Selasa, 27 Februari 2018

Tahun Perjudian Politik

Tahun Perjudian Politik
Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
                                                     KOMPAS, 27 Februari 2018



                                                           
Kelompok elite politik di negeri ini selalu punya akal dalam memainkan kata-kata. Tahun 2018 mereka sebut sebagai tahun politik. Kesannya, seolah-olah genting, penting, dan menentukan masa depan bangsa. Padahal, hal itu tak lebih dari perhelatan politik pemilihan kepala daerah (pilkada), tempat para juragan dan jago politik bertarung memperebutkan kekuasaan.

Kata, frasa, ujaran verbal, dan sejenisnya bukan entitas simbolik yang hampa karena di dalamnya terkandung makna. Ketika dioperasikan oleh pelbagai kekuatan (modal ekonomi, sosial, politik, budaya, dan media), kata-kata mampu menjelma menjadi realitas. Begitu juga frasa ”tahun politik”. Sihir makna yang dibuncahkan secara bertubi, intensif dan masif, akhirnya mampu memengaruhi opini dan perilaku publik. Alhasil, publik pun yakin, tahun politik itu benar-benar ada, penting, dan ”menentukan masa depan bangsa”.

Terbukti bahwa makna mampu menghegemoni publik ketika kata-kata dikapitalisasi dan dimasifikasi. Ini menunjukkan, kata-kata tak pernah netral. Mereka berpotensi jadi alat kepentingan. Kata-kata pun menjelma  jutaan anak panah yang menghujam di dalam kognisi dan akhirnya mengatur (mendikte) perilaku publik. Perekayasaan kata-kata mampu menciptakan kesadaran magis (palsu) dalam diri publik yang terhegemoni. Kesadaran dan daya kritis melemah sehingga publik pun meyakini capaian  yang diinginkan perekayasa bahasa merupakan ”kebenaran” sekaligus titah yang wajib diikuti.

Ketika publik mendengar atau melihat teks ”tahun politik”, sontak terbayang pilkada yang penuh aroma pesta, kegembiraan politik, masa depan gemilang, idola-idola politik, ratu adil, perubahan, keadilan, dan kesejahteraan. Semua realitas bentukan itu melahirkan teater di kepala publik. Publik merasa sebagai subyek yang diperhitungkan. Padahal, mereka tak lebih obyek politik yang sengaja dipersiapkan untuk dirampas suaranya.

Hanya mereka yang memiliki kadar kesadaran yang tak tinggi yang bisa jadi korban perekayasaan bahasa dalam kecanggihan teknologi makna. Ini pun tak lepas dari kondisi sosial-ekonomi publik yang karut-marut, tempat uang Rp 20. 000-Rp 50.000 menjadi sangat signifikan. Belum lagi faktor pendidikan dan pengetahuan yang relatif rendah. Ditambah pula tak ada kesetaraan secara sosial sehingga feodalisme menjadi mesin yang efektif untuk menelikung hak-hak publik.

”Telur busuk”

Di tengah berbagai ketaksetaraan,  demokrasi hanya jadi ruang dan peluang bagi kelompok elite ekonomi dan politik untuk bersaing merebut kekuasaan. Kekuasaan bukan lagi dilegitimasi oleh amanah rakyat, melainkan uang (modal ekonomi) dan kuasa politik. Rakyat tak pernah menjadi subyek yang memberi mandat. Rakyat tidak pernah memilih pemimpinnya sendiri, melainkan digiring untuk memilih oleh parpol dan penguasa modal.

Sesungguhnya rakyat tak pernah bertemu dengan pemimpin- pemimpin sejati (kapabel, berintegritas, berkomitmen, dan dedikatif) karena mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan semacam itu cenderung tidak sanggup membayar ”tiket” pilkada yang sangat mahal, sampai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Demokrasi yang dicita-citakan kaum terdidik menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat dengan keadilan yang distributif, akhirnya menjadi ”telur busuk” peradaban karena dikelola secara kurang berbudaya dan bermartabat.

Ini bisa kita lihat, para kepala daerah yang dihasilkan melalui pemilihan berlanggam politik transaksional itu cenderung memiliki banyak cacat dan kelemahan. Prestasi mereka jeblok. Bahkan, tidak sedikit yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Uang miliaran rupiah yang mereka tumpahkan justru menendang mereka ke penjara. Bahwa muncul pula kepala daerah yang mendekati ideal, hal itu tak lebih dari ”bonus” atau keajaiban yang tidak dapat diprediksi dan dijadikan pedoman.

Masihkah kita gagah menyebut tahun 2018 adalah tahun politik?  Yang terjadi sesungguhnya bukan tahun politik, tetapi tahun perjudian politik para jagoan dan juragan politik. Mereka ramai-ramai memasuki kasino demokrasi dengan memasang uang taruhan besar. Hal yang menentukan adalah kemampuan menguasai mesin judi itu sehingga mampu meraup kemenangan.

Peran para ”dolob”

Tentu saja yang ewuh (berhelat) adalah mereka yang berkepentingan atas kekuasaan di tingkat daerah; dari parpol, pasangan calon, broker politik, mediator politik, sampai dolob-dolob  politik alias mereka yang ditugaskan memprovokasi masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan dukungan suara.

Peran para dolob mirip dalam permainan dadu celiwik. Posisi mereka pro-bandar. Mereka berpura-pura berjudi demi mendorong orang-orang lain ikut gasang (memasang, mempertaruhkan uang) dengan menembak angka atau gambar. Dibangun kesan, perjudian itu seolah-olah jujur, adil (jurdil), transparan, akuntabel, dan profesional. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah ”penyembelihan” bagi para petaruh.

Setelah kemenangan itu ada di tangan bandar, para dolob itu pun menciptakan peristiwa seolah-olah ada garukan (pembersihan) judi dari aparat keamanan. Situasi pun kacau. Permainan otomatis berakhir dengan uang menumpuk di kantong bandar.

Rakyat adalah mereka yang didorong para dolob untuk mempertaruhkan suaranya dengan memilih calon kepala daerah yang mereka ”jual”. Tentu dengan janji muluk-muluk. Para calon kepala daerah pun mendadak menjadi juru mudi keadilan yang arif sekaligus pembagi kesejahteraan, melalui kata-kata beraroma surgawi. Seolah-olah mereka adalah sosok pembebas yang sengaja diutus Tuhan ke bumi untuk membereskan persoalan. Citra mengilap yang dipantulkan kamera, media, dan teknologi pesona mampu memanipulasi sosok-sosok calon.

Kenapa absurditas politik transaksional yang penuh kepalsuan ini dipertahankan dan terus berlangsung? Pertama, absurditas itu memberikan kenyamanan bagi kelompok-kelompok kepentingan yang menganggap berkuasa adalah cara paling strategis untuk meraup kekayaan, kejayaan dan martabat diri dan kelompoknya. Mereka lupa tugas pokok dan fungsi berkuasa adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi publik.

Kedua, tak adanya kesetaraan secara multidimensional sebagai prasyarat demokrasi (pendidikan, ekonomi, politik, sosial, hukum, dan budaya). Otomatis, rakyat yang miskin dalam soal modal budaya, ekonomi dan budaya tak punya posisi tawar tinggi. Tugas menaikkan posisi tawar rakyat itu sejatinya jadi tanggung jawab parpol. Namun, parpol enggan jadi wahana kultural untuk menciptakan civil society dan memilih menjadi penjual jasa politik. 

Muara persoalannya adalah politik telah dicopot dari ranah kebudayaan dan dihadirkan semata-mata sebagai alat untuk meraih kekuasaan demi kejayaan material. Kebudayaan mendorong kita untuk mengutamakan nilai, gagasan, etika, logika, estetika, dan karya-karya berdimensi masa depan (peradaban). Namun, sayangnya, kebudayaan tidak pernah dihitung para aktor besar politik di negeri ini. Obsesi mereka: hanya berkuasa. Mukti wibawa tanpa hamemayu manungsa lan bangsa (kejayaan tanpa orientasi nilai meninggikan martabat manusia dan bangsa).

Tahun politik, bagi rakyat, akhirnya tak lebih dari tahun perjudian memilih pemimpin sekaligus intro bagi tahun-tahun kepedihan secara permanen. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar