Pilkada,
Uang, dan Oligarki
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2018
HAJAT politik lima
tahunan, pilkada secara serentak gelombang ketiga, kembali digelar 27 Juni
mendatang, dengan dua pilkada sebelumnya pada 9 Desember 2015 dan 15 Februari
2017. Kali ini KPU bakal menghasilkan 17 pasangan gubernur dan wakilnya, 115
bupati dan wakilnya, serta 39 wali kota dan wakilnya.
Namun, pilkada tak pernah
sepi dari lumuran 'politik uang' (money politics). Oligarki lapisan orang
superkaya yang berkuasa--tetap menjadikan demokrasi elektoral ini terus
berada di bawah kepentingannya, dengan menyediakan uang bagi pasangan calon
yang dijagokannya sebagai imbalan atas peneguhan kekuasaan ekonominya di
tingkat lokal. Apakah ada harapan untuk keluar dari cengkeram kekuasaan
oligarki yang berwatak predatoris itu?
Pilkada
dan uang
Mengapa politik uang
membentuk dan mengisi demokrasi elektoral pasca-HM Soeharto? Beberapa
argumentasi berikut dapat menjelaskan relasi demokrasi elektoral dengan
politik uang. Pertama, seusai rezim HM Soeharto tumbang, oligarki predatoris
lama, terutama konglomerat yang dibesarkannya, bisa bertahan dalam reformasi
institusional melalui parpol, demokrasi elektoral, parlemen, serta
desentralisasi, menyusul kehilangan patron besarnya dampak krisis finansial
1997-1998, melalui koalisi-koalisi baru.
Kedua, elite politik
berebut memerintah tanpa melibatkan lapisan sosial yang menderita sepanjang
hayat Orba seperti pekerja dan petani atau lapisan masyarakat bawah. Ambisi
politik mereka memerintah itu tak mengubah relasi-relasi kuasa dalam sumber
daya ekonomi melalui dipeliharanya 'negara korup'.
Ketiga, dalam mengontrol
reformasi institusional, oligarki menemukan jalannya sendiri, dengan
membangun sistem politik uang. Demokrasi elektoral dikontrol dengan
menempatkan kekuatan uang dalam memenangi pemilihan itu sehingga elite
politik yang berlaga dalam kontestasi politik semakin bergantung pada
kekuatan uang.
Keempat, partai-partai
politik besar yang menjadi elemen penting reformasi institusional dan
demokrasi elektoral jatuh ke dalam kekuasaan oligarki. Malah, sejumlah
oligark menjadi petinggi partai untuk memperkukuh kekuasaan oligarki dalam
politik. Secara politik, dari hulu ke hilir berada dalam genggaman oligarki.
Kelima, masalah politik
yang paling terasa di masyarakat ialah disorganisasi. Dampak represi dan
koersi, serta politik 'massa mengambang', Orba telah menyulitkan berbagai kelompok
membangun kekuatan tandingan terhadap oligarki. Ketiadaan kekuatan tandingan
itu yang memuluskan jalan oligarki kembali berkuasa pasca-HM Soeharto.
Dengan begitu, pemilu dan
pilkada selalu diisi lumuran politik uang untuk 'membeli' suara pemilih. Pilkada
serentak pun gagal mencegah maraknya taburan uang. Diduga karena oligarki
predatoris itu dapat memobilisasi jaringan patronase yang terdesentralistis,
koalisi cair dan saling bersaing, termasuk melibatkan jaringan preman dan
paramiliter (Hadiz, 2005: 244).
Oligarki
dan negara korup
Apa dampak politik uang
itu? Oligarki predatoris berkepentingan dan mampu mempertahankan 'negara
korup'. Dengan negara seperti ini oligarki dapat merebut dan menguasai sumber
daya ekonomi demi pemupukan dan akumulasi kekayaan. Oligarki mencetak
politikus, pejabat politik, birokrat, dan jaringan patronasenya dalam sistem
yang korup.
Simak saja, dalam waktu
4-16 Februari 2018, sudah tercatat empat orang bupati Jombang, Ngada, Subang,
dan Lampung Tengah--yang ikut dalam kontestasi pilkada dibekuk KPK.
Sebelumnya, KPK juga menangkap Bupati Hulu Sungai Tengah, 4 Januari, sehingga
gagal maju lagi pilkada.
Mereka butuh uang, yang
dipenuhi dengan cara menerima suap dari pengusaha dan pihak lain. Mereka juga
menyuap DPRD yang diduga untuk biaya 'mahar politik' dan kampanye dengan
mengimbali konsesi perizinan usaha, proyek, kenaikan jabatan, dan pinjaman
besar.
Tak hanya itu, seorang
Ketua Panwaslu dan anggota KPU Kabupaten Garut ditangkap Tim Satgas
Antipolitik Uang Mabes Polri dan jajarannya pada 24 Februari atas tuduhan
suap dalam bentuk uang dan mobil dari pasangan bakal calon bupati. Oligarki
telah menyebabkan elite politik yang menjadi calon kepala daerah tak bisa
berpaling dari ketergantungannya pada kekuatan uang. Sebaliknya, pengusaha
butuh kontrol terhadap alokasi sumber daya pemerintah di tingkat lokal
seperti alokasi proyek APBD dan perizinan usaha atau alih fungsi lahan.
Tumbuhnya oligarki di
tingkat lokal yang predatoris itu memang saling memangsa. Sejumlah faksi atau
koalisi oligarkis juga bertarung memenangkan jago mereka dalam pilkada yang
kelak menjadi pemegang kunci di provinsi, kabupaten dan kota. Kontrol atas
institusi kunci ini agar mereka mendapat alokasi sumber daya negara di
tingkat lokal, setidaknya dalam lima tahun mendatang.
Begitulah, kekuatan
oligarkis warisan Orba bertahan dan kembali berkuasa seiring tumbangnya HM
Soeharto, dengan cara menyesuaikan diri terhadap reformasi institusional.
Oligarki itu mengisi demokrasi pemilihan dengan sistem politik uang,
sementara penguasa politik mengikuti logika ini dengan menata ulang 'negara
korup'.
Tak hanya itu, sejumlah
oligark juga menjadi petinggi dan menguasai parpol. Sebagian mereka menguasai
media. Dengan begitu, kekuasaan oligarki yang bersifat predatoris ini
berkesesuaian dengan 'demokrasi politik uang', 'negara korup', serta mekarnya
jaringan preman dalam desentralisasi kekuasaan itu.
Korupsi dan kolusi para
pejabat politik, anggota DPR/DPRD, dan pengusaha atau rekanan bisnis tetap
menjadi pola pemupukan kekayaan. Tak mengherankan jika ribuan politikus mulai
menteri dan anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPRD
provinsi dan kabupaten/kota tersandung kasus korupsi bersama rekanan bisnis.
Kekuatan
alternatif
Masalah demokrasi, kesejahteraan
rakyat, dan good governance tidaklah terletak pada perubahan institusional,
tetapi pada kekuasaan oligarki predatoris yang sudah menggurita dan
terdesentralisasi, yaitu masalah redistribusi kekayaan. Apakah ada kekuatan
alternatif atau oposisi terhadap kekuasaan oligarki predatoris itu? Di
sinilah pentingnya demokrasi partisipatif, terutama lapisan masyarakat bawah
yang terus menderita kesulitan ekonomi dan politik sebagai dampak represi dan
koersi Orba. Pertama, kerangka logis untuk memutus kondisi politik
disorganisasi. Kerangka politik ini diletakkan dalam posisi berhadapan dengan
kekuasaan oligarki predatoris yang terus bercokol dan mempertahankan 'negara
korup'.
Kedua, lintas kelompok
masyarakat dapat membentuk sebuah blok kekuatan yang tidak saja termobilisasi
dalam pilkada dan pemilu dengan menolak politik uang, tetapi juga harus
beranjak dalam menghadapi masalah sehari-hari untuk mendesakkan tuntutan atau
pemenuhan hak-hak seperti hak atas pekerjaan, upah yang layak, perumahan,
serta kebebasan tanpa kriminalisasi.
Ketiga, kekuatan
alternatif yang terpenting ialah kaum pekerja mengingat relasi kuasa mereka
terhadap oligarki bisnis terjalin erat di berbagai tempat kerja. Sejauh
pekerja tak punya kekuatan politik, sulit menandingi dan mendesak kekuasaan
oligarki untuk menerima demokratisasi dan terlebih lagi redistribusi
kekayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar