Kamis, 22 Februari 2018

Kuasa Asuh sang Penganiaya

Kuasa Asuh sang Penganiaya
Reza Indragiri Amriel  ;    Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 22 Februari 2018



                                                           
SEORANG bocah di Garut berulang kali disetrika dan dibenamkan ke dalam bak air oleh ibu kandungnya. Kasus serupa juga pernah terjadi di Bali dan dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pada tahun lalu. Bayi itu dianiaya bertubi-tubi dan divideokan, lalu videonya dikirim ke lelaki yang merupakan bapak anak tersebut.

Dua kasus penyiksaan anak di atas merupakan bukti bahwa orangtua biologis tidak serta-merta mampu menjadi orangtua efektif. Secara spesifik, ibu kandung yang dipercaya sebagai pengasuh primer justru merupakan bahaya utama terhadap darah dagingnya sendiri.
Terhadap kasus semacam di Garut dan Bali, perlu ditetapkan bahwa tolok ukur tuntas sempurnanya penanganan ialah terealisasinya sasaran perdata dan pidana. Sasaran-sasaran itu LPAI susun dengan mengacu utamanya pada Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).

Secara perdata, dilakukan pencabutan kuasa asuh ibu kandung atas si anak, sedangkan dari sisi pidana, selekasnya anak diberikan perlindungan khusus. Demi menjaga keberlangsungan hidup anak, dilakukan pemisahan anak dari orangtua (ibu kandung). Selama proses hukum berjalan, semua lembaga penegakan hukum menerapkan pemidanaan dengan pasal kekerasan (dan eksploitasi khusus pada kasus Bali) terhadap ibu kandung si anak. Puncaknya, terhadap terdakwa dikenakan pemberatan sanksi karena dia adalah orang dekat korban.

Antiklimaks

Seluruh pihak yang menangani kasus Garut perlu bekerja lebih cakap dan serius lagi, dengan belajar dari kasus Bali. Pada kasus Bali, mengejutkan, pelaku hanya dihukum sekitar sembilan bulan. Hukuman itu tidak setara dengan perbuatan brutal si pelaku dan tidak konsekuen dengan klausa bahwa pelaku kejahatan yang merupakan orang dekat anak harus dijatuhi pemberatan sanksi.

Kian mengerikan, pascaberakhirnya masa pemenjaraan si pelaku, anak yang pernah diazab itu akan disatukan ke, dan diasuh kembali oleh, si penganiayanya! Ada kepentingan untuk memastikan bahwa pelaku tidak mengulangi perilaku jahatnya. Khusus pada kejahatan yang disertai kekerasan, untuk menekan potensi residivisme itu, penakaran risiko atas diri pelaku merupakan praktik lazim di banyak negara.

Kecil kemungkinan penakaran risiko tersebut diterapkan terhadap si ibu penyiksa anak di Bali. Apabila penakaran risiko tidak dilakukan, bisa diduga bahwa kecenderungan si pelaku untuk menyakiti anaknya tidak terkelola dan tidak tertangkal. Disangsikan pula bahwa selama dipenjara, si penyiksa anak di Bali diedukasi untuk memperbaiki keterampilan pengasuhannya. Rasa penyesalan--andai ada--betapa pun kuatnya, tidak akan memadai jika tidak diejawantahkan ke dalam tindak-tanduk pengasuhan.

Juga tidak bisa dinihilkan bahwa selama faktor kesejahteraan ekonomi si ibu tetap tidak teratasi, hanya perlu menunggu waktu sampai frustrasi si pelaku kembali meledak dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis terhadap anaknya. Hanya ketika faktor ekonomi teratasi, keterampilan pengasuhan diperkaya, dan penakaran risiko diselenggarakan, si ibu itu baru pantas dipertimbangkan untuk mengasuh anaknya kembali. Selama ketiga elemen itu tidak terealisasi, tapi anak dikembalikan ke ibunya, keselamatan anak tetap amat mengkhawatirkan.

Antiklimaks dalam putusan hakim hanya titik puncak dari rangkaian episode penegakan hukum yang dalam kasus kekerasan terhadap anak di Bali tidak sepenuhnya berpihak pada korban (anak). Masalah kepidanaan ditangani, tetapi penanganan atas masalah keperdataan tetap nihil. Putusan hakim, walau memuat ganjaran bagi pelaku, tidak mencantumkan visi apa pun dari para pengadil tentang kehidupan anak. Padahal, nasib korban kejahatan adalah jauh lebih penting untuk dipikirkan.

Teristimewa pada kasus kejahatan terhadap anak yang dilakukan orangtuanya, ketika terdakwa divonis bersalah, penting bagi hakim untuk mencantumkan pula secara eksplisit butir tentang kuasa asuh dan pengasuhan atas anak yang telah menjadi korban. Konkretnya, baik dengan maupun tanpa didahului permintaan seperti pada kasus perdata, hakim menyatakan bahwa kuasa asuh si pelaku dicabut serta anak diasuh oleh pihak pengganti, baik untuk selamanya maupun untuk jangka waktu tertentu. Hakim juga dapat memerintahkan diselenggarakannya penakaran risiko dan pembekalan keterampilan pengasuhan bagi orangtua (pelaku) si korban.

Butir tambahan tersebut bermanfaat lebih signifikan bagi kehidupan anak. Dengan putusan yudisial sedemikian rupa, kepidanaan terintegrasi dengan keperdataan. Semakin ideal apabila pencabutan kuasa asuh pada kasus-kasus serupa di atas diberikan landasan hukum. Misalnya dirumuskan sebagai tambahan bentuk pemberatan sanksi dalam Undang-Undang PA dan Undang-Undang KDRT.

Putusan yudisial yang memadukan kepidanaan dan keperdataan akan mendatangkan implikasi luas. Tidak hanya ke lembaga penegakan hukum. Institusi lainnya, semisal dinas sosial bahkan masyarakat, ikut digerakkan untuk mengambil langkah terbaik bagi pengasuhan anak korban kekerasan. Allahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar