Beragama
yang Membahagiakan
Masduri ; Dosen Filsafat dan Pancasila pada
Program Studi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 13 Februari 2018
KASUS penyerangan terhadap Gereja Santa
Lidwina di Sleman, DI Jogjakarta (11/2), mengukuhkan kultur kekerasan
beragama dalam kehidupan kebangsaan kita semakin mendidih. Sebelumnya di
Bantul juga terdapat pembubaran terhadap acara bakti sosial Gereja Santo
Paulus Pringgolayan (29/1), di Bandung, Jawa Barat, terjadi penganiayaan
terhadap Kiai Umar Basri hingga babak belur karena motif keagamaan (27/1),
dan di Pamekasan, Jawa Timur, terjadi penyisiran (sweeping) terhadap desa
yang dianggap gembong pelacuran (19/1).
Rentetan kasus ini menyuguhkan narasi besar
dari hilangnya keadaban kita dalam beragama. Agama dengan segenap keyakinan
sakralnya tentang Tuhan berada pada titik yang sangat mengerikan, karena
dalam sekejap bisa meruntuhkan kohesi sosial kita.
Kalau merunut jauh ke dalam diri, motivasi
penting dari keberagamaan seseorang didasari oleh dorongan kuat untuk
mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa berupa ketenteraman jiwa,
keselamatan raga, serta ragam bentuk kesenangan hidup lainnya. Manusia
menyadari keterbatasan dirinya. Sebab itu, ia melimpahkan ketakmampuannya
pada kuasa Tuhan. Artinya, dengan beragama sebenarnya manusia sedang
menitipkan hidupnya pada Tuhan. Kebesaran Tuhan merupakan muara dari segenap
kegelisahan hidup, sehingga ketika muncul persoalan, Tuhan menjadi tempat
berkeluh kesah.
Merujuk pada pandangan filsafat proses
Alfred North Whitehead, kenyataan tentang manusia yang selalu ingin bersama
dengan Tuhannya karena posisi Tuhan ditempatkan sebagai yang akhir dari seluruh
proses aktual yang terjadi. Karenanya, Tuhan sebagai pengendali alam semesta
mendapat porsi yang sangat penting dalam kehidupan. Manusia mengandaikan
kedekatan dengan Tuhan sebagai cara untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan
segenap bentuk ketidakbahagiaan hidup.
Pada kasus penyerangan gereja di Sleman
tersebut, terdapat indikasi yang jelas bahwa pelakunya, Suliono, sedang
mengalami masalah kebahagiaan dalam hidupnya. Seperti tersiar dalam banyak
berita, sebelum melakukan aksi penyerangan, Suliono sempat melakukan kontak
dengan ayahnya, ketika diminta pulang untuk menikah, ia justru menjawab akan
menikah dengan bidadari.
Kita tentu dapat membayangkan ketika
mendengar bahasa bidadari. Bidadari merupakan sosok perempuan rupawan yang
dinarasikan dalam teologi agama sebagai pendamping hidup bagi setiap orang
yang taat beragama. Dalam Islam, misalnya, ada hadis nabi yang menyebut bahwa
orang yang mati syahid bakal mendapat ganjaran dinikahkan dengan 72 bidadari
(HR Al-Tirmidzi). Gambaran naratif tentang menikah dengan 72 bidadari tentu
dapat menumbuhkan semangat beragama yang kian besar.
Hanya, nalar etis
beragama tetap harus ditempatkan dalam kerangka berpikir yang konstruktif,
dengan mengembalikan pada makna dasar dari kehadiran agama itu sendiri. Islam,
misalnya, memiliki visi besar mewujudkan rahmatal lil’alamin. Karena itu,
mestinya cara-cara yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan menikah dengan
72 bidadari harus dilakukan dengan cara-cara yang merahmati semesta alam.
Logika Kebahagiaan Umumnya teror yang didasari oleh motif agama terjadi
akibat realitas sosial yang dialami pelakunya. Kalau mencermati kasus Suliono
yang didorong oleh hasrat besar menikah dengan bidadari, besar kemungkinan ia
sedang mengalami masalah kebahagian berkaitan dengan pasangan hidup. Karena
tidak mungkin kalau kehidupannya normal dan baik-baik saja, ia bakal
melakukan tindakan yang konsekuensi hukumnya teramat besar. Bisa saja Suliono
sedang kesulitan mencari pasangan hidup, maka alternatifnya ia memilih jalan
jihad agama untuk memenuhi hasrat seksualnya. Sebab itu, anak-anak muda yang
masih jomblo harus berhati-hati karena bisa saja bakal terjangkit paham
radikal hanya garagara pasangan hidup.
Pengandaian tentang bidadari surga
sesungguhnya tak hanya didasari oleh hasrat menikah –masalah tak menemukan
pasangan, namun juga bisa disebabkan oleh serangkaian kenyataan hidup yang
tak membahagiakan. Cara menganalisisnya sederhana, apakah mungkin orang yang
bahagia dalam hidupnya bakal melakukan tindakan teror, sedangkan secara nyata
ancamannya adalah kematian. Karena itulah, asumsi besar saya pelaku teror
adalah mereka yang tak bahagia dalam beragama. Tidak mungkin orang yang
bahagia dalam beragama, apalagi benar-benar merasakan kehadiran Tuhan di
dalam dirinya, bakal tega menyerang, memukuli, hingga membunuh orang lain.
Apalagi sampai membunuh dirinya sendiri lewat aksi bom bunuh diri dalam
jihad. Sangat sulit diterima akal.
Karena itulah, kita penting memperbaiki cara
pandangan beragama. Agama sebagai muara pengharapan dalam hidup harus
ditempatkan sebagai sumber kebahagiaan dengan cara-cara yang etis dan
rasional. Hassan Hanafi, sebagai filsuf dan teolog Islam, memberikan
sumbangsih besar cara berbahagia dalam beragama. Ia berpandangan, keselamatan
(kebahagiaan) hidup manusia di akhirat adalah cerminan dari keselamatan
(kebahagiaan) dirinya di dunia. Artinya, orang yang hari ini hidupnya baik
dan bahagia esok di akhirat pasti akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
Begitu pun sebaliknya, mereka yang hidupnya buruk dan menderita pada alam
akhiratnya juga bakal merasakan hal sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar