Teror
Kiai dan Politik Kecemasan
Munawir Aziz ; Peneliti, wakil sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
|
JAWA
POS, 23 Februari 2018
SERANGAN
dan teror kepada kiai-kiai pesantren yang bertubi-tubi menjadi penanda
penting bagaimana politik kecemasan menjadi formula untuk meresahkan publik.
Rangkaian serangan kepada kiai-kiai pesantren serta beberapa pemuka agama
seolah bukan sesuatu yang acak.
Akan
tetapi, serangan yang terencana dan memiliki pola. Meski belum bisa
dipastikan secara sahih, merujuk pada data forensik kepolisian, publik sudah
merasa cemas dengan rangkaian serangan dan teror kepada pemuka agama.
Rangkaian serangan ini terakumulasi dalam kontestasi di ’’tahun politik’’,
menjelang pilkada serentak pada 2018 dan pemilihan presiden pada 2019.
Awalnya,
serangan ’’orang gila’’ menghajar pengasuh pesantren Al-Hidayah, Cicalengka,
Bandung, Jawa Barat. Pada Sabtu (27 Januari 2018) lalu, Kiai Umar Basyri
diserang orang tak dikenal, yang dianggap gila, pada sekitar pukul 05.30 WIB.
Ketika diserang, Kiai Umar sedang melangsungkan wirid setelah ibadah salat
Subuh. Akibat penyerangan ini, Kiai Umar terluka parah dan dirawat di rumah
sakit selama berhari-hari.
Teror
kepada keluarga kiai dan pesantren juga terjadi di Al-Falah Ploso, Mojo,
Kediri, Jawa Timur, pada Senin malam (19/2). Teror terhadap kiai pesantren
ini, meski tidak menimbulkan korban jiwa, menimbulkan kecemasan yang
bergelombang. Vibrasi kecemasan ini menyeret komunitas-komunitas pesantren,
pada situasi yang terguncang, menimbulkan kepanikan. Informasi penyerangan
terhadap kiai dan keluarga pesantren dengan cepat menyebar ke berbagai
komunitas pesantren di negeri ini.
Serangan
dan teror juga menyasar pemuka agama di beberapa daerah. Pada Minggu (11/2)
seorang pemuda dengan membawa parang menyerang umat gereja St Lidwina, Bedog,
Sleman, Jogjakarta. Penyerangan ini mengakibatkan empat orang terluka:
seorang pastor, seorang jemaat gereja, pengurus gereja, dan seorang polisi.
Pada rangkaian peristiwa sebelumnya, Biksu Mulyanto di Legok, Tangerang,
dipersekusi karena melangsungkan ibadah di rumahnya.
Dari
rangkaian serangan dan teror, ’’orang gila’’ menjadi tertuduh dan subjek yang
diformalkan. Pelaku teror dinisbatkan kepada orang gila, hingga prosesi
pengadilan dan antisipasi keamanan menjadi absurd. Dari narasi kekerasan ini,
serangan acak dan terjadi di beberapa daerah, sangat aneh jika dilakukan oleh
’’orang gila’’, sebagai tertuduh maupun subjek.
Serangan
terhadap kiai pesantren dan pemuka agama, dalam analisis penulis, untuk
mencipta kecemasan di ruang publik. Politik kecemasan ini, pada jangkauan
yang lebih jauh, menjadi tahapan pemanasan untuk politik adu domba serta
kerusuhan masal. Targetnya apa? Untuk mencipta kegaduhan dan turbulensi
kepemimpinan di panggung politik. Situasi chaos ini terjadi pada tahun-tahun
politik: 1965 dan 1998.
Teror
naga hijau
Lalu,
mengapa kiai-kiai pesantren dan pemuka agama menjadi sasaran tembak? Apa
makna bagi komunitas pesantren dan warga Indonesia secara lebih luas? Dalam
catatan sejarah kolektif komunitas pesantren, ’’operasi naga hijau’’ menjadi
ingatan teror yang menghantui.
Operasi
naga hijau merupakan istilah yang dilontarkan Kiai Abdurrahman Wahid untuk
menyebut serangan dan teror terhadap kiai-kiai pesantren pada tahun 1996.
Peristiwa kekerasan ini merupakan rentetan dari tragedi di Tasikmalaya pada
26 Desember 1996. Kerusuhan ini dipicu oleh penganiayaan terhadap tiga ustad
Pondok Pesantren Condong yang dilakukan oleh oknum polisi di Tasikmalaya.
Akibat penganiayaan ini, meletuslah kerusuhan di kawasan itu: bangunan toko,
polsek, rumah ibadah, fasilitas umum, rusak karena amuk massa.
Peristiwa
Muktamar Cipasung menjadi latar belakang bagi lanskap sosial-politik bagi
warga nahdliyin dan Islam Indonesia. Muktamar Ke-29 Nahdlatul Ulama di
Cipasung, pada 1994, merupakan muktamar yang dramatis, ketika Abu Hasan yang
didukung oleh Orde Baru berhadapan dengan Kiai Abdurrahman Wahid. Ketika itu,
Gus Dur tampil sebagai pemenang dengan segenap peristiwa yang runyam dan
panas. Rezim Orde Baru ingin menyetir Nahdlatul Ulama dan kiai-kiai melalui
komando Abu Hasan, yang kemudian gagal pada proses muktamar. Peristiwa ini
menjadi latar belakang dari rangkaian kekerasan, teror, dan kerusuhan di beberapa
kawasan.
Kerusuhan
juga terjadi di beberapa kantong warga nahdliyin, terutama di Situbondo dan
Surabaya, Jawa Timur. Di Situbondo, kerusuhan dipicu oleh vonis pengadilan
terhadap pihak yang dianggap menghina Islam dan kiai. Rupaya, vonis ini tidak
memuaskan publik, hingga merembet menjadi kerusuhan yang meluas. Kerusuhan
meletus, beberapa rumah ibadah dan fasilitas publik terbakar. Masyarakat
cemas, situasi siaga, dan timbul kecurigaan di antara warga: operasi ninja,
dukun santet, dan semacamnya.
Tepat
pada jantung kecemasan itulah yang menjadi target dari rangkaian operasi
kekerasan. Kekerasan dan serangan teror terhadap kiai dan pemuka agama
kemudian menjadi rangkaian informasi sekaligus disinformasi, yang beredar
secara sporadis. Kecemasan publik inilah yang menjadi target dari serangan
dan teror yang terjadi belakang ini. Untuk itu, tabayun dan silaturahmi
menjadi antisipasi gerakan, untuk menghadang isu-isu kekerasan sebelum
bergeser menjadi kekacauan publik yang lebih luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar