Mengapa
Orang Gila Menganiaya Ulama?
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
REPUBLIKA,
22 Februari
2018
Teror yang terjadi dan
dialami sejumlah ulama atau tokoh agama belakangan ini marak di berbagai
tempat. Sepanjang bulan Februari, tercatat paling-tidak terjadi lima kasus
tindak kekerasan terhadap pemuka agama dan simbol keagamaan.
Apakah kasus penyerangan
sejumlah ulama yang terjadi pada dua bulan awal tahun 2018 ini murni
dilakukan oleh orang-orang yang menderita gangguan jiwa secara tidak sengaja?
Tetapi, menurut Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Meoldoko, diduga berbagai
kasus penyerangan terhadap ulama yang terjadi belakangan ini ada yang
"menyetir". Modus penyerangan ulama yang memanfaatkan orang yang
mengalami gangguan jiwa ditengarai bukan hal yang baru, dan diduga ada
pihak-pihak tertentu yang bermain di belakangnya.
Sejumlah
spekulasi
Masyarakat saat ini tentu
masih harus menunggu bagaimana akhir hasil penyelidikan yang dilakukan
aparat. Apakah benar kasus ini murni ulah orang yang menderita gangguan jiwa
ataukah di belakang itu memang ada pihak-pihak tertentu yang mencoba
memancing di air keruh hingga saat ini belum diketahui. Tetapi, di kalangan
masyarakat awam telanjur muncul berbagai spekulasi dan praduga yang tidak
jelas.
Keterlibatan sejumlah
pelaku yang ternyata adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa
ditengarai adalah bagian dari skenario permainan politik pihak-pihak tertentu
yang ingin menimbulkan kepanikan di masyarakat. Pada tahun politik semua
kemungkinan memang bisa saja terjadi. Kalau melihat intensitas dan pola
terjadinya berbagai kasus penyerangan terhadap tokoh dan simbol keagamaan,
memang wajar jika di masyarakat muncul berbagai syak wasangka.
Pertama, tindakan
penganiayaan kepada sejumlah tokoh agama diduga sebagai bagian dari upaya
jahat untuk membangun konstruksi tentang rasa aman masyarakat yang tidak lagi
terjamin. Bisa dibayangkan, jika para ulama saja mudah menjadi korban
penganiayaan, bukan tidak mungkin keselamatan warga masyarakat justru akan
lebih terancam. Konstruksi seperti ini jika berhasil ditumbuhkan, tentu
akibatnya akan melahirkan keresahan sosial dan mengancam ketenteraman
masyarakat.
Kedua, dugaan sebagian masyarakat
yang menyinyalir munculnya berbagai kasus penganiayaan terhadap ulama dan
simbol keagamaan adalah untuk menstimulasi munculnya bibit-bibit konflik,
ketegangan sosial, bahkan teror dan kontra-terorisme yang ujung-ujungnya akan
memicu munculnya konflik terbuka yang merugikan masyarakat.
Ketiga, adanya dugaan
bahwa tindak penganiayaan terhadap sejumlah ulama atau tokoh agama sebagai
bentuk intimidasi agar mereka tidak lagi vokal atau kritis terhadap status
quo ataupun kritis terhadap berbagai
hal yang dinilai menyimpang. Tindak penganiayaan itu diduga sebagai bentuk
peringatan tersembunyi yang tidak kentara, tetapi dimaksudkan untuk
menyampaikan pesan yang jelas kepada orang-orang tertentu yang dinilai
terlalu kritis.
Seberapa jauh dan mana
dugaan yang benar, tentu masih harus menunggu hasil penyelidikan aparat yang
berwenang. Apa pun hasilnya, yang jelas masyarakat membutuhkan kepastian agar
tidak muncul rumor, berita hoaks yang terus berkelindan dan dapat memicu
munculnya spekulasi-spekulasi baru yang kontra-produktif.
Kambing
hitam
Keterlibatan atau
pelibatan sejumlah orang yang mengalami gangguan jiwa dalam kasus
penganiayaan ulama dan perusakan simbol-simbol keagamaan, wajar jika diduga
dilakukan secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu, karena ada dua keuntungan
yang bakal dipetik.
Pelibatan orang-orang yang
mengalami gangguan jiwa, jelas akan menutup kemungkinan bagi aparat untuk
melacak, apakah benar ada dalang di balik terjadinya kasus penganiayaan
sejumlah ulama dan tokoh agama. Dari perspektif ilmu hukum, siapa pun
pelakunya, jika terbukti mengalami gangguan jiwa alias termasuk orang gila,
tidak mungkin proses hukum dilanjutkan lagi, karena mereka dianggap melakukan
sebuah tindakan bukan dalam kondisi sadar.
Pelibatan orang yang
mengalami gangguan jiwa dalam aksi penganiayaan terhadap sejumlah ulama dan
tokoh agama, kemungkinan besar juga akan menutup kemungkinan bagi aparat
melacak siapa aktor intelektual di balik kasus ini. Bagaimana mungkin
mengorek keterangan penting jika pihak yang menjadi tersangka adalah
orang-orang yang mengalami gangguan jiwa?
Artinya, posisi
orang-orang gila atau orang yang mengalami gangguan jiwa dalam kasus ini
besar kemungkinan adalah sekadar sebagai "kambing hitam". Ini untuk
melindungi siapa pun kelompok atau pihak yang menjadi dalang di balik makin
maraknya kasus penganiayaan dan perusakan simbol keagamaan yang terjadi di
Tanah Air.
Apakah dugaan demi dugaan
dan spekulasi yang muncul di masyarakat merupakan masukan bagi aparat atau
justru malah memperkeruh situasi, tentu waktulah yang akan menjawabnya. Bagi
aparat, serentetan kasus penganiayaan yang menimpa sejumlah ulama dan tokoh
agama tidaklah elok jika dibiarkan berlarut-larut.
Kapolri memang telah
memberikan instruksi kepada jajarannya untuk melindungi para ulama dan tempat
ibadah. Di luar itu, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan kasus
ini murni ulah orang gila ataukah memang ada pihak yang merekayasa. Kepastian
inilah yang kini sedang dinanti-nantikan masyarakat agar mereka tidak menjadi
korban kesimpangsiuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar