Tahun
Perjudian Politik
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
27 Februari
2018
Kelompok elite politik di
negeri ini selalu punya akal dalam memainkan kata-kata. Tahun 2018 mereka
sebut sebagai tahun politik. Kesannya, seolah-olah genting, penting, dan
menentukan masa depan bangsa. Padahal, hal itu tak lebih dari perhelatan
politik pemilihan kepala daerah (pilkada), tempat para juragan dan jago
politik bertarung memperebutkan kekuasaan.
Kata, frasa, ujaran
verbal, dan sejenisnya bukan entitas simbolik yang hampa karena di dalamnya
terkandung makna. Ketika dioperasikan oleh pelbagai kekuatan (modal ekonomi,
sosial, politik, budaya, dan media), kata-kata mampu menjelma menjadi
realitas. Begitu juga frasa ”tahun politik”. Sihir makna yang dibuncahkan
secara bertubi, intensif dan masif, akhirnya mampu memengaruhi opini dan
perilaku publik. Alhasil, publik pun yakin, tahun politik itu benar-benar
ada, penting, dan ”menentukan masa depan bangsa”.
Terbukti bahwa makna mampu
menghegemoni publik ketika kata-kata dikapitalisasi dan dimasifikasi. Ini
menunjukkan, kata-kata tak pernah netral. Mereka berpotensi jadi alat
kepentingan. Kata-kata pun menjelma
jutaan anak panah yang menghujam di dalam kognisi dan akhirnya
mengatur (mendikte) perilaku publik. Perekayasaan kata-kata mampu menciptakan
kesadaran magis (palsu) dalam diri publik yang terhegemoni. Kesadaran dan
daya kritis melemah sehingga publik pun meyakini capaian yang diinginkan perekayasa bahasa merupakan
”kebenaran” sekaligus titah yang wajib diikuti.
Ketika publik mendengar
atau melihat teks ”tahun politik”, sontak terbayang pilkada yang penuh aroma
pesta, kegembiraan politik, masa depan gemilang, idola-idola politik, ratu
adil, perubahan, keadilan, dan kesejahteraan. Semua realitas bentukan itu
melahirkan teater di kepala publik. Publik merasa sebagai subyek yang
diperhitungkan. Padahal, mereka tak lebih obyek politik yang sengaja
dipersiapkan untuk dirampas suaranya.
Hanya mereka yang memiliki
kadar kesadaran yang tak tinggi yang bisa jadi korban perekayasaan bahasa
dalam kecanggihan teknologi makna. Ini pun tak lepas dari kondisi
sosial-ekonomi publik yang karut-marut, tempat uang Rp 20. 000-Rp 50.000 menjadi
sangat signifikan. Belum lagi faktor pendidikan dan pengetahuan yang relatif
rendah. Ditambah pula tak ada kesetaraan secara sosial sehingga feodalisme
menjadi mesin yang efektif untuk menelikung hak-hak publik.
”Telur
busuk”
Di tengah berbagai ketaksetaraan, demokrasi hanya jadi ruang dan peluang bagi
kelompok elite ekonomi dan politik untuk bersaing merebut kekuasaan.
Kekuasaan bukan lagi dilegitimasi oleh amanah rakyat, melainkan uang (modal
ekonomi) dan kuasa politik. Rakyat tak pernah menjadi subyek yang memberi
mandat. Rakyat tidak pernah memilih pemimpinnya sendiri, melainkan digiring
untuk memilih oleh parpol dan penguasa modal.
Sesungguhnya rakyat tak
pernah bertemu dengan pemimpin- pemimpin sejati (kapabel, berintegritas,
berkomitmen, dan dedikatif) karena mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan
semacam itu cenderung tidak sanggup membayar ”tiket” pilkada yang sangat
mahal, sampai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Demokrasi yang
dicita-citakan kaum terdidik menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar
masyarakat dengan keadilan yang distributif, akhirnya menjadi ”telur busuk”
peradaban karena dikelola secara kurang berbudaya dan bermartabat.
Ini bisa kita lihat, para
kepala daerah yang dihasilkan melalui pemilihan berlanggam politik
transaksional itu cenderung memiliki banyak cacat dan kelemahan. Prestasi
mereka jeblok. Bahkan, tidak sedikit yang harus berurusan dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Uang miliaran rupiah yang
mereka tumpahkan justru menendang mereka ke penjara. Bahwa muncul pula kepala
daerah yang mendekati ideal, hal itu tak lebih dari ”bonus” atau keajaiban
yang tidak dapat diprediksi dan dijadikan pedoman.
Masihkah kita gagah
menyebut tahun 2018 adalah tahun politik?
Yang terjadi sesungguhnya bukan tahun politik, tetapi tahun perjudian
politik para jagoan dan juragan politik. Mereka ramai-ramai memasuki kasino
demokrasi dengan memasang uang taruhan besar. Hal yang menentukan adalah
kemampuan menguasai mesin judi itu sehingga mampu meraup kemenangan.
Peran
para ”dolob”
Tentu saja yang ewuh
(berhelat) adalah mereka yang berkepentingan atas kekuasaan di tingkat
daerah; dari parpol, pasangan calon, broker politik, mediator politik, sampai
dolob-dolob politik alias mereka yang
ditugaskan memprovokasi masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan
dukungan suara.
Peran para dolob mirip
dalam permainan dadu celiwik. Posisi mereka pro-bandar. Mereka berpura-pura
berjudi demi mendorong orang-orang lain ikut gasang (memasang, mempertaruhkan
uang) dengan menembak angka atau gambar. Dibangun kesan, perjudian itu
seolah-olah jujur, adil (jurdil), transparan, akuntabel, dan profesional.
Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah ”penyembelihan” bagi para petaruh.
Setelah kemenangan itu ada
di tangan bandar, para dolob itu pun menciptakan peristiwa seolah-olah ada
garukan (pembersihan) judi dari aparat keamanan. Situasi pun kacau. Permainan
otomatis berakhir dengan uang menumpuk di kantong bandar.
Rakyat adalah mereka yang
didorong para dolob untuk mempertaruhkan suaranya dengan memilih calon kepala
daerah yang mereka ”jual”. Tentu dengan janji muluk-muluk. Para calon kepala
daerah pun mendadak menjadi juru mudi keadilan yang arif sekaligus pembagi
kesejahteraan, melalui kata-kata beraroma surgawi. Seolah-olah mereka adalah
sosok pembebas yang sengaja diutus Tuhan ke bumi untuk membereskan persoalan.
Citra mengilap yang dipantulkan kamera, media, dan teknologi pesona mampu
memanipulasi sosok-sosok calon.
Kenapa absurditas politik
transaksional yang penuh kepalsuan ini dipertahankan dan terus berlangsung?
Pertama, absurditas itu memberikan kenyamanan bagi kelompok-kelompok
kepentingan yang menganggap berkuasa adalah cara paling strategis untuk
meraup kekayaan, kejayaan dan martabat diri dan kelompoknya. Mereka lupa tugas
pokok dan fungsi berkuasa adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi
publik.
Kedua, tak adanya
kesetaraan secara multidimensional sebagai prasyarat demokrasi (pendidikan,
ekonomi, politik, sosial, hukum, dan budaya). Otomatis, rakyat yang miskin
dalam soal modal budaya, ekonomi dan budaya tak punya posisi tawar tinggi.
Tugas menaikkan posisi tawar rakyat itu sejatinya jadi tanggung jawab parpol.
Namun, parpol enggan jadi wahana kultural untuk menciptakan civil society dan
memilih menjadi penjual jasa politik.
Muara persoalannya adalah
politik telah dicopot dari ranah kebudayaan dan dihadirkan semata-mata
sebagai alat untuk meraih kekuasaan demi kejayaan material. Kebudayaan
mendorong kita untuk mengutamakan nilai, gagasan, etika, logika, estetika,
dan karya-karya berdimensi masa depan (peradaban). Namun, sayangnya,
kebudayaan tidak pernah dihitung para aktor besar politik di negeri ini.
Obsesi mereka: hanya berkuasa. Mukti wibawa tanpa hamemayu manungsa lan
bangsa (kejayaan tanpa orientasi nilai meninggikan martabat manusia dan
bangsa).
Tahun politik, bagi
rakyat, akhirnya tak lebih dari tahun perjudian memilih pemimpin sekaligus
intro bagi tahun-tahun kepedihan secara permanen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar