaan Perikanan (Fisheries
Management Council) di setiap WPP menjadi krusial. Konsil Pengelolaan Perikanan inilah yang
menjalankan instrumen pengelolaan perikanan WPP. Perlunya lembaga ini sudah
dirasakan sejak lama sehingga amanah pembentukannya tertulis dalam Peraturan
Presiden No 02/2015 tentang RPJMN 2015-2019.
Kelima,
penguatan diplomasi perikanan internasional. Sudah tidak dapat dimungkiri lagi bahwa
ruang lingkup perikanan tidak hanya urusan domestik, tetapi juga
internasional, baik dalam perspektif hulu (pemanfaatan sumber daya ikan)
maupun hilir (pemasaran internasional). Dalam konteks ini, maka penguatan
diplomasi perikanan menjadi sangat penting justru untuk menjaga kedaulatan
perikanan nasional, yaitu dengan menerapkan strategi kedaulatan aktif.
Pemanfaatan wilayah yang disebut ABNJ (Arena Beyond National Jurisdiction),
yaitu laut lepas, misalnya, menjadi sangat penting dalam koridor Regional
Fisheries Management Organization
(RFMO).
Diplomasi aktif juga dapat dilakukan dengan
membentuk semacam fisheries market intelegence unit (FMIU), di mana negara berusaha untuk terus
meningkatkan daya saing perikanan sehingga pangsa pasar internasional produk
perikanan dapat ditingkatkan. Jadi tidak dalam bentuk diplomasi negatif, di
mana hanya puas merasa mampu ”merusak” kinerja ekspor perikanan negara lain
tanpa melihat perlunya Indonesia meningkatkan keragaman pasar ekspornya.
Akhirnya,
gagasan arsitektur perikanan di atas hanya dapat diimplementasikan
apabila kepemimpinan maritim terus ditingkatkan dan dipelihara sehingga
sektor perikanan dapat menjadi tumpuan bagi kesejahteraan bangsa melalui
resolusi poros maritim 2.0. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar