Pilkada
dan Efektivitas Pemerintahan Daerah
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga,
Surabaya; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
23 Februari
2018
Otonomi daerah pada
dasarnya merupakan keadaan saat warga daerah mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri dalam jenis urusan yang diserahkan oleh pemerintah nasional
kepada daerah otonom. Apabila daerah mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri, warga daerah melalui wakil rakyat daerah dan kepala daerah akan
mampu membuat serta melaksanakan kebijakan daerah sesuai dengan harapan dan
aspirasi warga daerah.
Efektivitas pemerintahan
daerah menjadi kata kunci keberhasilan pendelegasian otonomi daerah kepada
provinsi, kabupaten, dan kota. Pemerintahan daerah dapat disimpulkan sebagai
efektif jika kebijakan daerah (APBD, perda non-APBD, dan peraturan kepala
daerah) tidak hanya dirumuskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
tetapi juga sesuai dengan aspirasi warga daerah dan karakteristik daerah.
Pemda yang mampu membuat kebijakan daerah seperti ini tak bisa disebut
efektif jika kebijakan daerah tersebut tidak dapat diimplementasikan menjadi
kenyataan.
Sesuai
aspirasi dan bisa diimplementasikan
Apabila tidak dapat
diimplementasikan, maka kebijakan daerah yang baik saja tidak dapat dinikmati
oleh warga daerah. Jadi, pemerintahan daerah yang efektif ditandai dua hal:
kebijakan daerah yang sesuai harapan dan aspirasi warga daerah serta
kebijakan publik tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga
hasilnya dapat dirasakan oleh warga daerah.
Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota atau pilkada dengan
biaya besar itu akan dapat menunjang efektivitas pemerintahan daerah. Pilkada
mempunyai posisi strategis dalam menciptakan efektivitas pemerintahan daerah
karena kepala daerah yang dicalonkan dan dipilih itu memegang peran
kepemimpinan daerah.
Peran kepemimpinan ini
tidak hanya tampak dalam perumusan dan pembuatan kebijakan daerah, tetapi
juga dalam melaksanakan kebijakan daerah tersebut. Kepala daerah tidak
sendirian dalam membuat kebijakan daerah. Hal ini tidak hanya karena ia harus
mendengarkan suara warga daerah (partisipasi warga daerah), tetapi juga
karena UUD 1945 mengharuskan penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota
DPRD sebagai mitra kepala daerah dalam pembuatan APBD dan perda non- APBD.
Kepala daerah dalam
melaksanakan kebijakan daerah dibantu perangkat daerah. Bahkan peran utama
dalam implementasi kebijakan daerah terletak pada perangkat daerah (dinas,
badan, dan sebagainya), tetapi di bawah kepemimpinan kepala daerah. Singkat
kata, peran kepemimpinan kepala daerah dalam mewujudkan efektivitas
pemerintahan daerah dipengaruhi oleh struktur dan kiprah DPRD serta
kompetensi dan efisiensi perangkat daerah (birokrasi daerah).
Parpol (dan perseorangan)
serta para pemilih merupakan dua pihak yang berperan besar dalam mendapatkan
kepala daerah terpilih yang memiliki kemampuan kepemimpinan. Parpol peserta
pemilu berperan dalam menyiapkan serta menyeleksi calon pemimpin dan kelompok
masyarakat mengajukan calon perseorangan. Apabila berperan menyiapkan calon
pemimpin daerah, maka parpol akan menyeleksi dan mengajukan kadernya yang
telah teruji menjadi calon. Akan tetapi, jika tidak menyiapkan calon
pemimpin, maka parpol akan mencari calon dari lingkungan lain yang dinilai
memiliki segudang prestasi atau mendukung calon yang diajukan oleh partai
lain. Bakal pasangan calon yang diajukan parpol atau gabungan parpol yang
telah ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota menjadi pasangan
calon kepala dan wakil kepala daerah akan dinilai oleh pemilih.
Kontribusi pilkada bagi
upaya menciptakan pemerintahan daerah yang efektif terletak pada faktor
kepemimpinan, baik kepemimpinan politik maupun kepemimpinan administrasi.
Kepemimpinan politik merupakan kemampuan memengaruhi dan meyakinkan pihak
lain agar mendukung rencana kebijakan yang ditawarkan.
Kepala daerah harus
berupaya mendapatkan dukungan dan persetujuan DPRD atas rencana kebijakan
daerah yang diajukan. Dukungan dan persetujuan DPRD tidak selalu mudah
diperoleh. Apakah sang kepala daerah menerapkan kepemimpinan transaksional
untuk memperoleh dukungan dan persetujuan DPRD, sebagaimana diterapkan di
banyak daerah (terakhir pemda dan DPRD Provinsi Jambi yang tertangkap KPK)
ataukah tidak dipengaruhi dua faktor. Kedua faktor itu adalah kemampuan
kepemimpinan politik sang kepala daerah dan/atau komposisi fraksi di DPRD
(berapa kursi DPRD yang berasal dari parpol yang sama dengan partai sang
kepala daerah).
Kepemimpinan
politik dan administrasi
Ada dua pendapat mengenai
kedua faktor ini. Pendapat pertama memandang faktor kepemimpinan politik yang
paling utama karena seorang kepala daerah yang punya kemampuan kepemimpinan
politik akan mampu meyakinkan dan mendapatkan dukungan dari DPRD walau
partainya hanya memiliki kursi minoritas.
Pendapat kedua
berpandangan dukungan mayoritas anggota DPRD atau sekurang-kurangnya 20
persen dari DPRD yang memiliki partai yang sama dengan kepala daerah
merupakan “modal dasar” dalam menggunakan kepemimpinan politik. Modal dasar
ini tidak hanya penting dari segi jumlah (tinggal menambah dukungan dari
fraksi lain), tetapi juga penting untuk mendapat dukungan dari fraksi lain
(bagaimana mungkin seorang kepala daerah meyakinkan fraksi lain jika sang
kepala daerah tidak memiliki dukungan dari fraksi partai sendiri di DPRD
dalam jumlah yang cukup signifikan).
Kepemimpinan administrasi
merujuk pada kemampuan mengarahkan dan mengendalikan perangkat daerah untuk
melaksanakan kebijakan daerah menjadi kenyataan. Implementasi kebijakan
daerah merupakan salah satu titik lemah efektivitas pemerintahan daerah di
Indonesia. Tugas utama perangkat daerah bukan merumuskan kebijakan daerah,
melainkan melaksanakan kebijakan daerah.
Pembuatan petunjuk teknis
pelaksanaan, pembuatan SOP (prosedur standar operasi), penyiapan petugas
pelaksana, penyiapan masyarakat dan sosialisasi kebijakan kepada masyarakat
yang bakal terkena, koordinasi antarinstansi, pengadaan barang dan jasa,
pencairan anggaran, pelaksanaan teknis, serta pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan, merupakan sejumlah kegiatan yang termasuk implementasi. Akan
tetapi, dalam praktik bagi sebagian perangkat daerah kegiatan implementasi
cenderung hanya soal pengadaan dan pencairan anggaran, sedangkan pelaksanaan
cenderung dilakukan dengan improvisasi.
Suatu program dilaksanakan
dari tahun ke tahun, jumlah anggaran bertambah dari tahun ke tahun, sedangkan
hasil pelaksanaan program (kebijakan daerah) baik dalam bentuk output dan outcome (hasil)
maupun dampak tidak pernah dievaluasi.
Pilkada akan mempunyai
kontribusi bagi upaya menciptakan pemerintahan daerah yang efektif jika
parpol yang mencalonkan dan para pemilih yang menentukan pasangan calon
terpilih mampu melihat dan menyeleksi calon pemimpin daerah yang memiliki
kepemimpinan politik dan kepemimpinan administrasi. Jawaban atas tiga
pertanyaan berikut menentukan apakah Pilkada 2018 akan punya kontribusi bagi
penciptaan pemerintahan daerah yang efektif.
Pertama, apakah
pelaksanaan kampanye Pilkada 2018 mampu menampilkan sisi kepemimpinan politik
dan administrasi sang calon kepala daerah? Kedua, apakah para pemilih
tertarik mengikuti proses pelaksanaan kampanye Pilkada 2018? Dan ketiga,
apakah para pemilih memiliki kemampuan memilah serta menilai kepemimpinan
politik dan administrasi calon kepala daerah?
Tahapan pencalonan pilkada
sudah selesai karena pasangan calon sudah ditetapkan Februari ini. Dari
pemberitaan media dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu
persyaratan yang digunakan oleh partai dalam menyeleksi dan menentukan calon
kepala daerah. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas, kepemimpinan
politik dan administrasi hanya sebagian dari variabel yang memengaruhi
efektivitas pemerintahan daerah. Komposisi keanggotaan DPRD serta kompetensi
dan efisiensi perangkat daerah merupakan dua faktor lain yang tidak disentuh
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar