Sabtu, 24 Februari 2018

China, Revolusi Toilet, dan "Globalisasi Terpimpin"

China, Revolusi Toilet, dan "Globalisasi Terpimpin"
Ade M Wirasenjaya  ;    Pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
                                                  DETIKNEWS, 21 Februari 2018



                                                           
Jika Anda pernah berkunjung ke China, khususnya Beijing, barangkali Anda akan memberi catatan buruk atas kualitas toilet di tempat-tempat umum negeri itu. Jika bisa ditahan, rasanya memang malas untuk menggunakan toilet di China. Dan, ini tampaknya bukan lagi rahasia. Bahkan media global seperti The Guardian pernah mengupas tentang buruknya kualitas toilet di China. Pada saat negara tersebut sibuk menjadi destinasi wisata dunia, pemerintah China tampak abai terhadap infrastruktur mendasar dalam ritus hidup manusia sehari-hari: toilet!

Besarnya keluhan para pelancong dan mereka yang berkunjung ke China tentang kualitas toilet di negara itu tentulah sangat menampar wajah pemerintah yang kini gencar membuka diri terhadap kunjungan wisatawan mancanegara. Beruntung, China memiliki pemimpin yang tidak terlalu "baper" dan selalu menyalahkan orang lain seperti pemimpin sebelumnya. Kini, China punya pemimpin yang amat kharismatik dan disegani dunia, Xi Jinping. Toilet menjadi isu yang dianggap penting oleh Xi karena dari toiletlah China akan bisa menaklukan dunia!

Xi Jinping bahkan merasa perlu untuk menempatkan toilet sebagai prioritas nomer dua dalam rangka "to build a more civilised society and improve the hygiene of the masses" (The Guardian, 28/11/2017). "Revolusi Toilet" pun dicanangkan Xi Jinping mulai 2015. Di bawah tajuk program "Advance the Toilet Revolution Steadily" pemerintah menyiapkan bujet besar-besaran untuk memperbaiki tempat buang hajat itu di seluruh negeri. Dalam rencana Biro Turisme China, toilet yang akan dibangun dengan standar kesehatan dan modern mencapai 64.000 toilet dari tahun 2018 hingga 2020. Xi Jinping mungkin ingin memberi tafsir lain yang lebih kontekstual dan progresif tentang Revolusi Kebudayaan setelah sebelumnya pemerintah China mengakui bahwa Gerakan Revolusi Kebudayaan yang dicanangkan pemimpin besar mereka Mao Zedong dianggap gagal dan membawa kekacauan ekonomi, politik, dan budaya di kalangan masyarakat China sendiri.

Mao tidak pernah mengurus toilet, tentu saja. Mao hanya peduli dengan munculnya sosok-sosok yang patuh dan tunduk pada kehendak penguasa agar cita-cita Revolusi mudah tercapai. Bisa dipastikan, toilet-toilet yang ingin diperbaiki oleh Xi Jinping adalah warisan pembangunan sebelumnya yang mungkin tidak menyangka jika toilet akan memiliki pengaruh terhadap kapasitas China di dunia internasional.

Seperti banyak diulas, Revolusi Kebudayaan yang dicanangkan Mao Zedong pada 1966-1976 ingin membersihkan China dari setiap anasir yang berbau asing dan mencerminkan selera kelas borjuis. Petugas partai dikerahkan untuk menangkap siapa saja yang memuja-muja budaya Barat yang dianggap kapitalistik karena akan menghalang-halangi jalannya pembangunan dengan karakteristik China yang revolusioner. Mungkin jika Mao masih ada, ia akan menolak gagasan Xi Jinping untuk mengubah toilet dengan standar baru karena "terlalu borjuis".

Globalisasi Terpimpin

Xi Jinping memberi penafsiran secara radikal tentang "apa itu revolusi". Ia menjadi pemimpin China yang mencoba menyerap globalisasi secara rasional dengan dua pola. Pertama, sadar bahwa China adalah pemain terbesar ekonomi kedua dunia; sikap menutup diri dari dunia luar merupakan langkah anakronis atau tidak sesuai zaman. Kedua, sadar bahwa globalisasi yang dihadapi China juga memiliki potensi destruktif khususnya dari sisi politik, kebudayaan, dan kehidupan sosial jika dibiarkan tanpa kendali; China melakukan kontrol terhadap globalisasi.

Apa yang dilakukan Xi Jinping tentang bagaimana China mungkin sedikit berbeda dengan rute yang dipilih negara (pasca) komunis besar lainnya, Rusia dalam mengintegrasikan negaranya ke dalam struktur ekonomi-politik dunia. Jelaslah, terdapat perbedaan penting dalam soal integrasi Rusia dan China terhadap globalisasi. Ini juga sedikit menjelaskan mengapa sampai sekarang Rusia masih tertatih-tatih secara ekonomi dalam konstelasi pasar dan sistem ekonomi global. Sebaliknya, China begitu percaya diri dan sukses "menaklukkan" globalisasi dengan berbagai kebijakan ekonomi maupun politiknya yang sangat unik dan terencana.

Peter Ferdinand, dalam tulisannya Russia and China: Converging Responses to Globalization di Jurnal International Affairs (Vol.83, No.4, Juli, 2007) menyebut dua karakteristik kontras antara Rusia dan China dalam mengelola dan "menaklukkan" globalisasi dan rezim pasar global. Apa yang berlangsung di Rusia adalah "political capitalism". Sedang apa yang dikembangkan di China adalah "politicized capitalism". Dua pola ini membawa implikasi besar terhadap bagaimana globalisasi memberi pengaruh dan bekerja di kedua negara tersebut. Melalui "political capitalism" Rusia bersikap sangat adjustable terhadap rezim pasar global. Sebaliknya melalui "politicized capitalism" China melakukan kontrol dan mengendalikan rezim pasar agar tidak terlalu liar mencabik-cabik ekonomi-politik domestik.

Pengkaji globalisasi menyebut kecenderungan sikap ini dengan istilah hyper-globalist yang membayangkan globalisasi sebagai arena bersama di mana "semua negara seolah bisa menjadi aktor yang sama di panggung yang sama". China mungkin bisa dikategorisasi sebagai penganut transformationalis-globalist yang merasa bahwa globalisasi perlu dikontrol oleh negara (Held and Mc Grew, 2013). Jika kaum hiperglobalis percaya bahwa globalisasi akan memberi keuntungan yang sama dan lama-lama peran negara akan hanya menjadi decision-takers ketimbang decision-makers --meminjam Ohmae-- kaum trasformationalis seperti Stiglitz justru melihat bahwa campur tangan negara tetap dibutuhkan supaya globalisasi tidak liar, dan menyediakan ruang eksploitasi yang cukup besar atas negara berkembang dari negara-negara industri utama dan dari korporasi global.

Dengan pembacaan ini, China mencoba memastikan apakah kalangan tengah --kalangan bisnis, khususnya-- sudah benar-benar siap dalam berkompetisi secara kuat. Pelan tapi pasti, kini kita melihat tumbuhnya blok-blok industri baru dari China yang menjadi pemain signifikan dalam ekonomi dunia. Presiden Xi Jinping kini tidak lagi mengembangkan watak anti-Barat dengan cara-cara yang frontal, tetapi membangun China sebagai jendela baru ketika melihat bagaimana globalisasi bekerja. Melalui prinsip Community of Common Destiny (CCD), China bahkan ingin mengembangkan nilai-nilai Timur yang oleh pandangan Barat disebut nilai-nilai partikular --menjadi nilai-nilai bersama dalam pembangunan.

China yang inward looking sudah ditinggalkan Xi Jinping seperti terlihat dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia dan Kazakhstan (September 2013). Xi Jinping dengan gencar menjual program One Belt and One Road (OBOR) yang akan menghubungan China-Asia-Eropa dalam hal perdagangan dan ekonomi melalui jalur darat ("the belt") serta jalur maritim ("the road"). Ini juga semakin menegaskan betapa siapnya China menjadi pemimpin ekonomi baru dunia. Dalam banyak kesempatan, XI Jinping cukup gencar mengemukakan prinsip community of common destinty sebagai jargon baru pembangunan untuk mengajak dunia di luar China secara bersama-sama mengembangkan semangat baru pembangunan. Ini jelas sebuah cara baru China dengan karakter Xi, yang membedakannya dengan "politik 280 karakter" yang sering dijalankan Donald Triumph melalui Twitter.

China --dengan prinsip one country two system-- yang terus mengalami pembaharuan dan rejunivasi, tetap berupaya agar globalisasi yang dimasukinya adalah globalisasi dengan cara China. Revolusi toilet merupakan kerja simbolik bahwa kini China ingin dan bisa beradaptasi dengan norma global. Paling kurang, jalan tempuh Rusia dan China memberi gambaran dengan pola-pola yang bisa dipilih ketika ingin menaklukkan globalisasi khususnya rezim pasar global. Apakah globalisasi Indonesia mengikuti "Jalan Moskow", "Jalan Beijing" atau "Jalan di Tempat"? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar