Potensi
Politik SARA dalam Pilkada
Abdul Mu’ti ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2018
Beberapa hari lalu, Selasa
(20/2), sejumlah tokoh nasional menyampaikan seruan moral kebinekaan. Mereka
menyerukan agar semua pihak tidak menggunakan cara-cara Machiavellis dalam
kompetisi politik, termasuk Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Demi menjaga kohesi
sosial, kebinekaan, dan integrasi nasional, politisasi agama dan syiar
kebencian atas dasar sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
hendaknya ditinggalkan. Seruan tersebut tidaklah berlebihan. Sejak reformasi,
Indonesia sukses menyelenggarakan tiga kali pilpres dan lebih dari 3.500 kali
pilkada langsung dengan tertib, aman, dan lancar. Akan tetapi, dalam tiga
tahun terakhir, indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menurun. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS), IDI turun dari 72,82 (2015) menjadi 70,09 (2016). Indikator
kebebasan sipil turun 3,85 (80,30-76,45), hak-hak politik 0,52 (70,62-
70,11), dan lembaga-lembaga demokrasi 4,82 (66,87-62,05).
Economist Index Unit (EIU)
menyebutkan data yang hampir sama. Merujuk indikator electoral process and pluralism,
civic liberties, the function of government, political participation , dan
political culture, IDI turun dari 7,03 (2015) menjadi 6,97 (2016). BPS maupun
EIU mencatat kebebasan sipil (civil liberties) tengah dalam ancaman. Politik
SARA cenderung meningkat.
Dampak
Komunalisme dan Populisme
Potensi politik identitas
bernuansa SARA tidak dapat dipandang sebelah mata. Pertama, masyarakat
Indonesia masih hidup dalam komunalisme. Kuatnya ikatan in-group, identitas,
dan kolektivitas kelompok menumbuhkan sikap tertutup, konservatif, dan
intoleran terhadap kelompok lain (out-group) yang dipandang sebagai ancaman
dan lawan. Pilkada sering kali menjadi ajang supremasi kelompok atas yang
lainnya. Dibandingkan dengan identitas etnis dan partai, identitas agama jauh
lebih kuat.
Bagi sebagian umat
beragama, pilkada bukan sekadar masalah politik, tetapi persoalan teologi dan
ibadah. Kedua, menguatnya fenomena populisme. Ekspresi populisme sangat
beragam. Di satu sisi, populisme menjelma menjadi gerakan perlawanan terhadap
politik representatif dengan tampilnya para calon independen yang membuktikan
dirinya sebagai figur publik karismatik. Partai politik hanyalah kendaraan.
Kemenangan ditentukan oleh kemampuan memperoleh dukungan massa, bukan
penguasa. Pemilihan langsung adalah proses terbuka di mana kemenangan
ditentukan oleh kuantitas suara, bukan kualitas pemilik suara. Sistem ini
merupakan manifestasi nilai kesamaan dalam demokrasi.
Sangat wajar jika para
kandidat berjuang mendulang suara sebanyak-banyaknya. Mereka menawarkan
perubahan dan program-program populis yang terkaitlangsungdengankebutuhan
kaum alit seperti pendidikan, kesehatan, dan moralitas-normatif agama seperti
penutupan lokalisasi, pemberantasanperjudian, dansejenisnya. Dalam
pertarungan politik, populisme adalah hal yang wajar. Masalahnya adalah jika
populisme dilakukan dengan keculasan, merendahkan, dan menista kelompok lain.
Populisme berpotensi menimbulkan masalah SARA ketika dikembangkan dengan
model dan pendekatan komunalisme.
Populisme melanggengkan
dominasi mayoritas atas minoritas yang membuat kohesi sosial dan kebinekaan
rapuh. Populisme juga melahirkan otoriterisme baru. Berbekal kewenangan legal
yang luas, para kepala daerah tampil laksana demagog dan raja kecil yang
memimpin dengan tangan besi, menyingkirkan lawanlawan politik dan aparatur
yang tidak loyal. The winner takes all menjadi tradisi yang merusak
meritokrasi birokrasi, mengabaikan kebinekaan, dan keadilan. Pemimpin populis
merasa ikatan langsung dengan rakyat adalah segala-galanya. Untuk itu, mereka
berani melanggar berbagai aturan. Akibatnya, satu demi satu kepala daerah
menjadi narapidana karena korupsi dan kejahatan lainnya.
Tanggung
Jawab Bersama
Sampai saat ini
tahap-tahap Pilkada 2018 dapat dilalui dengan baik. Penetapan calon gubernur
dan bupati/wali kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berlangsung lancar.
Walaupun masih ada partai yang berkeberatan, KPU pusat berhasil melewati
babak krusial verifikasi dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2019
dengan mulus. Keberhasilan tersebut merupakan modal dan awal yang menentukan
kualitas penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Tantangan berikutnya
adalah bagaimana mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang berkeadaban.
Menihilkan dan memisahkan
aspek SARA dalam pilkada tidaklah mudah, bahkan mungkin mustahil. Memilih
adalah persoalan preferensi. Rasionalitas dan objektivitas seseorang dalam
menentukan pilihan tetap akan dipengaruhi oleh subjektivitas emosional atas
dasar keyakinan agama dan afinitas kelompok. Subjektivitas merupakan sikap
manusiawi. Yang paling mungkin diusahakan adalah meminimalkan atau menurunkan
potensi politik SARA. Dalam jangka panjang diperlukan rekayasa sosial untuk
mengubah struktur dan budaya komunalisme ke arah masyarakat yang terbuka dan
egalitarian. Terkait dengan pilkada, sangat mendesak dilakukan sosialisasi
dan pendidikan pemilih (voters education) agar masyarakat memilih secara
rasional dengan nalar kritis.
Partai politik, kekuatan
masyarakat sipil, dan media massa perlu bekerja sama membantu masyarakat
mengenal, menganalisis, dan menilai program kerja dan rekam jejak para
kandidat. Kedua, memperkuat ikatan kebersamaan dan kewargaan agar masyarakat
terbuka dan toleran terhadap perbedaan pilihan. Demokrasi membawa konsekuensi
pluralitas politik. Tidak ada pilihan tunggal dalam berdemokrasi walaupun
hanya ada satu calon tunggal. Demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan sikap
saling menghormati dan menerima mereka yang berbeda. Perlu adanya kesadaran
bersama bahwa pilkada adalah proses politik biasa.
Dalam alam demokrasi,
pemimpin datang dan pergi, silih berganti. Ketiga, dalam konteks agama, sudah
waktunya dilakukan reinterpretasi teks untuk merumuskan teologi kepemimpinan
dan pemerintahan. Diperlukan teologi yang meneguhkan keyakinan bahwa
berpolitik adalah bagian dari muamalah, bukan akidah dan ibadah mahdlah . Hal
ini penting untuk mengubah dan meluruskan pemahaman bahwa pilkada bukanlah
peperangan yang berakibat pada kemenangan atau kekalahan; yang menang
mendapatkan rampasan perang (ghanimah atau fai) , sementara yang kalah
menjadi tawanan. Yang tidak kalah penting adalah netralitas pemerintah dan
profesionalitas penyelenggara pemilu.
Birokrasi harus tegak berdiri
di atas aturan dan hukum. KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebagai penyelenggara pemilu harus bekerja tak
kenal lelah untuk menjamin tidak ada seorang pun warga negara yang kehilangan
hak politiknya serta memastikan tak segelintir pun suara yang sirna. Masalah
SARA bisa mengemuka jika salah satu calon diperlakukan tidak adil. Pilkada
adalah perhelatan politik yang mencerminkan wajah bangsa. Secara politik,
pilkada adalah potret kualitas demokrasi suatu bangsa, baik sebagai sistem
maupun tata nilai.
Di atas semua itu, pilkada
adalah wajah keadabandankeluhuranbangsa. Potensi politik SARA akan selalu
ada. Tetapi, dengan keadaban yang tinggi, kesadaran kebinekaan, dan tanggung
jawab kebangsaan, pilkada akan berlangsung aman dan damai serta menghasilkan
pemimpin yang terbaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar