Sabtu, 24 Februari 2018

Mengapa Orang Gila Menganiaya Ulama?

Mengapa Orang Gila Menganiaya Ulama?
Bagong Suyanto  ;    Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
                                                  REPUBLIKA, 22 Februari 2018



                                                           
Teror yang terjadi dan dialami sejumlah ulama atau tokoh agama belakangan ini marak di berbagai tempat. Sepanjang bulan Februari, tercatat paling-tidak terjadi lima kasus tindak kekerasan terhadap pemuka agama dan simbol keagamaan.

Apakah kasus penyerangan sejumlah ulama yang terjadi pada dua bulan awal tahun 2018 ini murni dilakukan oleh orang-orang yang menderita gangguan jiwa secara tidak sengaja? Tetapi, menurut Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Meoldoko, diduga berbagai kasus penyerangan terhadap ulama yang terjadi belakangan ini ada yang "menyetir". Modus penyerangan ulama yang memanfaatkan orang yang mengalami gangguan jiwa ditengarai bukan hal yang baru, dan diduga ada pihak-pihak tertentu yang bermain di belakangnya.

Sejumlah spekulasi

Masyarakat saat ini tentu masih harus menunggu bagaimana akhir hasil penyelidikan yang dilakukan aparat. Apakah benar kasus ini murni ulah orang yang menderita gangguan jiwa ataukah di belakang itu memang ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memancing di air keruh hingga saat ini belum diketahui. Tetapi, di kalangan masyarakat awam telanjur muncul berbagai spekulasi dan praduga yang tidak jelas.

Keterlibatan sejumlah pelaku yang ternyata adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ditengarai adalah bagian dari skenario permainan politik pihak-pihak tertentu yang ingin menimbulkan kepanikan di masyarakat. Pada tahun politik semua kemungkinan memang bisa saja terjadi. Kalau melihat intensitas dan pola terjadinya berbagai kasus penyerangan terhadap tokoh dan simbol keagamaan, memang wajar jika di masyarakat muncul berbagai syak wasangka.

Pertama, tindakan penganiayaan kepada sejumlah tokoh agama diduga sebagai bagian dari upaya jahat untuk membangun konstruksi tentang rasa aman masyarakat yang tidak lagi terjamin. Bisa dibayangkan, jika para ulama saja mudah menjadi korban penganiayaan, bukan tidak mungkin keselamatan warga masyarakat justru akan lebih terancam. Konstruksi seperti ini jika berhasil ditumbuhkan, tentu akibatnya akan melahirkan keresahan sosial dan mengancam ketenteraman masyarakat.

Kedua, dugaan sebagian masyarakat yang menyinyalir munculnya berbagai kasus penganiayaan terhadap ulama dan simbol keagamaan adalah untuk menstimulasi munculnya bibit-bibit konflik, ketegangan sosial, bahkan teror dan kontra-terorisme yang ujung-ujungnya akan memicu munculnya konflik terbuka yang merugikan masyarakat.

Ketiga, adanya dugaan bahwa tindak penganiayaan terhadap sejumlah ulama atau tokoh agama sebagai bentuk intimidasi agar mereka tidak lagi vokal atau kritis terhadap status quo  ataupun kritis terhadap berbagai hal yang dinilai menyimpang. Tindak penganiayaan itu diduga sebagai bentuk peringatan tersembunyi yang tidak kentara, tetapi dimaksudkan untuk menyampaikan pesan yang jelas kepada orang-orang tertentu yang dinilai terlalu kritis.

Seberapa jauh dan mana dugaan yang benar, tentu masih harus menunggu hasil penyelidikan aparat yang berwenang. Apa pun hasilnya, yang jelas masyarakat membutuhkan kepastian agar tidak muncul rumor, berita hoaks yang terus berkelindan dan dapat memicu munculnya spekulasi-spekulasi baru yang kontra-produktif.

Kambing hitam

Keterlibatan atau pelibatan sejumlah orang yang mengalami gangguan jiwa dalam kasus penganiayaan ulama dan perusakan simbol-simbol keagamaan, wajar jika diduga dilakukan secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu, karena ada dua keuntungan yang bakal dipetik.

Pelibatan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, jelas akan menutup kemungkinan bagi aparat untuk melacak, apakah benar ada dalang di balik terjadinya kasus penganiayaan sejumlah ulama dan tokoh agama. Dari perspektif ilmu hukum, siapa pun pelakunya, jika terbukti mengalami gangguan jiwa alias termasuk orang gila, tidak mungkin proses hukum dilanjutkan lagi, karena mereka dianggap melakukan sebuah tindakan bukan dalam kondisi sadar.

Pelibatan orang yang mengalami gangguan jiwa dalam aksi penganiayaan terhadap sejumlah ulama dan tokoh agama, kemungkinan besar juga akan menutup kemungkinan bagi aparat melacak siapa aktor intelektual di balik kasus ini. Bagaimana mungkin mengorek keterangan penting jika pihak yang menjadi tersangka adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa?

Artinya, posisi orang-orang gila atau orang yang mengalami gangguan jiwa dalam kasus ini besar kemungkinan adalah sekadar sebagai "kambing hitam". Ini untuk melindungi siapa pun kelompok atau pihak yang menjadi dalang di balik makin maraknya kasus penganiayaan dan perusakan simbol keagamaan yang terjadi di Tanah Air.

Apakah dugaan demi dugaan dan spekulasi yang muncul di masyarakat merupakan masukan bagi aparat atau justru malah memperkeruh situasi, tentu waktulah yang akan menjawabnya. Bagi aparat, serentetan kasus penganiayaan yang menimpa sejumlah ulama dan tokoh agama tidaklah elok jika dibiarkan berlarut-larut.

Kapolri memang telah memberikan instruksi kepada jajarannya untuk melindungi para ulama dan tempat ibadah. Di luar itu, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan kasus ini murni ulah orang gila ataukah memang ada pihak yang merekayasa. Kepastian inilah yang kini sedang dinanti-nantikan masyarakat agar mereka tidak menjadi korban kesimpangsiuran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar