China,
Revolusi Toilet, dan "Globalisasi Terpimpin"
Ade M Wirasenjaya ; Pengajar di Departemen Hubungan
Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
21 Februari
2018
Jika Anda pernah
berkunjung ke China, khususnya Beijing, barangkali Anda akan memberi catatan
buruk atas kualitas toilet di tempat-tempat umum negeri itu. Jika bisa
ditahan, rasanya memang malas untuk menggunakan toilet di China. Dan, ini
tampaknya bukan lagi rahasia. Bahkan media global seperti The Guardian pernah
mengupas tentang buruknya kualitas toilet di China. Pada saat negara tersebut
sibuk menjadi destinasi wisata dunia, pemerintah China tampak abai terhadap
infrastruktur mendasar dalam ritus hidup manusia sehari-hari: toilet!
Besarnya keluhan para
pelancong dan mereka yang berkunjung ke China tentang kualitas toilet di
negara itu tentulah sangat menampar wajah pemerintah yang kini gencar membuka
diri terhadap kunjungan wisatawan mancanegara. Beruntung, China memiliki
pemimpin yang tidak terlalu "baper" dan selalu menyalahkan orang
lain seperti pemimpin sebelumnya. Kini, China punya pemimpin yang amat
kharismatik dan disegani dunia, Xi Jinping. Toilet menjadi isu yang dianggap
penting oleh Xi karena dari toiletlah China akan bisa menaklukan dunia!
Xi Jinping bahkan merasa
perlu untuk menempatkan toilet sebagai prioritas nomer dua dalam rangka
"to build a more civilised society and improve the hygiene of the
masses" (The Guardian, 28/11/2017). "Revolusi Toilet" pun
dicanangkan Xi Jinping mulai 2015. Di bawah tajuk program "Advance the
Toilet Revolution Steadily" pemerintah menyiapkan bujet besar-besaran
untuk memperbaiki tempat buang hajat itu di seluruh negeri. Dalam rencana
Biro Turisme China, toilet yang akan dibangun dengan standar kesehatan dan
modern mencapai 64.000 toilet dari tahun 2018 hingga 2020. Xi Jinping mungkin
ingin memberi tafsir lain yang lebih kontekstual dan progresif tentang
Revolusi Kebudayaan setelah sebelumnya pemerintah China mengakui bahwa
Gerakan Revolusi Kebudayaan yang dicanangkan pemimpin besar mereka Mao Zedong
dianggap gagal dan membawa kekacauan ekonomi, politik, dan budaya di kalangan
masyarakat China sendiri.
Mao tidak pernah mengurus
toilet, tentu saja. Mao hanya peduli dengan munculnya sosok-sosok yang patuh
dan tunduk pada kehendak penguasa agar cita-cita Revolusi mudah tercapai.
Bisa dipastikan, toilet-toilet yang ingin diperbaiki oleh Xi Jinping adalah
warisan pembangunan sebelumnya yang mungkin tidak menyangka jika toilet akan
memiliki pengaruh terhadap kapasitas China di dunia internasional.
Seperti banyak diulas,
Revolusi Kebudayaan yang dicanangkan Mao Zedong pada 1966-1976 ingin
membersihkan China dari setiap anasir yang berbau asing dan mencerminkan selera
kelas borjuis. Petugas partai dikerahkan untuk menangkap siapa saja yang
memuja-muja budaya Barat yang dianggap kapitalistik karena akan
menghalang-halangi jalannya pembangunan dengan karakteristik China yang
revolusioner. Mungkin jika Mao masih ada, ia akan menolak gagasan Xi Jinping
untuk mengubah toilet dengan standar baru karena "terlalu borjuis".
Globalisasi
Terpimpin
Xi Jinping memberi
penafsiran secara radikal tentang "apa itu revolusi". Ia menjadi
pemimpin China yang mencoba menyerap globalisasi secara rasional dengan dua
pola. Pertama, sadar bahwa China adalah pemain terbesar ekonomi kedua dunia;
sikap menutup diri dari dunia luar merupakan langkah anakronis atau tidak
sesuai zaman. Kedua, sadar bahwa globalisasi yang dihadapi China juga memiliki
potensi destruktif khususnya dari sisi politik, kebudayaan, dan kehidupan
sosial jika dibiarkan tanpa kendali; China melakukan kontrol terhadap
globalisasi.
Apa yang dilakukan Xi
Jinping tentang bagaimana China mungkin sedikit berbeda dengan rute yang
dipilih negara (pasca) komunis besar lainnya, Rusia dalam mengintegrasikan
negaranya ke dalam struktur ekonomi-politik dunia. Jelaslah, terdapat
perbedaan penting dalam soal integrasi Rusia dan China terhadap globalisasi.
Ini juga sedikit menjelaskan mengapa sampai sekarang Rusia masih
tertatih-tatih secara ekonomi dalam konstelasi pasar dan sistem ekonomi
global. Sebaliknya, China begitu percaya diri dan sukses
"menaklukkan" globalisasi dengan berbagai kebijakan ekonomi maupun
politiknya yang sangat unik dan terencana.
Peter Ferdinand, dalam
tulisannya Russia and China: Converging Responses to Globalization di Jurnal
International Affairs (Vol.83, No.4, Juli, 2007) menyebut dua karakteristik
kontras antara Rusia dan China dalam mengelola dan "menaklukkan"
globalisasi dan rezim pasar global. Apa yang berlangsung di Rusia adalah
"political capitalism". Sedang apa yang dikembangkan di China
adalah "politicized capitalism". Dua pola ini membawa implikasi
besar terhadap bagaimana globalisasi memberi pengaruh dan bekerja di kedua
negara tersebut. Melalui "political capitalism" Rusia bersikap
sangat adjustable terhadap rezim pasar global. Sebaliknya melalui
"politicized capitalism" China melakukan kontrol dan mengendalikan
rezim pasar agar tidak terlalu liar mencabik-cabik ekonomi-politik domestik.
Pengkaji globalisasi
menyebut kecenderungan sikap ini dengan istilah hyper-globalist yang
membayangkan globalisasi sebagai arena bersama di mana "semua negara
seolah bisa menjadi aktor yang sama di panggung yang sama". China
mungkin bisa dikategorisasi sebagai penganut transformationalis-globalist
yang merasa bahwa globalisasi perlu dikontrol oleh negara (Held and Mc Grew,
2013). Jika kaum hiperglobalis percaya bahwa globalisasi akan memberi
keuntungan yang sama dan lama-lama peran negara akan hanya menjadi
decision-takers ketimbang decision-makers --meminjam Ohmae-- kaum
trasformationalis seperti Stiglitz justru melihat bahwa campur tangan negara
tetap dibutuhkan supaya globalisasi tidak liar, dan menyediakan ruang
eksploitasi yang cukup besar atas negara berkembang dari negara-negara
industri utama dan dari korporasi global.
Dengan pembacaan ini,
China mencoba memastikan apakah kalangan tengah --kalangan bisnis,
khususnya-- sudah benar-benar siap dalam berkompetisi secara kuat. Pelan tapi
pasti, kini kita melihat tumbuhnya blok-blok industri baru dari China yang
menjadi pemain signifikan dalam ekonomi dunia. Presiden Xi Jinping kini tidak
lagi mengembangkan watak anti-Barat dengan cara-cara yang frontal, tetapi
membangun China sebagai jendela baru ketika melihat bagaimana globalisasi
bekerja. Melalui prinsip Community of Common Destiny (CCD), China bahkan
ingin mengembangkan nilai-nilai Timur yang oleh pandangan Barat disebut
nilai-nilai partikular --menjadi nilai-nilai bersama dalam pembangunan.
China yang inward looking sudah ditinggalkan Xi
Jinping seperti terlihat dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia dan
Kazakhstan (September 2013). Xi Jinping dengan gencar menjual program One
Belt and One Road (OBOR) yang akan menghubungan China-Asia-Eropa dalam hal
perdagangan dan ekonomi melalui jalur darat ("the belt") serta
jalur maritim ("the road"). Ini juga semakin menegaskan betapa
siapnya China menjadi pemimpin ekonomi baru dunia. Dalam banyak kesempatan,
XI Jinping cukup gencar mengemukakan prinsip community of common destinty
sebagai jargon baru pembangunan untuk mengajak dunia di luar China secara
bersama-sama mengembangkan semangat baru pembangunan. Ini jelas sebuah cara
baru China dengan karakter Xi, yang membedakannya dengan "politik 280
karakter" yang sering dijalankan Donald Triumph melalui Twitter.
China --dengan prinsip one
country two system-- yang terus mengalami pembaharuan dan rejunivasi, tetap
berupaya agar globalisasi yang dimasukinya adalah globalisasi dengan cara
China. Revolusi toilet merupakan kerja simbolik bahwa kini China ingin dan
bisa beradaptasi dengan norma global. Paling kurang, jalan tempuh Rusia dan
China memberi gambaran dengan pola-pola yang bisa dipilih ketika ingin menaklukkan
globalisasi khususnya rezim pasar global. Apakah globalisasi Indonesia
mengikuti "Jalan Moskow", "Jalan Beijing" atau
"Jalan di Tempat"? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar