Senin, 26 Februari 2018

Potensi Politik SARA dalam Pilkada

Potensi Politik SARA dalam Pilkada
Abdul Mu’ti  ;   Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
                                                KORAN SINDO, 26 Februari 2018



                                                           
Beberapa hari lalu, Selasa (20/2), sejumlah tokoh nasional menyampaikan seruan moral kebinekaan. Mereka menyerukan agar semua pihak tidak menggunakan cara-cara Machiavellis dalam kompetisi politik, termasuk Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Demi menjaga kohesi sosial, kebinekaan, dan integrasi nasional, politisasi agama dan syiar kebencian atas dasar sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hendaknya ditinggalkan. Seruan tersebut tidaklah berlebihan. Sejak reformasi, Indonesia sukses menyelenggarakan tiga kali pilpres dan lebih dari 3.500 kali pilkada langsung dengan tertib, aman, dan lancar. Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir, indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menurun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IDI turun dari 72,82 (2015) menjadi 70,09 (2016). Indikator kebebasan sipil turun 3,85 (80,30-76,45), hak-hak politik 0,52 (70,62- 70,11), dan lembaga-lembaga demokrasi 4,82 (66,87-62,05).

Economist Index Unit (EIU) menyebutkan data yang hampir sama. Merujuk indikator electoral process and pluralism, civic liberties, the function of government, political participation , dan political culture, IDI turun dari 7,03 (2015) menjadi 6,97 (2016). BPS maupun EIU mencatat kebebasan sipil (civil liberties) tengah dalam ancaman. Politik SARA cenderung meningkat.

Dampak Komunalisme dan Populisme

Potensi politik identitas bernuansa SARA tidak dapat dipandang sebelah mata. Pertama, masyarakat Indonesia masih hidup dalam komunalisme. Kuatnya ikatan in-group, identitas, dan kolektivitas kelompok menumbuhkan sikap tertutup, konservatif, dan intoleran terhadap kelompok lain (out-group) yang dipandang sebagai ancaman dan lawan. Pilkada sering kali menjadi ajang supremasi kelompok atas yang lainnya. Dibandingkan dengan identitas etnis dan partai, identitas agama jauh lebih kuat.

Bagi sebagian umat beragama, pilkada bukan sekadar masalah politik, tetapi persoalan teologi dan ibadah. Kedua, menguatnya fenomena populisme. Ekspresi populisme sangat beragam. Di satu sisi, populisme menjelma menjadi gerakan perlawanan terhadap politik representatif dengan tampilnya para calon independen yang membuktikan dirinya sebagai figur publik karismatik. Partai politik hanyalah kendaraan. Kemenangan ditentukan oleh kemampuan memperoleh dukungan massa, bukan penguasa. Pemilihan langsung adalah proses terbuka di mana kemenangan ditentukan oleh kuantitas suara, bukan kualitas pemilik suara. Sistem ini merupakan manifestasi nilai kesamaan dalam demokrasi.

Sangat wajar jika para kandidat berjuang mendulang suara sebanyak-banyaknya. Mereka menawarkan perubahan dan program-program populis yang terkaitlangsungdengankebutuhan kaum alit seperti pendidikan, kesehatan, dan moralitas-normatif agama seperti penutupan lokalisasi, pemberantasanperjudian, dansejenisnya. Dalam pertarungan politik, populisme adalah hal yang wajar. Masalahnya adalah jika populisme dilakukan dengan keculasan, merendahkan, dan menista kelompok lain. Populisme berpotensi menimbulkan masalah SARA ketika dikembangkan dengan model dan pendekatan komunalisme.

Populisme melanggengkan dominasi mayoritas atas minoritas yang membuat kohesi sosial dan kebinekaan rapuh. Populisme juga melahirkan otoriterisme baru. Berbekal kewenangan legal yang luas, para kepala daerah tampil laksana demagog dan raja kecil yang memimpin dengan tangan besi, menyingkirkan lawanlawan politik dan aparatur yang tidak loyal. The winner takes all menjadi tradisi yang merusak meritokrasi birokrasi, mengabaikan kebinekaan, dan keadilan. Pemimpin populis merasa ikatan langsung dengan rakyat adalah segala-galanya. Untuk itu, mereka berani melanggar berbagai aturan. Akibatnya, satu demi satu kepala daerah menjadi narapidana karena korupsi dan kejahatan lainnya.

Tanggung Jawab Bersama

Sampai saat ini tahap-tahap Pilkada 2018 dapat dilalui dengan baik. Penetapan calon gubernur dan bupati/wali kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berlangsung lancar. Walaupun masih ada partai yang berkeberatan, KPU pusat berhasil melewati babak krusial verifikasi dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2019 dengan mulus. Keberhasilan tersebut merupakan modal dan awal yang menentukan kualitas penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang berkeadaban.

Menihilkan dan memisahkan aspek SARA dalam pilkada tidaklah mudah, bahkan mungkin mustahil. Memilih adalah persoalan preferensi. Rasionalitas dan objektivitas seseorang dalam menentukan pilihan tetap akan dipengaruhi oleh subjektivitas emosional atas dasar keyakinan agama dan afinitas kelompok. Subjektivitas merupakan sikap manusiawi. Yang paling mungkin diusahakan adalah meminimalkan atau menurunkan potensi politik SARA. Dalam jangka panjang diperlukan rekayasa sosial untuk mengubah struktur dan budaya komunalisme ke arah masyarakat yang terbuka dan egalitarian. Terkait dengan pilkada, sangat mendesak dilakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih (voters education) agar masyarakat memilih secara rasional dengan nalar kritis.

Partai politik, kekuatan masyarakat sipil, dan media massa perlu bekerja sama membantu masyarakat mengenal, menganalisis, dan menilai program kerja dan rekam jejak para kandidat. Kedua, memperkuat ikatan kebersamaan dan kewargaan agar masyarakat terbuka dan toleran terhadap perbedaan pilihan. Demokrasi membawa konsekuensi pluralitas politik. Tidak ada pilihan tunggal dalam berdemokrasi walaupun hanya ada satu calon tunggal. Demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan sikap saling menghormati dan menerima mereka yang berbeda. Perlu adanya kesadaran bersama bahwa pilkada adalah proses politik biasa.

Dalam alam demokrasi, pemimpin datang dan pergi, silih berganti. Ketiga, dalam konteks agama, sudah waktunya dilakukan reinterpretasi teks untuk merumuskan teologi kepemimpinan dan pemerintahan. Diperlukan teologi yang meneguhkan keyakinan bahwa berpolitik adalah bagian dari muamalah, bukan akidah dan ibadah mahdlah . Hal ini penting untuk mengubah dan meluruskan pemahaman bahwa pilkada bukanlah peperangan yang berakibat pada kemenangan atau kekalahan; yang menang mendapatkan rampasan perang (ghanimah atau fai) , sementara yang kalah menjadi tawanan. Yang tidak kalah penting adalah netralitas pemerintah dan profesionalitas penyelenggara pemilu.

Birokrasi harus tegak berdiri di atas aturan dan hukum. KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebagai penyelenggara pemilu harus bekerja tak kenal lelah untuk menjamin tidak ada seorang pun warga negara yang kehilangan hak politiknya serta memastikan tak segelintir pun suara yang sirna. Masalah SARA bisa mengemuka jika salah satu calon diperlakukan tidak adil. Pilkada adalah perhelatan politik yang mencerminkan wajah bangsa. Secara politik, pilkada adalah potret kualitas demokrasi suatu bangsa, baik sebagai sistem maupun tata nilai.

Di atas semua itu, pilkada adalah wajah keadabandankeluhuranbangsa. Potensi politik SARA akan selalu ada. Tetapi, dengan keadaban yang tinggi, kesadaran kebinekaan, dan tanggung jawab kebangsaan, pilkada akan berlangsung aman dan damai serta menghasilkan pemimpin yang terbaik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar